Pengantar:
Salah satu ‘ISIS Effect’ yang dikhawatirkan umat adalah adanya semacam upaya ‘monsterisasi’ dan kriminalisasi terhadap dakwah Islam. Monsterisasi ditujukan antara lain terhadap simbol-simbol Islam seperti Bendera Tauhid La Ilaha illalLah. Monsterisasi lalu dikaitkan dengan kriminalisasi terhadap ajaran Islam seperti khilafah dan jihad. Bukan hanya pelaku, bahkan sekadar menyerukan ajaran Islam yang mulia itu pun bisa dianggap kriminal.
Mengapa semua ini terjadi? Bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi kasus ini? Untuk menjawab pertanyaan di atas, Redaksi mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz H.M Ismail Yusanto. Berikut hasil wawancara Redaksi dengan beliau.
Dalam beberapa bulan terakhir, opini tentang ISIS terasa massif. Seiring dengan itu, Ustadz pernah memperingatkan terjadinya ‘ISIS Effect’. Seperti apa efek itu dan mengapa harus diwaspadai?
Iya, betul. Dalam acara ILC (Indonesia Lawyers Club) TV One bulan lalu yang mendiskusikan tentang ancaman ISIS. Saya memang menyebutkan istilah itu. Saya menjelaskan, bahwa betul ISIS dengan ideologi takfiri (mudah mengkafirkan orang yang berbeda dengan mereka) itu telah menjadi persoalan bagi Dunia Islam, termasuk di negeri ini. Namun, hal ini tidak boleh menjadi pintu bagi intervensi pihak asing seperti yang sekarang terjadi di Irak dan Suriah. Puluhan negara yang tergabung dalam koalisi yang dipimpin oleh AS menyerang wilayah yang sebelumnya sudah hancur oleh perang. Serangan ini telah mengakibatkan komplikasi persoalan dan membuat wilayah itu makin hancur.
Di dalam negeri, isu ini harus ditangani secara hati-hati, dalam arti harus secara proporsional dan profesional. Kalau tidak, akan menimbulkan berbagai efek negatif yang sangat merugikan umat Islam. Inilah yang saya sebut sebagai ISIS effect, yakni berbagai persoalan ikutan yang timbul atau sengaja ditimbulkan oleh pihak-pihak tertentu dengan dalih memberantas ISIS yang juga akan menimbulkan komplikasi persoalan di tengah umat.
Nah, dari sekian banyak ISIS effect yang utama adalah adanya monsterisasi dan kriminalisasi terhadap simbol-simbol dan ide-ide Islam, bahkan terhadap Islam itu sendiri.
Monsterisasi ajaran Islam seperti apa yang harus diwaspadai dan bagaimana monsterisasi itu terjadi?
Monsterisasi adalah usaha untuk mencitrakan sesuatu (ide, benda atau orang) sebagai hal yang menakutkan, bagaikan monster. Padahal aslinya tidak menakutkan karena memang ia bukanlah monster. Tujuannya tak lain agar publik takut dan menjauhi sesuatu itu. Monsterisasi bisa dilakukan dengan penggambaran atau pencitraan sebagai hal yang buruk, tetapi paling manjur bila dikaitkan dengan kriminalisasi.
Kalau kriminalisasi, itu seperti apa dan bagaimana dampaknya jika terjadi?
Kriminalisasi adalah menjadikan seseorang seolah telah melakukan tindak kejahatan atau kriminal, padahal tidak. Lihatlah, sekarang ini, siapa saja yang kedapatan membawa bendera hitam bertuliskan La ilaha illalLah dengan bundaran bertuliskan Muhammad RasululLah atau memakai atribut-atribut bertuliskan lafal tadi pasti akan ditangkap. Mereka dianggap melakukan kejahatan. Padahal apa kejahatan yang telah mereka lakukan? Tidak ada. Mereka hanya membawa bendera atau memakai atribut-atribut yang dianggap lambang ISIS. Tak lebih. Namun, itulah. Karena aribut-atribut itu telah dikaitkan ISIS, dan ISIS telah ditetapkan sebagai buruk (teroris), maka siapa saja yang membawa atribut-atribut itu pasti terkait dengan teroris ISIS.
Lalu karena khawatir akan dianggap melakukan kejahatan, maka orang kemudian jadi takut terhadap bendera dan atribut-atribut itu. Inilah buah dari monsterisasi dan kriminalisasi yang dimaksud tadi. Ini tentu ironi besar. Bagaimana mungkin umat Islam takut terhadap bendera tauhid? Bagaimana mungkin orang yang sekadar membawa bendera itu lantas serta-merta dianggap melakukan kejahatan?
Bila kecenderungan ini tidak segera dihentikan, bukan tidak mungkin monsterisasi dan kriminalisasi akan menyentuh sisi yang lebih substansial, yakni terhadap ajaran jihad dan khilafah. Tendensi ke arah sana sudah ada. Kalau ini sampai terjadi, tentu dampaknya sangat dramatik dan ironik. Orang menjadi takut pada jihad dan khilafah. Bagaimana bisa orang takut pada ide khilafah, sementara khilafah adalah ajaran Islam yang luar biasa, yang telah terbukti berhasil mempersatukan umat Islam seluruh dunia dan mewujudkan peradaban emas (the golden age) yang rahmatan lil alamin berbilang abad pada masa lalu. Khilafah pula yang berperan besar dalam penyebaran Islam hingga ke wilayah Nusantara melalui para ulama yang kemudian dikenal dengan julukan Walisongo. Jadi, bagaimana bisa kita takut pada perkara yang justru telah banyak memberikan kebaikan kepada kita? Tragis, kan?
BNPT menggunakan empat kriteria untuk menilai radikalisme. Bagaimana Ustadz memandang hal itu?
Satu hal yang paling krusial terkait radikalisme adalah soal kriteria atau definisi. Sejauh ini, belum jelas benar apa yang dimaksud dengan radikalisme itu. Memang ada usaha untuk membuat definisi atau kriteria itu. Belum lama Kepala BNPT Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution menjelaskan pengertian radikalisme, yakni kata dia: Pertama, menyebarkan konten yang mengajak atau mengarahkan tindakan anarkis dan terorisme. Kedua, mengandung unsur SARA (suku, agama dan ras). Ketiga, takfiri (mengkafirkan seseorang atau kelompok). Keempat, melakukan propaganda yang mengandung unsur kebencian, kekerasan, ancaman, anjuran berjihad yang mengharuskan pergi ke negara-negara seperti Syria.
Namun, kriteria tadi barulah versi BNPT, yang berpotensi bias kepentingan. Lagi pula, dari sisi detil kriteria itu juga masih kabur. Misalnya, soal mengandung unsur SARA. Kalau, misalnya, keadaan di suatu tempat, ambil contoh wilayah Indonesia Timur, umat Islam memang tertindas, dakwah dihalangi, pendirian masjid dipersulit, apa salah menyerukan pembelaan? Lalu bagaimana kalau ada satu kelompok yang memang sudah layak dicap kafir, apa juga salah?
Tanpa kriteria yang jelas, isu radikalisme ini bisa berkembang liar. Ini berpotensi mengulangi tragedi yang pernah terjadi di masa Orde Baru. Dulu ada istilah subversif. Namun, karena dimaknai sepihak, istilah ini dipakai untuk menghantam siapa saja yang bakal mengganggu kekuasaan pada waktu itu. Apa saja yang dianggap mengganggu keamanan langsung dicap subversif. Bayangkan, mengadakan pesantren kilat pun waktu itu dicap subversif. Kalau sudah dicap subversif, siapa saja bisa langsung ditahan.
Salah satu yang dikatakan sebagai ciri radikalisme adalah memaknai jihad secara terbatas dan menyeru untuk berjihad. Apakah itu bentuk kriminalisasi ide jihad?
Iya, jelas. Jihad memang makna utamanya adalah perang atau qital. Menyebut salah satu ciri radikal adalah memaknai jihad secara terbatas dan menyeru untuk berjihad tentu bakal menimbulkan masalah besar. Bagaimana bila di suatu tempat, di dalam atau luar negeri, misalnya di Palestina, umat Islam terindas begitu rupa sehingga memerlukan bantuan untuk melawan penindasan itu, lalu diserukanlah jihad, apa salah? Bila mengikuti kriteria tadi, seruan ini bisa dipersalahkan. Nah, bila orang lantas dipersalahkan karena seruan jihad, inilah bentuk kriminalisasi jihad. Bila orang takut pada seruan jihad karena khawatir dikriminalisasi, inilah monsterisasi jihad.
Ini tentu sangat aneh. Bagaimana mungkin orang takut pada jihad, padahal jihad adalah ajaran Islam yang sangat mulia. Siapa saja yang meninggal dalam jihad disebut mati syahid. Inilah derajat kematian tertinggi, yang akan berbalas surga tanpa hisab. Dalam sejarah bangsa, jihad pula yang telah menghantarkan negara ini ke pintu kemerdekaan. Resolusi Jihad pula yang dikumandangkan oleh Syekh Hasyim Asy’ari yang telah membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bangkit melawan sekutu yang membonceng tentara NICA ketika itu. Jadi, bagaimana bisa ajaran yang demikian mulia dan berperanan besar dalam perjuangan bangsa kini seperti barang kotor yang harus ditakuti dan dijauhi, dan siapa saja yang menyerukan jihad akan ditangkap?
Apakah itu artinya pemaksaan tafsir tertentu oleh BNPT/Pemerintah?
Iya, jelas. Ini sangat berbahaya. Bila diteruskan bisa menimbulkan efek destruktif yang luar biasa, seperti yang tadi sudah saya jelaskan. Kalau itu terjadi, alih-alih persoalan radikalisme bisa diatasi, malah mungkin timbul “radikalisme” yang lebih dahsyat.
Sebelumnya, 19 situs Islam diblokir. Apakah ini ada hubungannya dengan kriminalisasi dakwah atau upaya untuk membungkam dakwah Islam?
Ketika BNPT merekomendasikan kepada Menkominfo untuk penutupan 22 situs sebenarnya BNPT belum memiliki kriteria baku soal radikalisme. Itu jelas terlihat dalam acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” TV One. Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi sekaligus Jubir BNPT terlihat gagap ketika ditanya apa alasan memblokir 22 situs itu. Ketika disebut bahwa situs yang diblokir itu karena mendukung ISIS, ternyata ada situs yang diblokir yang sangat anti terhadap ISIS. Lalu ketika dia katakan bukan hanya karena soal itu, tetapi karena juga terus mengkritik Jokowi, lah situs yang mengkiritik Jokowi itu banyak, kok tidak juga diblokir. Lalu dia bilang, karena ada yang suka membolak-balik ayat dan hadis. Kalau begitu, mengapa situs kelompok liberal yang gemar melakukan itu kok aman-aman saja. Akhirnya, dia mengatakan, ya mari kita bicarakan bersama soal radikalisme itu.
Jadi, tanpa kriteria radikalisme yang jelas, monsterisasi dan kriminalisasi dakwah pasti akan terjadi. Ada kriteria saja bisa terjadi, apalagi tanpa kriteria.
Kata Pemerintah yang dibloki bukan situs Islam, tetapi situs radikal, sepertinya tercium aroma adau domba dalam dalih ini?
Iya, kelihatan sekali. Untuk menghindari tudingan BNPT bertindak zalim ketika memberangus situs Islam, mereka bilang, masih banyak kok situs Islam yang tidak diblokir. Lalu mereka menunjukkan situs-situs Islam yang tidak diblokir, yang memang masih sangat banyak. Jadi memang ada kesan adu-domba. Kelihatannya ada pihak-pihak tertentu yang berusaha memanaskan upaya pecah-belah ini. Di antaranya dengan menyebar meme di media sosial yang menggambarkan satu sisi situs Islam yang aman-aman saja dan sisi lain situs radikal yang sudah diblokir. Bila tidak disikapi dengan bijak, bukan tidak mungkin adu-domba ini bisa menimbulkan konflik serius di antara komponen umat di negeri ini.
Apakah pemblokiran situs Islam disinyalir menjadi preseden buruk tumbuh kembalinya tindakan represif dan otoriter rezim?
Iya, bila tidak disikapi segera secara bersama, tindakan represif dan otoriter itu akan berulang. Ini bisa menjadi semacam test the water. Bila pemblokiran ini mulus berjalan, mungkin akan ada tindakan berikutnya. Namun, karena kemarin reaksinya sangat keras dan massif, tampaknya mereka berpikir ulang untuk melanjutkan secara frontal. Lalu ditempuh cara yang dirasa lebih halus. Dibentuklah panel. Panel itulah nanti yang akan merekomendasikan situs mana yang harus ditutup. Namun, itu sebenarnya hanya soal teknis. Yang lebih substantif adalah soal kriteria radikal tadi. Panel tentu akan bekerja berdasar apa kriteria itu. Nah, kalau kriterinya sudah bermasalah, tentu hasil keputusan juga akan bermasalah.
Ada indikasi, pemblokiran situs bisa kebablasan untuk mengekang sikap kritis terhadap Pemeritah dan system?
Seperti saya sebut di atas, tanpa kriteria yang jelas, program deradikalisasi bisa berkembang liar. Ini bisa menjadi alat bagi rezim untuk bertindak represif. Siapa saja yang bersikap kritis, apalagi mengancam kelangsungan rezim, akan dibungkam dengan dalih memberantas radikalisme. Jadi, program deradikalisasi adalah istilah subversif dalam bentuk baru.
Apa yang harus dilakukan oleh umat menyikapi semua itu?
Kita harus sadar, sistem dan rezim di manapun bila berkuasa tidak atas dasar Islam pasti akan merugikan Islam dan umatnya. Apa yang terjadi di negeri ini juga di negeri-negeri Muslim lain, saat ini, juga pada masa lalu, membuktikan hal ini. Oleh karena itu, bagi kita sesungguhnya tidak ada pilihan lain kecuali terus berjuang hingga tegak sistem dan rezim yang berdiri semata di atas dasar dan untuk tegaknya Islam. Hanya dengan cara ini kerahmatan atau kebaikan Islam akan terwujud secara nyata. Lain tidak. Insya Allah. []