HTI

Opini (Al Waie)

Ramadhan: Bulan Kebangkitan Umat

Tak terasa sebentar lagi kita akan menghadapi bulan Ramadhan. Jika kita coba cermati, bulan ramadhan tahun ini, merupakan bulan Ramadhan ke–95 tanpa Khilafah sejak Khilafah dihancurkan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 27 Rajab 1342 H. Setelah Khilafah dihapuskan, sketsa kehidupan umat Islam saat menjalani Ramadhan hampir seratus tahun lamanya homogen. Seperti biasa, kedatangannya disambut dengan perbedaan penetapan 1 Ramadhan, menjalaninya dalam suasana karut-marut dengan kenaikan harga berbagai bahan pokok, dan mengakhirinya dengan perbedaan penetapan 1 Syawal. Sungguh jika kita coba evaluasi, makna Ramadhan seperti ini sangat jauh panggang dari api.

Ramadhan, bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT atas sebelas bulan lainnya, adalah bulan pelaksanaan ibadah puasa (syahrush-shiyam), bulan al-Quran (syahrul-Qur’an), bulan melatih kesabaran (syahhrush-shabr), bulan penuh ampunan (syahrut-tawbah wal-maghfirah) dan masih banyak keaguangan lainnya yang seyogyanya sangat istimewa bagi umat Islam. Sejatinya, kedatangannya dinanti dengan segenap hati. Kehadirannya ditunggu dengan sepenuh jiwa.

Namun yang terjadi saat ini, umat Islam tidak menampakkan dirinya sebagai umat terbaik, ditandai dengan pelaksanaan puasa yang tidak bersatu dan semrawut. Pada saat suatu kaum berpuasa ternyata masih ada kaum yang belum berpuasa. Ya, perbedaan penetapan 1 Ramadhan penyebabnya. Celakanya terdapat sejumlah orang yang terang-terangan enggan berpuasa tanpa takut dikenakan sanksi. Al-Quran dihempaskan dan tak bernilai tak terkecuali pada bulan diturunkan untuk pertama kalinya. Kesabaran yang seharusnnya dilatih tidak mampu menundukkan hawa nafsu. Menahan diri dari beberapa perkara mubah, misalnya makan dan minum, tetapi pada saat yang sama tidak mampu menundukkan hawa nafsunya untuk mencampakkan riba serta muamalah kapitalistik lainnya, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada kedua orangtua dan maraknya perbuatan syirik. Parahnya, legislasi UU racikan akal manusia tetap berjalan. Jika melihat hal ini, bagaimana mungkin puasa di bulan Ramadhan bisa menjadi kifarat (penghapus) atas dosa-dosa besar tersebut?

Saudaraku, akankah Ramadhan tahun ini kembali bernasib sama dengan Ramadhan-ramadhan yang telah berlalu? Tentu tidak. Ya, tidak boleh hal-hal di atas terulang kembali. Tidak bisa hal serupa terjadi lagi. Bagaimana caranya? Kebangkitan umat. Kebangkitan ummat mensyaratkan perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran umat. Islam (aqidah dan syariah) mutlak menjadi sudut pandang berpikir dan standar perbuatan umat. Realitas hanyalah obyek berpikir yang harus diubah dengan Islam, bukan dalil untuk melabeli baik-buruk (khairsyarr), terpuji-tercela (hasan-qabih), dan halal-haram. Realitaslah yang harus disesuaikan dengan Islam, bukan sebaliknya. Dengan demikian kesadaran dan gerakan politik umat akan menjembatani kelangsungan kehidupan islami melalui penegakan Khilafah Islamiyah. Hanya dengan tegaknya Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah maka syariah Islam bisa diterapkan secara kaffah dan umat Islam akan bersatu di bawah kepemimpinan tunggal Khalifah. Penetapan 1 Ramadhan tidak akan berbeda lagi, Al-Quran akan dijadikan pedoman tertinggi dan direalisaikan secara sempurna sehingga kesabaran dapat dilatih dan dosa-dosa besar terhindarkan yang mengakibatkan ampunan dosa-dosa kecil bisa kita harapkan.

Puasa Rmadhan akan menjadi benteng (junnah) bagi individu sementara Khalifah akan menjadi benteng (junnah) bagi masyarakat.

Saudaraku, mari jadikan Ramadhan ini momentum kebangkitan umat untuk mempercepat datangnya nashrulLah. Allahu Akbar. WalLahu a’lam bi ash-shawaab. [Muliah Hamarong; Mahasiswa Pasca Sarjana ITB]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*