As-Simsâr bentuk jamaknya as-samâsirah. Menurut al-Laits seperti dikutip oleh Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab dan menurut al-Khathabi dalam Ma’âlim as-Sunan, kata as-simsâr berasal dari non-Arab, yakni dari Persia, lalu diarabkan. Pada zaman itu, di antara orang yang menyelesaikan penjualan dan pembelian itu, banyak orang ‘ajam (non-Arab). Orang Arab mendapatkan sebutan itu dari mereka.
Qadhi Iyadh di dalam Masyâriq al-Anwâr ‘ala Shihâh al-Atsâr mengatakan, as-simsâr pada asalnya berarti orang yang melaksanakan sekaligus menjaga suatu perkara (al-qayyimu bi al-amri wa al-hâfizh lahu). Kemudian istilah itu digunakan untuk menyebut orang yang melakukan jual-beli untuk orang lain (mutawalliyu al-bay’ wa asy-syirâ’ lighayrihi).
Ibn al-Jauziy di dalam Gharîb al-Hadîts menyatakan, as-simsâr adalah orang yang melakukan suatu urusan dan menjaganya. Hakikatnya, seseorang mewakilkan kepada orang lain, lalu orang lain itu menjualkan barangnya.
Ibn al-Atsîr menyatakan di dalam An-Nihâyah fî Gharîb al-Atsar, as-simsâr adalah orang yang melaksanakan urusan dan menjaganya. As-Simsâr adalah nama (sebutan) orang yang masuk di antara penjual dan pembeli sebagai orang yang memediasi pelaksanaan jual-beli. As-Samsarah (adalah) jual-beli.
Rawwas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’ menyatakan, as-simsâr adalah perantara antara penjual dan pembeli. Itu sama dengan ad-dalâl, broker/makelar. Dr. as-Sa’di Abu Habib di dalam Al-Qâmûsh al-Fiqhî menyebutkan as-simsâr adalah ad-dalâl, yaitu perantara antara penjual dan pembeli untuk mempermudah transaksi. Di dalam Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah disebutkan, as-samsarah secara istilah adalah mediasi antara penjual dan pembeli. As-Simsâr adalah orang yang masuk di antara penjual dan pembeli sebagai mediator (perantara) untuk pelaksanaan jual beli. Dia juga disebut ad-dalâl karena dia menunjukkan pembeli atas barang dan menunjukkan penjual atas harga.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz II pada Bab “As-Samsarah” menyatakan, “Para fukaha mendefinisikan as-simsâr adalah sebutan untuk orang yang beraktivitas (bekerja) untuk orang lain dalam bentuk aktivitas menjual dan membeli dengan mendapat upah. As-Simsâr itu benar diterapkan pada ad-dalâl. Ad-Dalâl bekerja untuk orang lain berupa aktivitas menjual dan membeli dengan mendapat upah.
Dari penjelasan para ulama dan fukaha, bisa dipahami bahwa sebutan as-simsâr itu secara istilah fikih hanya digunakan dalam konteks jual-beli. Artinya, mediasi yang disebut samsarah itu dan padanya berlaku hukum-hukum samsarah adalah dalam konteks jual-beli. Para fukaha tidak menggunakan istilah as-samsarah dan as-simsâr di luar jual beli. Untuk praktik serupa di luar jual-beli di antaranya digunakan istilah ijârah, wakalah bil ujrah dan ju’alah, berikut hukum-hukumnya.
Kehalalan as-Samsarah
Aktivitas as-samsarah atau profesi as-simsâr (broker/makelar) adalah halal. Dalilnya adalah hadis berupa taqrir (persetujuan) Rasul saw. terhadap aktivitas itu. Qays bin Abi Gharazah menuturkan:
كُنَّا نُسَمَّى فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم السَّمَاسِرَةَ فَمَرَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنْهُ فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ الْحَلِفُ اللَّغْوُ فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ
Kami pada masa Rasulullah saw. disebut as-samâsirah (bentuk jamak dari as-simsâr, pen). Lalu Rasulullah saw. melewati kami dan beliau menyebut kami dengan sebutan yang lebih baik dari sebutan itu. Beliau bersabda, “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual-beli itu dihadiri oleh sumpah dan laghwun maka siramlah jual-beli itu dengan sedekah.” (HR Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad; redaksi menurut Ibn Majah).
Dalam hadis ini jelas bahwa istilah as-simsâr sudah dikenal luas pada masa Rasul saw. Juga jelas bahwa istilah itu dipakai dalam konteks jual-beli dan aktivitas seorang as-simsâr adalah aktivitas jual-beli. Rasul saw. tidak melarang aktivitas as-simsâr yang sudah dikenal luas dan dipraktikkan itu. Justru sebaliknya, Rasul saw. menyetujuinya. Dengan demikian jelas bahwa as-samsarah atau profesi as-simsâr adalah halal.
Memang, ada riwayat dari Thawus dari Ibn Abbas ra. bahwa bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيْعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ، قَالَ: فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيْعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لاَيَكُوْنُ لَهُ سِمْسَارًا
“Jangan mencegat penunggang hewan dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa.” Thawus berkata, “Lalu aku katakan kepada Ibn Abbas, apa makna sabda beliau, ‘Janganlah orang kota menjual untuk orang desa?’ Ibn Abbas berkata, ‘Janganlah ia menjadi makelar untuk orang desa.’” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini bukan larangan atas samsarah. Ungkapan, “Janganlah ia menjadi makelar untuk orang desa,” adalah ungkapan Ibn Abbas yang menafsirkan larangan Rasul saw. itu. Ibn Abbas sendiri memandang samsarah secara umum tidak ada masalah. Al-Bukhari di dalam Shahîh al-Bukhârî pada bab ajru as-simsâr menyebutkan: Ibn Sirin, Atha’, Ibrahim dan al-Hasan tidak memandang upah as-simsâr sebagai masalah. Ibn Abbas berkata, “Tidak masalah orang berkata, ‘Juallah pakaian ini. Kelebihan dari jumlah sekian dan sekian untuk kamu.’”
Ibn Sirin berkata, “Jika orang berkata, “Juallah sekian dan untungnya (kelebihan dari harga itu, pen.) untuk kamu,’ atau, ‘Antara aku dan engkau tidak masalah dengan itu.’”
Adapun larangan orang kota menjual untuk orang desa itu tersebut disertai dengan ‘illat. Kata al-hâdhir (orang kota) dan al-bâdi (orang kampung/orang pedalaman) merupakan washfun mufhim[un] (sifat yang mengandung konotasi [makna lain]). Dalam konteks perdagangan, orang kota (hâdhir) mengetahui situasi dan harga yang berlaku di pasar, sementara orang pedalaman tidak mengetahuinya sebab dia jauh dari pasar. Ketidaktahuan tentang situasi dan harga pasar itulah yang menjadi ‘illat larangan tersebut. Pasalnya, dengan ketidaktahuan itu, orang kota bisa menipu orang pedalaman itu. ‘Illat ini pula yang dipahami oleh Umar bin Khathab. Karena itu Abdur Razaq dalam Mushannaf Abd ar-Razaq meriwayatkan dari Ibrahim dalam konteks larangan jual beli orang kota untuk orang desa, Umar berkata, “Tunjukki mereka jalan, tunjukki mereka pasar dan beritahu mereka harga.”
Jadi keharaman samsarah dalam konteks orang kota menjual untuk orang desa adalah karena ketidaktahuan situasi dan harga pasar itu.
Alhasil, samsarah tetap halal. Jika samsarah terjadi pada jenis-jenis jual-beli yang dilarang, atau ada di dalam samsarah itu ‘illat yang menyebabkannya dilarang, maka samsarah haram dalam jenis-jenis itu saja. Adapun samsarah secara umum tetap halal.
Ketentuan Samsarah
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz II pada Bab “As-Samsarah” menyatakan tentang ketentuan samsarah, “Hanya saja aktivitas atau pekerjaan yang dikontrakkan untuk menjual dan membeli itu harus jelas, baik dengan komoditi/barang atau jangka waktu. Hendaknya pula keuntungan, komisi atau upahnya juga jelas. Jika seseorang mempekerjakan orang untuk menjualkan untuknya atau membelikan untuknya rumah anu atau barang anu maka sah. Juga jika mempekerjakannya untuk menjualkan untuknya atau membelikan untuknya dalam jangka waktu tertentu yang jelas baik sekian hari, minggu, bulan, tahun, maka juga sah. Demikian juga jika mempekerjakannya untuk menjualkan untuknya atau membelikan untuknya harian, atau bulanan dengan upah sekian, dan pada waktu yang sama juga dipekerjakan untuk menjualkan atau membelikan barang dengan komisi tertentu atas setiap transaksi maka juga sah. Sebab, pekerjaan yang dikontrakkan untuk menjual dan membeli itu jelas dan upahnya juga jelas.”
Jika seseorang bekerja untuk menjualkan atau membelikan barang dengan untuk jangka waktu tertentu misalnya harian, mingguan, bulanan, dsb, dan ia mendapat upah sekian, maka ia menjadi seperti seorang ajir khash (pekerja khusus). Dalam hal ini, berapa jam ia bekerja menjualkan atau membelikan itu harus jelas, sebab jika jumlah jamnya tidak jelas hal itu membuat kadar pekerjaan yakni kadar manfaat yang dikontrakkan juga tidak jelas, dan akadnya menjadi fasid.
Jika akadnya adalah menjualkan atau membelikan barang tertentu dan simsar mendapat upah dari setiap barang yang dijual atau dibeli, maka barangnya harus jelas dan tertentu, harganya pun harus jelas. Upahnya juga harus jelas bisa berupa upah tertentu misal sekian ribu rupiah untuk tiap barang yang dijual, atau dengan prosentase tertentu dari harga barang yang dijual. Akad model kedua ini seperti akad untuk ajir ‘am (pekerja umum).
Jika dua model akad ini yang disepakati, itu artinya simsâr tersebut bekerja kepada pemilik barang untuk menjualkan barangnya, atau bekerja kepada pembeli untuk membelikan barang yang ingin dia beli. Dalam hal ini, simsâr itu berhak mendapat upah dari pihak yang mempekerjakan dia saja. Jika ada harta yang didapatkan ketika menjual atau membeli barang, misalnya diberi hadiah oleh pembeli ketika menjual barang, atau diberi potongan harga ketika membeli barang, maka hadiah atau potongan harga itu menjadi hak majikannya. Artinya, hadiah itu menjadi hak pemilik barang yang dia jualkan dan potongan harga itu menjadi hak pembeli yang dia belikan barang. Simsâr itu tidak boleh mengambil begitu saja hadiah atau potongan harga itu. Ia boleh mengambilnya jika dibolehkan atau diberikan kepada dia oleh penjual atau pembeli yang mempekerjakan dirinya.
Adapun jika simsâr itu tidak terikat dengan akad kerja kepada salah satu pihak, tetapi dia hanya menjadi ad-dalâl, yakni menunjukkan dan mempertemukan antara penjual dan pembeli dan transaksi jual-beli dilakukan oleh penjual dan pembeli itu sendiri, maka simsâr itu bisa mendapat upah atas transaksi yang dia perantarai atau dia mediasi. Upah itu bisa berasal dari salah satu pihak baik penjual atau pembeli saja, atau berasal dari kedua pihak (dari penjual dan pembeli) sesuai dengan kesepakatan di antara mereka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]