Selalu ada pertanyaan, untuk apa sebenarnya acara seperti Rapat dan Pawai Akbar (RPA), Muktamar Khilafah (MK) dan semacamnya, yang tentu memakan daya dan dana yang sangat besar itu, harus diadakan? Apakah tidak lebih baik daya dan dana yang sangat besar itu dialihkan ke kegiatan lain yang “lebih bermanfaat”?
Di sepanjang bulan Mei 2014, bertepatan dengan bulan Rajab 1436 H, Hizbut Tahrir Indonesia memang menyelenggarakan Rapat dan Pawai Akbar (RPA) di 36 kota di seluruh Indonesia. Puncaknya pada 30 Mei di Stadion Gelora Bung Karno dilanjutkan dengan pawai di sepanjang Jalan Soedirman, Jakarta, yang diikuti oleh sekitar 150 ribu peserta. Dengan tajuk “Bersama Umat Tegakkan Khilafah. Selamatkan Indonesia dari Neoliberalisme dan Neoimperialisme”, RPA diselenggarakan sebagai medium untuk mengokohkan visi dan misi perjuangan umat untuk tegaknya kembali kehidupan Islam. Visi dan misi ini penting untuk terus ditegaskan dan dikokohkan, apalagi di tengah arus besar yang tengah mengancam keselamatan negeri ini, yakni neoliberalisme dan neoimperialisme.
++++
Dalam perjuangan melawan penjajahan, HOS Tjokroaminoto menyadari benar pentingnya membangun kemauan di kalangan rakyat. Menurut Amelz, yang menulis HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perjuangannya (1952, dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2009, hal 369), dalam perjuangan melawan penjajah Belanda, Tjokro sangat memperhatikan jalan perjuangan Rasulullah saw. Ia mengkristalisasi perjuangan Rasulullah saw. dalam paradigma Lima K, yakni kemauan, kekuatan, kemenangan, kekuasaan dan kemerdekaan. Ia pun kemudian memprioritaskan membangun kekuatan dari kemauan umat. Menurut Tjokro, Nusantara Indonesia boleh saja diduduki oleh penjajah, tetapi tidaklah berarti telah terkalahkan pula kemauan umat Islam sebagai mayoritas rakyat Indonesia. Apabila umat Islam telah bangkit kemauannya, mereka akan memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan kekuatan itu, kemenangan, kekuasaan dan kemerdekaan akan bisa diraih.
Dengan kemauan yang luar biasa, seorang nenek di Tasikmalaya mampu menembus bukit yang dia pahat sedikit demi sedikit selama tiga tahun guna mengalirkan air yang sangat diperlukan oleh para petani di desanya yang terpencil. Karena kemauan pula Muhammad al-Fatih mampu menaklukkan benteng Konstantinopel yang ratusan tahun lamanya tak tersentuh lawan. Itu ia lakukan setelah lebih dulu menarik 72 kapal perangnya melintas Bukit Galata dalam satu malam. Dengan kemauan yang luar biasa, 3000 tentara Islam mampu membuat gentar 200 ribu pasukan Romawi dalam Perang Mu’tah.
Oleh karena itu, membangun kemauan adalah perkara yang sangat penting. Dalam perang, salah satu cara terpenting untuk mengalahkan lawan adalah dengan menghancurkan kemauan lawan (destruction of the enemy’s will). Ini bagian dari strategi perang yang dirumuskan oleh Carl von Clausewitz, dalam bukunya yang sangat terkenal, On War.
Seperti ditulis Wikipedia, Carl Von Clausewitz (1780-1831) adalah seorang perwira Angkatan Darat Prusia (sekarang Jerman) yang dinilai sangat brilian. Pemikirannya tentang falsafah perang dan militer banyak dianut pada masanya, bahkan hingga sekarang. Sekalipun dia adalah seorang perwira angkatan darat, teori perang yang dia rumuskan itu dapat diterapkan pada ketiga angkatan bersenjata di negara manapun.
Menurut Clausewitz, bila ingin mengalahkan lawan haruslah juga memperhitungkan upaya menghadapi kekuatan bertahan musuh (power of resistance), yang merupakan hasil dari dua faktor yang tak terpisahkan, yaitu keseluruhan sarana perang yang ada dan kekuatan dari kemauan (will) pihak lawan. Will merupakan perpaduan dari semangat juang, militansi, patriotisme, pantang menyerah, moril yang tinggi dan sebagainya. Tingkat kekuatan sarana perang relatif dapat diukur, tetapi will sangat sulit ditentukan dan diukur.
Kemauan bisa dibangun dengan berbagai cara. Namun, dalam pandangan Tjokroaminoto kemauan yang kokoh haruslah bertumpu pada kalimat tauhid “La ilaha illalLah”. Hanya dengan tauhid saja, kemauan itu akan melahirkan kekuatan yang luar biasa. Tjokro berujar, “Keoetamaan, kebesaran, kemoeliaan dan keberanian jang sedemikian itoe, hanjalah bisa tertjapai karena ‘Tauhid’ sahadja. Tegasnja, menetapkan lahir batin: Tidak ada sesembahan, melainkan Allah sahadja.”
Memang, dengan tauhid, seorang Muslim akan mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk melaksanakan semua yang diwajibkan oleh Allah SWT. Untuk itu ia siap menghadapi risiko karena seorang yang bertauhid tidak akan takut pada siapapun kecuali kepada Allah SWT. Dengan kalimat tauhid, seorang Muslim tak mudah terpedaya oleh godaan duniawi, karena ia menyadari dunia sifatnya sangat sementara, yang kekal abadi adalah akhirat di sana.
Nah, semangat tauhid itu pula yang ingin digelorakan dalam RPA. Dalam pawai, peserta membawa bendera tauhid, baik al-liwa maupun ar-raya, mengarak dan mengibar-ngibarkannya. Ini sebuah kegiatan yang sangat simbolik memang. Namun, itulah salah cara yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan kemauan berjuang—di tengah umat di tengah arus pragmatisme, hedonisme dan kapitalisme dalam era sekularisme yang sudah demikian mencengkeram—bagi tegaknya kembali syariah dan Khilafah.
Kita yakin, bila runtuhnya Khilafah dulu menjadi pangkal hancurnya dunia Islam dan timbulnya berbagai malapetaka yang menimpa Dunia Islam, maka bangkitnya kembali Dunia Islam dari keterpurukannya pun hanya mungkin melalui tegaknya kembali Khilafah itu. Khilafahlah yang akan menyatukan kaum Muslim di seluruh dunia, menerapkan syariah secara kaffah dan menghadapi segala bentuk ancaman, khususnya neoliberalisme dan neoimperialisme. Dengan itu negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, akan benar-benar menjadi baldah thayyibah wa rabbun ghafur.
++++
Alhamdulillah, meski ada sedikit gangguan di satu dua kota, secara keseluruhan RPA bisa diselenggarakan dengan lancar dan sukses. Menggeloranya semangat peserta yang hadir membuncah di berbagai tempat penyelenggaraan RPA memperlihatkan bagaimana usaha membangun kemauan kolektif umat menunjukkan hasil yang nyata. Namun, bila sudah sekian banyak kegiatan besar dilakukan, dan selalu dihadiri oleh massa yang melimpah, masih saja kemauan untuk berjuang di kalangan umat belum tampak tumbuh dalam skala yang meyakinkan, tentu tidak berarti kegiatan seperti RPA ini gagal atau tidak ada gunanya. Barangkali justru diperlukan lebih banyak lagi kegiatan serupa, selain berbagai uslub lain yang harus dilakukan untuk terus menumbuhkembangkan kemauan berjuang di tengah-tengah umat, karena menumbuhkan kemauan memang tidak semudah membalikkan tangan. Diperlukan kesungguhan, kesabaran dan usaha terus menerus dengan daya dan dana yang tidak sedikit hingga terbentuk ummah’s will yang sebenar-benarnya. [H. Muhammad Ismail Yusanto]