HTI

Berita Dalam Negeri

Semangat Kian Menggelora

Islam kian tumbuh di Indonesia. Kecintaan masyarakat terhadap Islam makin meningkat. Upaya membaca dan menghapal al-Quran bukan hanya tumbuh di kalangan anak-anak TK melainkan juga di kalangan remaja dan dewasa. Tak sekadar di Taman Pendidikan al-Quran melainkan juga dilaksanakan di kampus dan hotel. Penerapan syariah Islam merupakan tuntutan berbagai kalangan di masyarakat. Bahkan Khilafah menjadi opini yang makin hari makin dipahami dan dianggap sebagai solusi.

Dulu sebagian orang menganggap Khilafah itu tidak ada dalam Islam. Kini mereka ‘terpaksa’ menggunakan istilah khilafah dan khalifah. Kita masih ingat pernyataan KH Said Aqil usai penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Jakarta beberapa bulan lalu, “PBNU mensyaratkan semangat Khilafah Islamiyah yang digagas untuk Indonesia haruslah sesuai dengan semangat nasionalisme.”

Sebelumnya, kalangan liberal menyatakan bahwa Khilafah itu utopis. Namun, kini tampaknya berubah, sekalipun dengan pendefinisiannya sendiri. Bahkan mereka merasa perlu menyelenggarakan acara bertajuk “Khilafah: Antara Fiksi dan Sejarah” pada 29/4/2015. Ulil Abshar Abdalla yang pada tahun 2007 menegaskan bahwa tidak ada hukum Allah, dalam acara tersebut mengatakan, “Khilafah yang diperjuangkan tidak harus sebagai institusi politik, tetapi cukup sebagai institusi spiritual saja. Jadi, bagi pengusung Khilafah seperti HTI semestinya begitu itu.”

Padahal Ulil sangat getol menyuarakan bahwa Khilafah itu utopis. Kini? Rupanya terjadi pergeseran pemikiran. Terlepas dari pemaknaannya terhadap Khilafah, dia seakan ingin menegaskan ‘khilafah bukan utopis lagi’. Mengapa? Sebab, realitas makin menunjukkan bahwa dunia memang membutuhkan Khilafah. Dalam kesempatan yang sama, Dawam Rahardjo menyatakan setuju Khilafah sebagai institusi politik, tetapi bentuknya seperti OKI atau PBB. Khilafah juga harus bergerak di bidang ekonomi global seperti APEC dll, tetapi berbasis syariah, bukan sekedar spiritual. Hal yang menarik, Dawam mengatakan, “Mestinya HTI diundang untuk menjadi pembicara.” Salah seorang peserta juga unjuk bicara, “Mestinya HTI diundang untuk menjadi pembicara, untuk tabayyun.

Suara HTI tentang apa itu Khilafah rupanya dirindukan. Ini sebagian kecil fakta tentang terus merembesnya gagasan Khilafah ke berbagai kalangan yang selama ini tidak menyetujui Khilafah.

Umat makin paham betapa tanah dan air umat Islam ini digadaikan kepada asing. Mereka juga makin mengerti bagaimana demokrasi sudah menjadi jalan bagi bercokolnya negara penjajah melalui antek-anteknya. Tak heran, masyarakat semakin memilih Islam sebagai solusinya. Namun, hal ini dikhawatirkan penguasa. Untuk menghalanginya, dibuatlah pengkotak-kotakkan Islam. Salah satunya, dimunculkan istilah “Islam Indonesia”. Untuk menunjukkan hal itu, dalam acara peringatan Isra dan Mi’raj di Istana Negara (16/5/2015), al-Quran dibaca dengan langgam tembang Jawa. Tajwid pun disesuai-sesuaikan dengan langgam tersebut. “Ini ide saya,” aku Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Selain itu, sebagaimana ditayangkan oleh beberapa TV swasta nasional, Lukman bangga dapat turut serta dalam acara Jalan Damai Lintas Iman yang diselenggarakan Ditjen Bimas Kristen Kemenag dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada hari yang sama. “Inilah Islam Indonesia,” ungkapnya.

Padahal Rasulullah saw. mengharamkan sikap ‘ashabiyah seperti itu. Islam hanya satu. Upaya menjadikan Islam dikerangkeng oleh nasionalisme sehingga dikotak-kotak menjadi ‘Islam Indonesia’, ‘Islam Malaysia’, ‘Islam Saudi’, dan sebagainya hanyalah upaya—sadar atau tidak—memecah belah Islam dan umatnya. Selain itu, hal ini hanyalah upaya untuk menghalangi bersatunya umat Islam sedunia.

Di sisi lain, menghadang perjuangan Islam lewat isu radikal pun terus digulirkan. Bahkan Presiden Jokowi mengatakan di Jayapura (9/5/2015) bahwa di antara tantangan nomor satu yang dihadapi adalah radikalisme. Apa yang dimaksud radikalisme? Selama ini jelas ditujukan kepada Islam. Padahal radikal itu bisa positif dan bisa negatif. Sekadar contoh, dulu ada yang disebut ‘Konsentrasi Radikal’ alias ‘Radicale Concentratie’, yaitu suatu gabungan antara wakil-wakil dari Budi Utomo, Sarekat Islam, Indulinde dan ISDP dalam Volksraad yang secara keras mengajukan berbagai tuntutan perubahan ketatanegaraan Indonesia. Masyarakat saat itu memandang gerakan radikal tersebut bagus dan organisasi pejuang. Sebaliknya, kalangan penjajah menyebut itu sebagai gerakan berbahaya.

Beruntung, saat ini masih ada yang berpikiran lebih positif. Sekadar contoh, dalam pertemuan dengan ormas-ormas Islam di kantor MUI Pusat (14/5/2015), Kapolri Badroodin Haiti mengatakan, “Polisi bukan anti gerakan radikal, tetapi anti kekerasan. Ada organisasi yang memiliki pemikiran radikal, namun mereka antikekerasan. Keberadaan mereka tidak ada masalah.”

Di sisi lain, keadaan terpuruk tidak dapat ditutup-tutupi. Upaya melakukan perubahan secara radikal pun merupakan tuntutan realitas. Sebab, kondisi Indonesia memang sedang meluncur dengan cepat, sengaja dan terprogram menuju kehancuran. Indonesia menuju negara gagal, fail state. Pakar ilmu pemerintahan, Ryaas Rasyid, menyampaikan kepada saya pertengahan Mei 2015 lalu, “Demokrasi yang diterapkan di Indonesia gagal.” Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden era SBY ini menambahkan, “Demokrasi AS, Eropa, Indonesia dan Thailand pun gagal. Demokrasi tidak efektif. Kekhawatiran Barat adalah pada Islam. Bila kita dapat memotret lebih baik tentang sejarah, hal ini bisa jadi alternatif melawan mereka.” Perlu perubahan secara mendasar.

Tidak mengherankan, mereka yang sadar akan kondisi ini tidak segan memberikan dukungannya kepada perjuangan penerapan syariah Islam dan penegakkan Khilafah. Salah satu yang saya lihat adalah dari kalangan pemuda. Pada 2/5/2015, saya menerima kunjungan dari utusan KAMMI di kantor DPP HTI. Mereka adalah peserta Latihan Kepemimpinan tahap 2 yang sengaja berkunjung ke HTI. Asalnya dari berbagai daerah seperti Jakarta, Solo, Semarang, Bandung dan Samarinda. Perbincangan seputar ancaman yang tengah dihadapi oleh Indonesia adalah neoliberalisme dan neoimperialisme. Tidak ada jalan untuk menyelamatkan Indonesia kecuali dengan Khilafah. Salah satu peserta dari Bandung mengatakan, “Kita sepakat bahwa solusinya adalah Khilafah. Namun, yang penting adalah bagaimana jalan menuju ke sana.”

Semangat pun terlihat di berbagai daerah. Rapat dan Pawai Akbar yang diselenggarakan oleh HTI mendapat dukungan dari banyak kalangan. Saya menyaksikan sendiri saat salah saru acara tersebut digelar di Samarinda, Kalimantan Timur. Masyarakat tumpah-ruah. Tantangan banyak, tetapi semangat kian menggelora! AlhamdulilLah. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*