Neoliberalisme adalah liberalisme baru atau bentuk modifikasi liberalisme (modified form of liberalism)1. Menurut Alonzo L. Hamby, Ph.D., profesor sejarah di Universitas Ohio, liberalisme merupakan paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality) dan kesempatan (opportunity).2
Dalam konteks ekonomi-politik, liberalisme merupakan paham yang didasarkan pada sebuah pandangan, bahwa setiap individu harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tanpa ada intervensi dan campur tangan negara. Gagasan seperti ini diadopsi dari pemikiran Adam Smith yang menyatakan bahwa tatanan masyarakat ideal dan kemajuan manusia hanya bisa diwujudkan di dalam masyarakat yang “membebaskan setiap individu untuk mengikuti kepentingan-kepentingannya sendiri” (individuals follow their own self-interest).3 Kondisi semacam ini hanya bisa terwujud jika di sana tidak ada lagi campur tangan atau regulasi terhadap “mekanisme pasar”.
Adam Smith percaya sepenuhnya bahwa kebebasan perdagangan dan pengaturan sendiri ekonomi (a self-regulating economy) akan menciptakan kemajuan masyarakat. Ia mengkritik adanya tarif dan batasan-batasan lain yang mengekang kebebasan individu dalam perdagangan. Menurut dia, pemerintah hanya diperlukan untuk melindungi atau menjaga undang-undang dan ketertiban, penguatan peradilan, menjaga negara, serta menyediakan beberapa pelayanan dasar yang tidak bisa dijumpai di pasar.
Di kemudian hari, gagasan Adam Smith ini menjadi tonggak dasar paham ekonomi liberal (economic liberalism). Selanjutnya paham liberalisme ini—terutama liberalisme ekonomi—dimodifikasi sedemikian rupa hingga beralih rupa menjadi neoliberalisme; paham lama dengan wajah baru.
Kufur dan Menyesatkan
Neoliberalisme beserta derivatnya adalah paham kufur yang haram diadopsi dan disebarluaskan. Kekufuran paham ini didasarkan pada sejumlah alasan. Pertama: Neoliberalisme lahir dari pemikiran orang kafir, sama sekali tidak berhubungan dengan wahyu. Semua pemikiran yang tidak lahir dari akidah Islam adalah kufur. Pemikiran yang lahir dari agama Budha, Kristen, Hindu, Yahudi dan Nasrani adalah pemikiran kufur. Begitu pula pemikiran yang lahir dari paham liberalisme, sekularisme, sosialisme dan demokrasi. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali tidak akan diterima, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]: 85).
Nabi saw. juga bersabda:
لَوْ أَصْبَحَ فِيكُمْ مُوسَى ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ، وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ
Andai Nabi Musa as. ada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikuti dia dan meninggalkan aku, sungguh kalian tersesat (HR Ahmad).
Mengikuti ajaran Adam Smith seraya meninggalkan ajaran Nabi saw. adalah kesesatan dan kekufuran.
Kedua: Liberalisme tegak di atas empat pilar kebebasan; kebebasan beragama, berpendapat, memiliki dan berperilaku. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Pasalnya, liberalisme telah menyetarakan antara kekufuran dan keimanan; ketaatan dan kebatilan. Seseorang dibebaskan untuk memeluk suatu keyakinan, keluar dari suatu keyakinan, atau tidak berkeyakinan sama sekali dengan alasan “kebebasan berkeyakinan”.
Dengan mengatasnamakan kebebasan, perilaku-perilaku kriminal (dalam pandangan Islam) dianggap sebagai bagian dari kebebasan berperilaku dan berpendapat. Penghinaan terhadap simbol-simbol Islam seperti penghinaan kepada Nabi saw, al-Quran dan lain-lain dianggap legal dengan alasan kebebasan berpendapat. Perilaku menyimpang semacam lesbian, homoseksual, berbusana porno dan lain sebagainya mendapatkan payung hukum dengan alasan kebebasan berperilaku. Kenyataan ini menunjukkan bahwa liberalisme nyata-nyata merupakan paham kufur yang sangat berbahaya bagi kaum Muslim dan umat manusia.
Memang benar, Islam tidak memaksa orang kafir masuk Islam. Orang kafir juga tidak dihukum karena memeluk keyakinan selain Islam. Hanya saja, ketentuan ini tidak berarti bahwa Islam membenarkan keyakinan atau agama di luar Islam, atau mentoleransi penyebaran kekufuran dan kesesatan.
Syariah Islam melarang kaum Muslim keluar dari agama Islam, atau menyebarkan paham atau keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam semacam demokrasi, liberalisme, pluralisme, sekularisme dan paham-paham kufur lainnya. Seorang Muslim yang terbukti keluar dari agama Islam atau menyebarkan paham-paham kufur dikenai sanksi hukuman mati.
Ketiga: Empat pilar kebebasan di atas bertentangan dengan Islam.
- Kebebasan beragama.
Islam tidak mengenal kebebasan beragama sebagaimana yang dipahami kaum liberal. Islam menetapkan sejumlah aturan untuk orang kafir dan Mukmin. Untuk orang kafir (Ahlul Kitab dan musyrik), Islam tidak memaksa mereka memeluk agama Islam. Namun, mereka terus diseru untuk masuk Islam. Jika mereka menolak, mereka tidak dipaksa atau dihukum atas penolakannya untuk masuk Islam. Dalam Kekhilafahan Islam, orang kafir yang tetap dalam kekufurannya dikenai jizyah, sebagai wujud ketundukan mereka terhadap kaum Muslim. Namun, kaum musyrik (selain Ahlul Kitab) yang tinggal di Jazirah Arab hanya diberi pilihan: masuk Islam atau diperangi; tidak ada opsi membayar jizyah.
Kaum kafir dibiarkan menjalankan agama dan keyakinan mereka pada batas-batas yang ditetapkan oleh Islam. Namun, mereka tidak diberi fasilitas atau dukungan untuk menyebarkan agama dan keyakinan mereka di dalam Negara Islam. Khalifah mensterilkan kurikulum pendidikan dari semua agama, keyakinan, paham dan pemikiran kufur. Pasalnya, negara Khilafah juga wajib berdakwah menyebarkan Islam dan membendung kekufuran. Negara Khilafah adalah institusi dakwah yang bertugas menerapkan Islam di dalam negeri dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Adapun kaum Mukmin wajib terikat sepenuhnya dengan Islam dan dilarang keluar dari agama Islam. Siapa saja yang keluar dari Islam, maka ia telah kafir, dan wajib dihukum mati. Seorang Muslim pun harus menyadari bahwa seluruh perkataan dan perbuatannya wajib terikat dengan syariah Islam.
- Kebebasan berpendapat dan berperilaku.
Islam juga tidak pernah mengakui kebebasan berpendapat dan berperilaku ala liberalisme. Seorang Muslim wajib berbicara dan berbuat sesuai dengan syariah Islam. Seorang Muslim tidak dilarang menyatakan pendapat atau gagasan selama bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Setiap Muslim yang memiliki kemampuan berijtihad diberi keluasan untuk menggali hukum dari al-Quran dan Sunnah. Ijtihad hanya terlarang bagi yang tidak memiliki kapabilitas berijtihad. Jika ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam memahami nash zhanni, maka hal itu adalah perkara lumrah dan diakui di dalam Islam. Dalam lintasan sejarah yang panjang, para ulama berbeda pendapat dalam suatu masalah yang nas-nasnya zhanni. Namun, mereka tidak pernah berselisih pendapat dalam perkara-perkara yang dalilnya qath’i, seperti tentang kewajiban hidup sesuai syariah dan mengangkat seorang khalifah; keharaman zina, judi, riba, dan lain sebagainya. Mereka juga tidak pernah berselisih pendapat dalam perkara-perkara akidah sepertinya tentang kufurnya orang yang meyakini agama atau keyakinan selain Islam; menolak syariah Islam sebagian atau keseluruhan; dan lain sebagainya.
Siapapun, baik Muslim ataupun kafir, dilarang menyebarkan paham-paham yang akan merusak persatuan dan kesatuan umat Islam, atau merobohkan sendi Daulah Islamiyah, semacam nasionalisme, demokrasi, pluralisme, liberalisme, ateisme, sekularisme dan paham kufur lainnya. Siapa saja yang terbukti menyebarkan paham-paham ini, diberi sanksi hukuman mati. Nabi saw. bersabda:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mendatangi kalian—sementara urusan kalian telah terhimpun pada seorang laki-laki—yang hendak merebut kekuasaan kalian dan memecah-belah kesatuan kalian, maka bunuhlah (HR Muslim).
Siapa saja yang mengeluarkan statemen yang meremehkan atau menghina simbol-simbol Islam, seperti menghina Nabi saw., para sahabat beliau, shalat, puasa, dan lain sebagainya, maka ia berhak dihukum hingga taraf hukuman mati.
Dalam konteks berperilaku, seorang Muslim wajib berperilaku sejalan dengan syariah Islam. Ia dilarang berperilaku menyimpang dari syariah Islam semacam homoseksual, seks dan pergaulan bebas, dan perilaku menyimpang lainnya. Negara Khilafah akan memberangus perilaku-perilaku menyimpang tersebut dan menghukum pelakunya sesuai ketentuan syariah Islam.
- Kebebasan memiliki.
Islam tidak pernah mengakui kebebasan kepemilikan ala liberalisme. Islam memandang bahwa semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT. Manusia berhak memiliki dan memanfaatkan semua yang ada sesuai dengan ijin Allah SWT. Ijin Allah adalah syariah-Nya yang dibawa Nabi saw. Dengan demikian seseorang berhak memiliki dan memanfaatkan sesuatu asalkan sejalan dengan tuntunan syariah.
Syariah Islam telah menggariskan sejumlah ketentuan yang terkait dengan harta dan jasa. Harta atau jasa haram seperti khamer, daging babi, darah mengalir, bangkai, prostitusi, dan lain-lain, dianggap bukan barang dan jasa ekonomis. Karena itu haram bagi seorang Muslim mengkonsumsi barang haram atau menggunakan jasa haram.
Syariah Islam juga menetapkan adanya harta-harta milik umum yang tidak boleh dikuasai atau didominasi oleh individu atau sekelompok individu semacam sungai, laut, udara, air, padang rumput, barang tambang dengan deposit melimpah, dan lain sebagainya. Harta milik umum dikelola sepenuhnya oleh negara agar kemanfaatannya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Tidak ada privatisasi harta milik umum, apapun alasannya. Abyadh bin Hammal menuturkan:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
Sesungguhnya Abyad bin Hammal pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi saw pun memberikan tambang itu kepada dia. Ketika Abyad bin Hamal ra telah pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sesungguhnya Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-ma’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. mencabut kembali pemberian tambang garam itu dari dia (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud).
Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa tambang dengan deposit melimpah haram diberikan kepada individu atau sekelompok orang. Jika terlanjur diberikan maka Kepala Negara wajib menarik kembali pemberiannya.
Namun, ada pula harta-harta yang ditetapkan syariah boleh dimiliki oleh individu di luar harta-harta milik umum dan negara. Ketentuan ini tentu berbeda dengan ketentuan yang lahir dari paham demokrasi-liberal yang membebaskan setiap individu untuk menguasai dan mengelola harta-harta milik umum serta meminimalisasi campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi rakyat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme adalah paham kufur sehingga haram diadopsi, diterapkan dan disebarkan.
Biang Kerusakan dan Kezaliman
Neoliberalisme terbukti menjerumuskan manusia ke dalam lembah kesengsaraan dan kehancuran. Selain menghancurkan sendi-sendi keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, paham ini juga menenggelamkan manusia dalam kefasadan dan kezaliman massal. Manusia diseret ke arah aturan rimba, yang kuat menindas yang lemah. Para pemilik modal—yang sekarang berkolaborasi dengan atau menjadi penguasa itu sendiri—adalah penguasa sejati. Merekalah yang berkuasa mengangkat atau menjatuhkan seseorang dari tampuk kekuasaan. Bahkan tangan kekuasaan mereka juga menjangkau kekuasaan legislatif, yudikatif bahkan partai politik. Akibatnya, hukum dan undang-undang vital hampir tidak bebas dari intervensi dan kepentingan para pemilik korporasi. Sebagai contoh, lahirnya UU Migas, SDA, kebijakan pemangkasan subsidi, dan lain-lain yang dibuat untuk kepentingan korporasi asing. Jargon “rakyat yang berkuasa” yang diejawantahkan dalam Pemilu langsung hanyalah jargon kosong dan menipu. Rakyat terus diperas dan dihisap oleh penguasa yang juga pengusaha. Statemen “demi kepentingan rakyat” pada setiap kebijakan yang dikeluarkan hanyalah kedok untuk memuluskan kerakusan dan ketamakan mereka, sekaligus untuk menyenangkan pemilik modal asing.
Celakanya lagi, dengan alasan kebebasan pula, pemilik modal dan korporasi asing diberi kebebasan secara luas hingga menyandera kemandirian dan kedaulatan bangsa.
Di bidang pendidikan, liberalisasi telah membentuk karakter individualis yang memberangus kebersamaan. Agama dan norma tidak lagi menjadi penting dan sakral. Bahkan agama harus dipinggirkan sedemikian rupa dari masyarakat dan negara.
Di bidang ekonomi, tata kelola ekonomi tidak lagi berbasis pada paradigma “pelayanan negara kepada rakyat (public service)”, tetapi disangga di atas paradigma “laissez faire” yang meminimalisasi peran dan campur tangan negara dalam urusan-urusan ekonomi. Paradigma ini memaksa negara untuk melakukan liberalisasi ekonomi dan semaksimal mungkin melibatkan peran swasta dalam hampir seluruh kegiatan ekonomi penting. Untuk mempercepat proses liberalisasi ekonomi ini, Pemerintah mengeluarkan berbagai macam kebijakan penting: (1) penghapusan subsidi; (2) privatisasi BUMN; (3) perdagangan bebas; (4) deregulasi kebijakan-kebijakan yang menghambat kompetisi, masuknya pelaku pasar, dan lain sebagainya. Lahirlah kemudian UU BUMN, UU PMA, UU Migas, UU SDA, UU Kelistrikan, UU Pendidikan, dan undang-undang lain yang terjiwai oleh semangat liberalisme.
Liberalisasi ekonomi pun telah membuka jalan bagi kaum kapitalis untuk menguasai sumber-sumber energi negara-negara berkembang. Mereka pun sekaligus menjadikan negara-negara berkembang sebagai pasar bagi produk-produk industri mereka.
Liberalisasi ekonomi juga semakin mengukuhkan dominasi korporasi-korporasi raksasa dan mematikan perusahaan-perusahaan dalam negeri akibat tidak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Fakta telah menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi telah membuka selebar-lebarnya bagi asing untuk menguasai sektor hulu dan hilir. Di sektor hulu, dengan adanya kebijakan privatisasi BUMN, asing berhasil menguasi tambang-tambang migas hampir 84%, dan tambang-tambang lain yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Liberalisasi pun sudah merambah PSO (public service obligaton). Konsekuensinya, urusan-urusan yang menjadi hajat hidup rakyat seperti pendidikan, kesehatan, listrik dan lain-lain kini diambil alih oleh swasta, baik lokal maupun asing. Akibatnya, beban rakyat semakin bertambah berat karena harus mengeluarkan biaya hidup yang semakin mahal. Pasalnya, prinsip badan usaha negara “melayani urusan rakyat” telah diganti dengan prinsip “untung dan rugi”.
Demikianlah, neoliberalisme adalah paham jahat dan berbahaya yang penerapannya harus segera diakhiri. Siapa saja yang menerapkan paham ini, sama saja telah melanggengkan kelaliman dan penjajahan gaya baru (neo imperialism). Penerapan liberalisme dalam ranah politik dan ekonomi hakikatnya adalah permusuhan keji dan jahat terhadap Islam dan kaum Muslim.
WalLahu al-Musta’an wa Huwa Waliyu at-Tawfiq. []
Catatan kaki:
1 Dictionary, World Book 2005.
2 Brinkley, Alan.Liberalism and Its Discontents. Harvard Univ. Pr., 1998; Gray, John.The Two Faces of Liberalism. New Pr., 2000; Kloppenberg, James T.The Virtues of Liberalism. Oxford, 1998; Van Dyke, Vernon, Ideology and Political Choice. Chatham Hse., 1995.
3 Professor Roberto Serrano (Professor Ekonomi di Universitas Brown), Artikel Tentang Adam Smith, yang dimuat pada World Book 2005, 2005.