(Tafsir QS al-Muthaffifin [83]: 22-24)
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ، عَلَى الأرَائِكِ يَنْظُرُونَ، تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ
Sesungguhnya kaum yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan (QS al-Muthaffifin [83]: 22-24).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang adanya kitab catatan amal bagi al-abrâr, orang-orang yang berbakti dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah SWT. Kitab tersebut berada di ‘Illiyyûn. Di samping dalam catatan yang jelas, kitab amal itu didatangkan dan disaksikan oleh al-muqarrabûn, malaikat dan para penduduk langit lainnya. Ini menunjukkan kemuliaan amal orang-orang yang berbakti dan taat kepada Tuhan mereka.
Dalam ayat-ayat ini pun diberitakan tentang balasan dan sebagian kenikmatan yang akan diberikan kepada mereka di akhirat kelak.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Inna al-abrâr lafî na’îm (Sesungguhnya kaum yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar [surga]). Pengertian kata al-abrâr di sini sama sebagaimana dalam ayat sebelumnya. Mereka adalah kaum yang berbakti dan mengerjakan ketaatan kepada Allah SWT. Mereka berada dalam na’îm. Balasan ini diberikan kepada mereka pada Hari Kiamat.
Menurut Ibnu Katsir, pada Hari Kiamat mereka dalam kenikmatan abadi, surga-surga yang di dalamnya terdapat anugerah yang sempurna.1 Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Sesungguhnya al-abrâr yang berbakti dengan bertakwa kepada Allah dan menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya, berada dalam kenikmatan abadi, tidak akan lenyap pada Hari Kiamat. Itulah kenikmatan mereka di surga.”2
Al-Qurthubi juga berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti itu di surga-surga mereka bersenang-senang.”3
Dengan kata lain, na’îm yang dimaksud ayat ini adalah na’îm al-jannah (kenikmatan surga).4
Keadaan kaum yang berbakti di akhirat itu berkebalikan dengan keadaan orang-orang durhaka. Jika dalam ayat sebelumnya kaum yang durhaka, diberitakan akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahanam (ayat 16), maka kaum yang berbakti ditempatkan ke dalam na’îm, surga yang dipenuhi dengan ragam kenikmatan.
Kemudian dijelaskan sebagian kenikmatan yang mereka terima di surga dengan firman-Nya: ‘Alâ al-arâiki yanzhurûn (Mereka [duduk] di atas dipan-dipan sambil memandang). Secara bahasa, kata al-arâik merupakan bentuk jamak dari kata al-arîkah. Artinya, pelaminan di kamar mempelai.5 Menurut Abdurrahman as-Sa’di, al-arâik adalah surur (ranjang) yang dihiasi dengan bantal-bantal yang indah.6
Di dalam ayat ini mereka digambarkan, sambil duduk di atas pelaminan itu mereka yanzhurûn (memandang). Kata yanzhurûn termasuk al-fi’l al-muta’addî, kata kerja yang membutuhkan objek. Akan tetapi, dalam ayat ini tidak disebutkan objek yang mereka pandang. Karena itu ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para mufassir tentang objek yang dipandang mereka.
Menurut sebagian mufassir, mereka memandang berbagai kenikmatan surga yang telah dipersiapkan. Di antara yang berpendapat demikian adalah ath-Thabari dan al-Khazin.7 Ath-Thabari berkata, “Di atas sofa yang terbuat dari mutiara dan permata, mereka memandang apa yang diberikan Allah SWT kepada mereka berupa kemuliaan, kenikmatan dan kemewahan di surga.”8
Ikrimah, Ibnu Abbas dan Mujahid juga mengatakan bahwa mereka memandang semua kemuliaan yang disediakan Allah SWT untuk mereka.9
Menurut Fakhruddin ar-Razi, pengertian tersebut merupakan di antara pengertian yang dikandung ayat ini. Mufassir tersebut berkata, “Mereka memandang berbagai kenikmatan untuk mereka di surga berupa bidadari, anak-anak, ragam makanan, minuman, pakaian, kendaraan, dan lain-lain.”10
Ibnu Katsir juga mengutip sebuah pendapat, “Mereka dapat memandang seluruh penjuru surga dan segala sesuatu yang diberikan Allah SWT kepada mereka, berupa kebaikan dan keutamaan yang tidak pernah habis dan tidak lenyap.”11
Ada pula yang berpendapat bahwa yang mereka lihat adalah musuh-musuh mereka. Muqatil berkata, “Mereka memandang kepada musuh-musuh mereka ketika disiksa di neraka.”12
Penafsiran lainnya, mereka memandang wajah Allah SWT. Imam al-Qurthubi berkata, “Di atas dipan-dipan yang bagus mereka memandang wajah Allah SWT dan Keagungan-Nya.”13
Ibnu Katsir juga menukil suatu pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah melihat Allah SWT. Ini merupakan kebalikan dari keadaan yang disifatkan pada orang-orang durhaka:
كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari [melihat] Tuhan mereka (QS al-Muthaffifin [83]: 15).
Dengan demikian ayat ini menyebutkan bahwa mereka diperbolehkan melihat Alah SWT ketika mereka di atas sofa-sofa dan bantal-bantal mereka, sebagaimana diterang-kan dalam Hadis Ibnu Umar ra.:
إِنَّ أَدْنَى أَهْلَ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً لَمَنْ يَنْظُرُ فِي مُلْكِهِ وَسِيْرَةَ أَلْفَيْ سَنَةٍ، يَرَى أَقْصَاهُ كَمَا يَرَى أَدْنَاهُ، وَإِنَّ أَعْلاَهُ لَمَنْ يَنْظُرُ إِلَى اللهِ فِي الْيَوْمِ مَرَّتَيْنِ
Sesungguhnya tempat paling rendah bagi para penghuni surga dapat memandang Kerajaan-Nya sejauh perjalanan dua tahun. Dia dapat melihat yang terjauhnya sebagaimana dapat melihat yang terdekatnya. Sesungguhnya tempat paling tinggi bagi penghuni surga dapat melihat Allah SWT setiap hari dua kali.”14
Menurut ar-Razi, memandang Tuhan mereka itu merupakan pandangan paling mulia daripada semua pandangan. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan ayat sesudahnya. Pandangan tersebut disertai dengan an-nadhrah (berseri-seri), yakni melihat Allah SWT atas firman-Nya: Wujûh[un] yawmaidzi[n] nâdhirah, ilâ Rabbihâ nâzhirah (Wajah-wajah [kaum Mukmin] pada hari itu berseri-seri; kepada Tuhannyalah mereka melihat, QS al-Qiyamah [75]: 2-23).15
Semua penafsiran yang dikemukakan para mufaasir tidak saling menafikan. Semua pandangan sebagaimana diterangkan para mufassir tersebut dapat diperoleh oleh para penghuni surga. Mereka dapat memandang semua keindahan surga beserta semua kenikmatan di dalamnya, menyaksikan musuh-musuh mereka yang sedang disiksa, dan melihat wajah Allah SWT.
Kemudian Allah SWT berfirman: Ta’rifu fî wujûhihim nadhrat an-na’îm (Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan). Secara bahasa, kata an-nadhrah berarti an-na’mah wa al-‘aysy wa al-ghina (senang, hidup dan berkecukupan). Ada pula yang menyebutnya sebagai al-husnu wa al-rawnaq (indah dan berkilauan).16
Ketika kata tersebut dilekatkan pada kata wajah, maka tergambar dari wajah itu semua keadaan tersebut. Pengertian itu pula yang dikemukakan para mufassir dalam menjelaskan ayat ini.
Menurut al-Qinuji, ayat ini memberikan pengertian, jika kamu melihat mereka, maka kamu mengetahui bahwa mereka adalah ahl al-ni’mah, lantaran kamu melihat wajah mereka bercahaya, indah, putih, gembira, senang, dan bersinar.17
Ibnu Katsir juga berkata, “Jika kamu melihat wajah mereka, kamu akan mengetahui keadaan hidup mereka yang berada dalam kesenangan, kemegahan, dan kebahagiaan karena mereka mendapatkan kenikmatan yang amat besar di dalam surga.”18
Menurut ar-Razi, ayat ini memperkuat kesimpulan bahwa kaum Mukmin melihat Tuhan mereka. Alasannya, pandangan yang disertai dengan an-nadhrah (pandangan berseri-seri) adalah melihat Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
Wajah-wajah (kaum Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS al-Qiyamah [75]: 22-23).19
Pahala bagi Kaum yang Berbakti
Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama: Pahala bagi kaum yang berbakti dengan mengerjakan ketakwaan dan ketaatan di akhirat. Ditegaskan dalam ayat ini bahwa ganjaran buat mereka adalah ditempatkan di dalam surga (Lihat: QS al-Muthaffifin [83]: 22).
Penegasan yang sama dan redaksi yang sama juga disebutkan dalam QS al-Infithar [82]: 13). Di dalam surga, terdapat kenikmatan tak terkira. Di dalam al-Quran dan Hadis Nabi saw. memang digambarkan aneka kenikmatan surga. Akan tetapi, fakta sesungguhnya belum pernah dijumpai oleh manusia di dunia. Rasulullah saw. bersabda:
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ، وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بِشَرٍ
Allah SWT berfirman, “Aku telah menyediakan bagi hamba-hamba-Ku yang salih berupa kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum pernah pula terbetik dalam kalbu manusia.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Kedua: Beberapa jenis kenikmatan yang dianugerahkan kepada penghuni surga. Di antaranya adalah keleluasaan, ketenteraman, kesenangan dan kemewahan hidup di surga. Ini tampak jelas disebutkan dalam beberapa ayat ini.
Mereka digambarkan duduk-duduk di kursi panjang yang indah, layaknya pelaminan pengantin. Ini jelas menggambarkan keleluasaan, ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Selain ayat ini, kegiatan para penghuni surga yang digambarkan duduk-duduk di atas dipan yang indah ini disebutkan dalam beberapa ayat lain (Lihat antara lain: QS Yasin [36]: 56; QS al-Waqi’ah [56]: 15-16).
Ketiga: Wajah-wajah mereka yang terlihat berseri-seri, ceria dan gembira. Telah maklum, wajah merupakan cerminan perasaan manusia. Ketika bersedih, wajah manusia akan tampak muram dan masam. Sebaliknya, ketika bergembira akan sumringah dan berseri-seri. Inilah yang terjadi pada penghuni surga. Sebagaimana diterangkan para mufassir, pengertian fi wujûhihim nadhrah al-na’îm adalah wajah mereka tampat putih, berseri-berseri dan bercahaya.
Selain ayat ini, kebahagiaan penghuni surga yang tergambar dalam wajah-wajah mereka juga disebutkan dalam beberapa ayat lain (Lihat antara lain: QS Abasa [80]: 38-39; QQS Ali Imran [3]: 107; QS al-Qiyamah [5]: 22; QS al-Ghasyiyah [88]: 8).
Di samping menggambarkan keceriaan dan kegemberiaan, Allah SWT memberikan kemuliaan kepada mereka berupa wajah-wajah mereka yang bercahaya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي زُمْرَةٌ هِيَ سَبْعُوْنَ أَلْفًا، تُضِيْءُ وُجُوْهُهُمْ إِضَاءَةَ الْقَمَرِ
Ada satu rombongan dari umatku yang akan masuk surga. Jumlah mereka tujuh puluh ribu. Wajah mereka bersinar seperti sinar rembulan (HR al-Bukhari).
Itulah balasan yang akan diterima oleh kaum yang berbakti. Semuanya merupakan kenikmatan tak terkira. Siapakah yang berakal yang tidak menginginkan semua itu?
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust, Rokhmat S. Labib]
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 352.
2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 294
3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 264.
4 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 405.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 264.
6 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 916.
7 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 405.
8 ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 295.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 264; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1915), 281.
10 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 91.
11 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 352.
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 91.
13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 264.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 352.
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 91.
16 Ibnu Manhzur, Lisân al-‘Arab…
17 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol.15 (Beirut: Maktbah al-‘Ashriyyah, 1992), 135. Lihat juga: al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 405.
18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 352.
19 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 91.