HTI

Ibrah (Al Waie)

Optimis

Hidup makin terasa meredup. Masa depan makin suram. Masalah ekonomi makin runyam. Problem keuangan makin sulit. Banyak persoalan membelit; pengangguran, utang banyak, harga-harga naik, biaya pendidikan makin mahal, biaya kesehatan ditanggung sendiri lewat BPJS yang sebetulnya asuransi. Begitulah yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negeri ini, saat ini.

Akibatnya, tak sedikit orang yang dibuat pusing. Banyak yang setress, depresi hingga bahkan berujung bunuh diri. Di tengah ragam kesulitan yang membelit, akhirnya banyak orang yang pesimis menghadapi masa depan. Hanya sedikit yang benar-benar tetap optimis.

Di level sosial, kesulitan demi kesulitan yang terjadi saat ini sebagian besar memang sengaja dihadirkan oleh sistem yang kejam. Itulah neoliberalisme yang saat ini makin sempurna diterapkan, khususnya di negeri ini. Neoliberalisme menjadi pintu masuk neoimperalisme. Akibatnya, nyaris mayoritas sumber-sumber kekayaan alam negeri ini—yang notabene milik rakyat dan sudah seharusnya dinikmati oleh mereka—berada dalam cengkeraman para kapitalis baik swasta maupun asing. Akhirnya, rakyat hanya menjadi penonton atas perampasan dan pejarahan kekayaan mereka oleh para kapitalis tersebut. Mereka hanya bisa gigit jari.

Ironisnya, pintu neoliberalisme dan neoimperalisme itu sengaja dibuka lebar-lebar oleh penguasa mereka sendiri. Sang penguasa begitu memanjakan swasta dan asing, tetapi sangat tega bahkan kejam terhadap rakyatnya sendiri. Betapa tidak. Swasta dan asing dibiarkan leluasa menjarah kekayaan milik rakyat. Sebaliknya, rakyat sendiri dibiarkan gigit jari. Rakyat bahkan dipaksa membayar mahal semua harga akibat liberalisasi sektor-sektor ekonomi. Rakyat pun dipalak dengan berbagai macam pajak. Alhasil, swasta dan asing dimanja, rakyat sendiri dibiarkan sengsara.

Di level pribadi, tentu setiap orang memiliki problemnya sendiri-sendiri yang berbeda jenisnya maupun kadar atau tingkat kesulitannya. Ada yang susah cari nafkah. Ada yang nelongso karena tak segera dapat jodoh. Ada yang kerap meratap karena tak segera punya anak. Ada yang sedih karena ditinggal suami atau istri terkasih. Ada yang merana karena diguncang prahara rumahtangga. Ada yang benci karena suaminya nikah lagi. Ada yang dirundung malang karena terlilit banyak utang. Ada yang resah karena belum bayar kontrakan rumah. Ada yang gelisah menghadapi anak yang bermasalah. Ada yang kalut karena bisnisnya bangkrut. Ada yang galau karena dirundung banyak persoalan. Demikian seterusnya.

Bagaimana dengan kondisi para pengemban dakwah? Sama saja. Mereka juga manusia. Masalah mereka tak jauh berbeda. Satu hal yang membedakan mereka, yakni mereka juga menghadapi masalah dakwah, yang tentu tak akan pernah dirasakan oleh mereka yang tak berdakwah.

Problem dakwah itu beragam; ada yang bersifat ideologis, sistemik hingga teknikal. Tingkat kesulitannya pun bermacam-macam; ada yang ringan, sedang, sulit dan amat kompleks. Ada juga pengemban dakwah yang acapkali bergulat dengan problem internalnya sendiri; kurang percaya diri, tak menguasai masalah, kurang tsaqafah, tak pandai berkata-kata dan berargumentasi, tak mudah bersosialisasi, banyak mendapatkan kesulitan saat melakukan kontak dakwah, apalagi saat harus menghadirkan banyak orang ke suatu acara dakwah dengan target massa yang sangat besar, dsb.

Menghadapi aneka problem dan ragam persoalan dengan kadar dan tingkat kesulitan tersebut, haruskah seorang Muslim, apalagi pengemban dakwah, bersikap pesimis? Tentu tidak. Seorang Muslim sejati, apalagi pengemban dakwah sejati, seharusnya senang dan bergembira saat dihadapkan pada banyak kesulitan. Bahkan kesulitan (baca: tantangan) harusnya terus dicari dan diciptakan. Mengapa? Alasannya sederhana. Karena Alah SWT sendiri telah berfirman: Fa inna ma’al ‘usri yusr[an], inna ma’al usri yusra (Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan (TQS al-Insyirah [94]: 5).

Menarik sekali, dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan kata ma’a (bersama), bukan ba’da (sesudah). Dengan demikian ayat di atas lebih tepat diterjemahkan dengan, “Sesungguh-nya bersama kesulitan ada kemudahan,” bukan, “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemuda-han.” Mengapa demikian? Alasannya, sebagai-mana dinyatakan oleh Imam ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, karena jarak waktu antara kesulitan dan kemudahan itu sangat pendek sehingga seolah keduanya susul-menyusul, berbarengan, beriringan atau berdampingan.

Selain itu, Imam ar-Razi menukil sebuah hadis qudsi sebagaimana dituturkan oleh Ibn Abbas ra. bahwa Rasul saw. pernah bersabda, “Allah SWT telah berfirman: Khalaqtu ‘usr[an] bayna yusrayn. Fala yaghlibu ‘usyr[un] yusrayn (Aku telah menciptakan satu kesulitan di antara dua kemudahan. Karena itu tidak akan pernah satu kesulitan bisa mengalahkan dua kemudahan).”

Ini sejalan dengan sabda Rasul saw. yang lain, sebagaimana dituturkan oleh Muqatil ra., “Tidak akan pernah satu kesulitan bisa mendominasi dua kemudahan.” (Lihat: Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb, XVII/92).

SubhanalLah! Makna ini sangat dalam. Seharusnya siapapun yang ditimpa kesulitan tidak perlu risau apalagi galau karena pasti kesulitan itu datang bersamaan dengan—atau didampingi dan dikawal oleh—dua kemudahan.

Imam az-Zamakhsyari bahkan menyatakan bahwa frasa inna ma’a dalam ayat di atas berfungsi li ash-shuhbah (untuk menunjukkan makna kedekatan dan keakraban). Seolah-olah kesulitan itu “bersahabat” dengan kemudahan; di mana ada kesulitan maka di situ pasti ada dua kemudahan, bukan hanya satu kemudahan, sebagaimana dijelaskan di atas.

Karena itulah, sejatinya kita bukan saja siap menghadapi kesulitan, tetapi bahkan kesiapan itu harus disertai dengan optimisme dan kegembiraan karena pasti dalam waktu yang singkat akan hadir dua kemudahan. Karena itu pula tidak aneh jika banyak ulama dulu yang seolah-olah berharap musibah datang kepada mereka. Pasalnya, mereka amat yakin, di balik kesulitan menghadapi musibah yang menimpa mereka, Allah SWT telah menyediakan karunia terindah untuk mereka.

Jadi, buanglah segala sikap pesimis, kerisauan dan kegalauan dalam menghadapi kesulitan apapun. Justru saat kesulitan menghadang, yang harus ditanamkan selalu dalam jiwa kita adalah sikap optimis, yakin bahwa kemudahan akan segera datang. Jika satu kesulitan dikawal dengan dua kemudahan maka dua kesulitan akan dikawal dengan empat kemudahan; tiga kesulitan akan dikawal dengan enam kemudahan; dst. Alhasil, semakin banyak kesulitan yang kita hadapi maka akan semakin banyak peluang kemudahan yang kita dapatkan. Masalahnya berpulang kepada diri sendiri: Yakinkah kita dengan semua ini?!

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*