(Tafsir QS al-Muthaffifin [83]: 25-28)
يُسْقَوْنَ مِنْ رَحِيقٍ مَخْتُومٍ، خِتَامُهُ مِسْكٌ وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ، وَمِزَاجُهُ مِنْ تَسْنِيمٍ، عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا الْمُقَرَّبُونَ،
Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi. Untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. Campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, yaitu mata air yang diminum oleh orang-orang yang didekatkan kepada Allah (QS al-Muthaffifin [83]: 25-28).
Dalam ayat sebelumnya, diberitakan tentang balasan yang akan diterima di akhirat oleh al-abrâr, orang-orang yang berbakti. Balasan untuk mereka adalah ditempatkan di jannah al-na’îm. Lalu diterangkan beberapa kenikmatan di dalamnya. Di antaranya adalah ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan hidup mereka. Mereka digambarkan duduk-duduk di atas dipan yang indah sambil memandang aneka pemandangan surga yang disediakan Allah SWT untuk mereka. Kebahagiaan itu pun tampak jelas dari wajah-wajah mereka.
Setelah itu, diberitakan tentang balasan dan sebagian sebagian kenikmatan yang akan diberikan kepada mereka di akhirat kelak.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Yusqawnâ fî rahîq makhtûm (Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak [tempatnya]). Ayat ini memberitakan tentang salah satu kenikmatan yang didapatkan para penghuni surga. Kenikmatan tersebut adalah minuman ar-rahîq yang diberikan kepada mereka. Menurut para mufassir, yang dimaksud dengan ar-rahîq adalah khamr. Menurut al-Laits, ar-rahîq adalah khamr.1 Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, Qatadah dan Ibnu Zaid menyebut ar-rahîq sebagai salah satu nama khamr.2 Menurut Abu Ubaidah, al-Akhfasy, al-Mubarrad, dan az-Zajjaj ar-rahîq adalah khamr yang tidak memabukkan dan tidak merusak.3
Al-Qinuji menafsirkan ar-rahîq sebagai khamr khâlishah (yang murni) terbebas dari kotoran, berwarna putih.4 Menurut al-Khalil, ar-rahîq adalah puncaknya khamr dan khamr yang paling bagus. Muqatil dan lainnya menyebut ar-rahîq sebagai khamr pilihan yang putih, jernih dari kekeruhan, dan terang.5
Itulah penjelasan para mufassir mengenai makna ar-rahîq. Semua menafsirkan ar-rahîq sebagai khamr meskipun berbeda tentang sifat detailnya.
Adapun makhtûm berkedudukan sebagai shifah dari rahîq. Dengan demikian khamr yang diberikan kepada mereka dalam keadaan makhtûm. Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Khitâmu misk[un] (laknya adalah kesturi). Menurut asy-Syaukani, kata al-makhtûm atau al-khitâm mengandung dua makna. Pertama: dari khitâm asy-syay‘ yang berarti âkhiruhu (yang menjadi penghabisan padanya). Kedua: dari khatmihi asy-syay‘i , yakni menjadikan sebagai penutup atas sesuatu, sebagaimana sesuatu yang ditutupi dengan segel dan semacamnya.6
Oleh karena itu, penjelasan para mufassir itu juga berkisar dua makna tersebut. Al-Aufa berkata dari Ibnu Abbas, “Allah SWT memberi mereka kebaikan berupa minuman khamr. Lalu minuman terakhirnya adalah kesturi.”
Demikian dikatakan oleh Qatadah dan adh-Dhahak. Ibrahim dan al-Hasan juga menafsirkan, “Kesudahannya adalah minyak kesturi.”
Abu Darda’ berkata, “Khitâmu misk adalah mimunan yang berwarna putih seperti perak, yang mengakhiri minuman penutup mereka. Seandainya ada seorang penduduk dunia mencelupkan jari-jarinya ke dalamnya, lalu dikeluarkan, maka tidak ada makhluk yang memiliki nyawa kecuali dia mencium baunya.”7
Menurut al-Jazairi, frasa khitâmuhu misk[un] berarti akhir dari minuman tersebut adalah semerbak bau minyak kesturi yang amat harum, yang keharumannya berada pada level paling tinggi.8
Al-Qinuji menafsirkan, bahwa dengan makhtûm di sini adalah disegel wadahnya, dan tidak dibuka tutupnya kecuali ada kepentingan.9 Al-Khazin juga berkata, “Minuman tersebut ditutup atau disegel dan dilarang untuk disentuh oleh tangan hingga segelnya dibuka oleh al-abrâr.”10 Menurut al-Khazin, sesungguhnya minuman tersebut disegel karena kemuliaan dan keindahannya.11
Perbedaan penafsiran itu tidak terlalu siginifikan. Keduanya sama-sama menunjuk-kan betapa bagusnya minuman yang diberikan kepada al-abrâr.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wafî dzâlika falyatanâfas al-mutanâfisûn (Untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba). Kata penunjuk (ism al-isyârah) fî dzâlika menunjuk pada ar-rahîq yang diceritakan sebelumnya.
Frasa ini didahulukan dalam rangka li al-hasyr (untuk membatasi). Menurut al-Jazairi, frasa: fî dzâlika berarti lâ fî ghayrihi (bukan dalam perkara lainnya).12 Dengan demikian ayat ini menegaskan hanya untuk urusan inilah seharusnya al-mutanâfisûn itu melakukan tanâfus.
Secara bahasa, kedua kata tersebut berasal dari asy-syay‘ an-nafîs (sesuatu yang amat bagus dan berharga), yang diinginkan oleh jiwa manusia. Masing-masing orang menginginkan untuk dirinya dan tidak menginginkan hak itu pada orang lain, yakni dia besikap kikir dan bakhil.13
Dalam konteks ayat ini, al-mutanâfisûn menurut al-Alusi adalah orang-orang yang bersemangat dalam bergegas menuju ketaatan kepada Allah SWT.14 Al-Jazairi juga menafsirkan ayat ini dengan ungkapan, “Pada kenikmatan semacam ini, dan bukan pada perkara lainnya, seperti harta dunia, minuman, dan kepemilikan lainnya yang pasti lenyap, wajib bagi orang yang berlomba-lomba untuk berlomba-lomba. Mendapatkan semua itu adalah dengan beriman dan beramal shalih, setelah benar-benar menjauhi kemusyrikan, perkataan buruk, dan perbuatan tercela.”15
Menurut al-Alusi, perintah untuk bersemangat dalam perlombaan didahulukan untuk menunjukkan urgensitas, atau untuk membatasi (artinya, hanya itu dan bukan yang lain, pen). Artinya, maka berlomba-lomba dan bersemangatlah dalam hal itu. Bukan dalam khamr di dunia, atau kelezatan dan kenikmatan dunia lainnya.16
Ibnu Katsir juga berkata, “Maksudnya, dalam keadaan seperti ini orang-orang hendaknya berbangga dan saling berlomba untuk mendapatkannya, sebagaimana Allah SWT berfirman:
لِمِثْلِ هَذَا فَلْيَعْمَلِ الْعَامِلُونَ
Untuk kemenangan seperti ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja (QS al-Shaffat [37]: 61).
Kemudian Allah SWT memberitakan keistimewaan lain dari minuman yang diberikan kepada al-abrâr dengan firman-Nya: Wa mizâjuhu min tasnîm (Campuran khamr murni itu adalah dari tasnim). Artinya, minuman ar-rahîq yang diberikan itu bercampur dengan tasnîm.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, tasnîm merupakan nama suatu mata air di surga.17 Menurut al-Alusi, penjelasan tersebut diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Hudzaifah al-Yamani.18
Secara bahasa kata at-tasnîm berarti al-irifâ’ (ketinggian). Tasnim adalah mataair yang mengalir dari tempat yang tertinggi ke tempat yang paling rendah. Contoh dari kata tersebut adalah sanâm al-ba’îr (punuk unta). Disebut demikian karena punuknya lebih besar dari badannya. Begitu pula tasnîm al-qubûr (gundukan kuburan).19
Selanjutnya Allah SWT berfirman: ’Ayn[an] yasyrabu bihâ al-muqarrabûn ([yaitu] mata air yang diminum oleh orang-orang yang didekatkan kepada Allah). Ayat ini menerangkan keistimewaan tasnîm yang dijadikan sebagai campuran ar-rahîq. Disebutkan ayat ini, tasnîm merupakan mataair yang diberikan kepada al-muqarrabûn. Menurut Abu Shalih dan adh-Dhahhak, tasnîm adalah nama minuman yang paling mulia bagi para penghuni surga.20 Menurut al-Qurthubi mataair itu diminum oleh para penghuni surga ‘Adn. Penghuni surga pilihan itu meminum yang murni dari mataair itu. Adapun untuk penghuni lainnya meminum campurannya.21
Menurut Fakhruddin ar-Razi, dalam surat al-Waqi’ah Allah SWT membagi mukallaf menjadi tiga: al-muqarrabûn, ash-hâb al-yamîn (golngan kanan), dan ash-hâb asy-syimâl (golongan kiri). Ketika Allah SWT menyebutkan kemuliaan orang-orang yang disebutkan dalam surat ini, bahwa campuran minuman merka adalah dari mataair al-muqarrabûn, maka menjadi tahu bahwa orang-orang yang disebutkan dalam surat ini adalah orang-orang yang terkategori ash-hâb al-yamîn (golngan kanan). Ar-Razi juga berkata, “Ini menunjukkan bahwa sungai-sungai (di surga) itu berbeda-beda keistimewaanya. Tasnim adalah sungai yang paling istimewa. Al-Muqarrabûn adalah penghuni surga yang paling utama.”
Minuman Penghuni Surga
Di dalam surga terdapat aneka kenikmatan. Di antara kenikmatan itu adalah minuman yang dianugerahkan Allah SWT kepada penghuni-nya. Kenikmatan inilah yang diberitakan dalam ayat ini.
Diberitakan bahwa penghuni surga itu diberi minuman berupa ar-rahîq. Sebagaimana telah dijelaskan para mufassir, pengertian ar-rahîq adalah khamr. Dalam ayat lain diberitakan bahwa minuman tersebut berwarna putih dan amat lezat rasanya. Allah SWT berfirman:
يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ (٤٥)بَيْضَاءَ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ (٤٦)لا فِيهَا غَوْلٌ وَلا هُمْ عَنْهَا يُنْزَفُونَ (٤٧)
(Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum (QS ash-Shaffat [37]: 45-47).
Lezatnya minuman khamr di surga juga disebutkan dalam QS Muhammad [47]: 15). Berbeda dengan khamr di dunia yang memabukkan, khamr di surga tidak membuat peminumnya menjadi pening dan mabuk. Allah SWT berfirman:
لا يُصَدَّعُونَ عَنْهَا وَلا يُنْزِفُونَ
Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk (QS al-Waqi’ah [56]: 19).
Dalam ayat lainnya juga diterangkan bahwa minuman tersebut tidak memabukkan. Allah SWT berfirman:
يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ
Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya (QS ash-Shaffat [37]: 45).
Minuman tersebut juga tidak menimbulkan perkataan buruk dan perbuatan dosa. Allah SWT berfirman:
يَتَنَازَعُونَ فِيهَا كَأْسًا لا لَغْوٌ فِيهَا وَلا تَأْثِيمٌ
Di dalam surga mereka saling memperebutkan piala (gelas) yang isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula perbuatan dosa (QS ath-Thur [52]: 23).
Itulah keistimewaan minam khamr di surga. Selain itu masih ada keistimewaan khamr lainnya yang dianugerahkan kepada mereka. Pertama: Keadaannya yang tertutup dan jenis penutupnya. Sebagai minuman istimewa, minuman diberikan kepada penghuni surga dalam keadaan tertutup dan disegel. Kondisinya yang disegel menunjukkan kemuliaan, keistimewaan dan keagungan minuman tersebut. Menjadi lebih istmewa manakala penutupnya juga bukan sembarang penutup. Penutupnya juga merupakan benda istimewa, yakni misk, minyak kesturi. Jika minyak kesturi di dunia demikian harumnya, tentu tak terbayangkan betapa harumnya minyak kesturi di akhirat. Karena itu, selain lezat rasanya, khamr di akhirat juga harum baunya.
Kedua: Campurannya. Ar-Rahîq yang diberikan kepada penghuni surga menjadi semakin dicampuri dengan tasnîm. Tasnîm adalah mataair di surga yang hanya diminum oleh penghuni surga tertentu. Mereka adalah al-muqarrabûn.
Sungguh, itu semua merupakan kenikmatan tak terkira. Maka dari itu, seharusnya untuk memperoleh kenikmatan inilah manusia berlomba-lomba. Untuk urusan inilah manusia harus mengerahkan segala daya, bersegera dan tidak menunda-nuda. Caranya adalah dengan mengerjakan berbagai amal yang dapat mengantarkan pelakunya mendapatkan kenikmatan tersebut.
Semoga kita termasuk orang yang mendapat kenikmatan tak terkira tersebut. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 92.
2 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 352.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 488.
4 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol.15 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, , 135.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 265.
6 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1994), 488.
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 353.
8 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 539
9 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol.15, 135
10 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 406.
11 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 406.
12 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa alHikam, 2003), 539
13 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 406.
14 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 282.
15 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 539.
16 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 282.
17 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 93.
18 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 283. (Madinah:Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 539.
19 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 266.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 352.
21 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 266.