Pengantar:
Pada tahun ini, tepatnya di bulan Rajab, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali mengadakan agenda besar. Kali ini mengusung agenda Rapat dan Pawai Akbar (RPA). RPA mengambil tema besar, “Bersama Umat Tegakkan Khilafah”.
Mengapa harus RPA? Apa pentingnya RPA bagi HT dan bagi umat? Mengapa pula kegiatan besar HTI selalu diadakan di bulan Rajab? Apa sesungguhnya target HTI dengan mengadakan acara besar di setiap bulan Rajab?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Redaksi mewawancarai Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ustadz Rokhmat S. Labib. Berikut hasil wawancara Redaksi dengan beliau.
Mengapa Hizbut Tahrir mengadakan kegiatan RPA ini di 36 kota besar di Indonesia?
Ini adalah bagian dari dakwah Hizbut Tahrir di tengah-tengah umat. Selain melakukan pembinaan internal untuk syabab atau kader, Hizb juga melakukan pembinaan untuk umat secara umum. Wujudnya aneka ragam, mulai dari kontak personal hingga kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar, seperti seminar, tablig akbar, konferensi dan lain-lain. Nah, RPA ini adalah salah satunya.
Khusus setiap bulan Rajab, kita fokus pada satu tema, yakni tentang Khilafah. Ini karena pada bulan Rajablah umat Islam kehilangan Khilafah. Tepatnya, pada 28 Rajab 1342 H. Saat itu Khilafah Utsmaniyah dihapuskan oleh Mustafa Kemal. Sejak itulah, umat ini terus menderita dan tak henti dilanda prahara. Karena itu di bulan ini kita mengingatkan kembali memori umat tentang Khilafah.
Bukankah acara seperti ini sudah berulang?
Ya, namanya dakwah, tentu harus terus diulang-ulang. Coba perhatikan, setiap khutbah Jumat, khatib diperintahkan untuk menyampaikan wasiat yang sama, yakni takwa. Itu kan terus diulang-ulang. Seruan Khilafah juga harus terus kita ulang. Sebab, hingga kini belum tegak. Sebelum Khilafah tegak, kita harus terus mengulang seruan ini hingga Khilafah tegak.
Perlu diingat, meskipun kita sudah menyampaikan berulang-ulang, masih banyak umat belum pernah mendengar dakwah kita. Karena itu dengan terus diulang, yang belum paham menjadi paham; yang belum setuju menjadi setuju; dan yang belum mau berjuang menjadi mau berjuang. Yang sudah berjuang, menjadi semakin kuat dan semangat untuk berjuang menegakkan Khilafah.
Meskipun demikian, kami tetap berusaha membuat kegiatan RPA ini berbeda dengan kegiatan-kegiatan Rajab sebelumnya, terutama dalam tema yang kita tonjolkan. Kali ini kita mengambil tema ‘Bersama Umat Tegakkan Khilafah’. Tema ini kita ambil untuk membangun kesadaran bahwa Khilafah merupakan kewajiban yang dibebankan kepada seluruh umat ini. Ketika berdiri, insya Allah dalam waktu dekat, Khilafah ini juga untuk umat ini tanpa membedakan kelompok, partai, mazhab, dan bangsanya.
Maka dari itu, semestinya seluruh umat ini turut ambil bagian dalam perjuangan menegakkan Khilafah. Untuk menunjukkan ini, maka dalam kegiatan Rajab ini selain ada rapat, kita menambahkan pawai, long march, atau masirah.
Sebelum RPA berlangsung, kita pun mengopinikan secara massif tentang ancaman besar bagi negeri ini. Itulah neoliberalisme dan neoimperialisme. Maka dari itu, dalam berbagai kegiatan, kita meneriakkan: Indonesia Terancam Neoliberalisme dan Neioimperialisme.
Bisa dijelaskan apa itu neoimperialisme dan neoliberalisme itu?
Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan bahkan penghilangan peran negara dalam semua kegiatan ekonomi, termasuk dalam sektor yang vital, strategis, dan menyangkut hidup orang banyak. Negara harus diposisikan sebagai regulator, tidak boleh menjadi operator.
Doktrin utama paham ini adalah mekanisme pasar. Untuk mewujudkan keadilan ekonomi, mekanisme pasar mutlak harus diterapkan. Segala yang dianggap bisa menyebabkan deviasi atau penyimpangan pasar harus dihilangkan. Dalam neoliberalisme, pemerintah tidak boleh ikut menjadi pemain dalam kegiatan ekonomi karena bisa mengganggu mekanisme pasar.
Subsidi juga harus dicabut. Pasalnya, subsidi dianggap bisa mengganggu mekanisme pasar. BUMN juga tidak boleh ada. Kalau ada, BUMN harus diprivatisasi atau dihilangkan hak-hak istimewanya dan disamakan dengan badan usaha swasta. Alasannya, keberadaan BUMN, apalagi dengan keistimewaan tertentu, akan mengganggu mekanisme pasar. Untuk mendapatkan tambang minyak, misalnya, BUMN harus bersaing dengan badan usaha-badan usaha swasta. Karena itu tak aneh jika Pertamina kalah dengan perusahaan swasta. Dalam sektor hulu, Pertamina hanya menguasai sekitar 14 persen. Sungguh ironis! Inilah neoliberalisme.
Mengapa disebut ancaman?
Saat paham itu diterapkan, maka sektor-sektor penting dan strategis akan dikuasai swasta. Inilah yang dilakukan rezim Jokowi dan rezim-rezim sebelumnya. Swasta dipersilakan investasi dan menguasai jalan tol, rel kereta api, pelabuhan, bandara, listrik, dan semacamnya. Ini tentu amat berbahaya. Selain akan membuat kekayaan terkosentrasi pada segelintir orang, juga akan mengebiri kedaulatan negara. Negara akan tunduk terhadap kepentingan mereka.
Demikian juga dengan kekayaan alam yang sebenarnya menjadi milik umum seperti air, minyak, gas, tambang emas, perak, dan berbagai tambang lainnya. Semuanya bisa dikuasai swasta seperti sekarang. Jika semuanya dikuasai oleh mereka, lantas apa yang tersisa untuk rakyat? Yang tersisa hanya penderitaan. Sebabnya, kekayaan alam yang seharusnya untuk kemakmuran mereka diambil oleh segelintir orang.
Nasib rakyat yang sudah merana itu makin menderita ketika pendapatan negara mengandalkan sektor pajak. Rakyat dipaksa membayar pajak dan aneka pungutan lain. Ini disebabkan karena negara tidak boleh melakukan kegiatan ekonomi, termasuk mengelola tambang-tambang, dan sektor vital lainnya. Akibatnya, negara tidak memiliki sumber pendapatan yang memadai.
Kalau neoimperialisme?
Nah, neoliberalisme itu pintu masuk bagi neoimperialisme. Ketika neoliberalisme mengharuskan pasar bebas, maka yang menjadi pemenangnya adalah para pemilik modal besar. Mereka adalah korporasi-korporasi asing yang memiliki modal besar, teknologi tinggi, dan manajemen yang unggul.
Di sinilah praktik penjajahan gaya baru atau neoimperialisme terjadi. Melalui korporasi-korporasi itu negara-negara kafir penjajah itu menguasai dan menguras kekayaan di negeri ini. Inilah ancaman besar bagi negeri ini: neoliberalisme dan neoimperialisme.
Selain menguras kekayaan alam, neoimperialisme juga dilakukan melalui pemberian utang. Jumlah utang Indonesia sudah sangat besar. Anehnya, meskipun dibayar setiap tahun, jumlahnya tidak berkurang, justru terus bertambah.
Apakah demokrasi tidak bisa menghadang neoliberalisme dan neoimperialisme?
Jelas tidak bisa. Demokrasi justru menjadi alat penjajahan.
Bagaimana bisa begitu?
Prinsip-prinsip neoliberalisme itu hanya dapat diterapkan melalui undang-undang. Sebagai contoh, liberalisasi migas. Ini bisa diberlakukan karena undang-undang mengharuskan demikian. Dalam UU Migas, negara hanya didudukan sebagai pengatur. Memang BUMN dan BUMD masih dibolehkan ikut dalam usaha migas, baik kegiatan hulu maupun hulir. Akan tetapi, kedudukannya sejajar dengan badan usaha swasta.
Demikian juga dengan UU Penanaman Modal. Dalam UU tersebut, negara memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri maupun dari luar negeri. Lebih parah lagi, dalam UU disebutkan jika terjadi persengketaan antara pemerintah dengan penanam modal asing maka akan diselesaikan melalui arbitrase internasional yang disepakati para pihak.
Itu semua adalah prinsip-prinsip neoliberalisme yang menjadi pintu masuk bagi neoimperialisme. Semuanya dimasukkan ke dalam undang-undang.
Mengapa bisa ada undang-undang demikian? Karena sistemnya demokrasi! Dalam demokrasi, otoritas membuat undang-undang ada di DPR bersama Pemerintah. Mereka bisa membuat undang-undang atau mengubah-ubahnya sesuai dengan kepentingan mereka, termasuk ketika mereka menetapkan undang-undang yang liberal, tak ada halangan.
Ketentuan ini memudahkan bagi siapa pun yang ingin merealisasikan kepentingannya dalam undang-undang. Mereka tinggal memegang DPR dan Pemerintah, maka akan mulus.
Masalahnya menjadi kian runyam ketika untuk menjadi anggota DPR dan eksekutif memerlukan dana yang amat besar hingga melebihi gaji resmi mereka. Terjadilah seperti yang dikatakan Mahfudz MD, ‘jual-beli pasal’. Pasal-pasal dibuat sesuai dengan pesanan yang bisa membayar mereka.
Lantas apa solusinya?
Khilafah.
Bagaimana Khilafah bisa menjadi solusi membendung neoliberalisme dan neoimperialisme?
Karena hukum yang diterapkan dalam Khilafah adalah syariah. Semuanya harus digali dari dalil-dalil syariah. Sebagaimana kita ketahui, liberalisme kontradiksi dengan syariah, baik secara ushul maupun furu’. Maka dari itu, dengan Khilafah neoliberalisme dan neoimperialisme dapat dienyahkan.
Selain dengan penerapan syariah, neoimperialisme juga dapat dicegah dengan kekuatan negara. Ketika negaranya kecil dan lemah, apalagi dipimpin penguasa yang penakut, negara dengan mudah ditekan dan diarahkan, bahkan dijajah.
Ini tidak akan terjadi pada Daulah Khilafah. Sebagai negara besar, yang menyatukan negeri-negeri Islam dalam satu naungan negara, Khilafah tidak akan bisa ditekan. Sebaliknya, Khilafah akan menjadi negara yang berwibawa dan ditakuti.
Bagaimana jalan perjuangan HT menegakkan Khilafah?
Hizbut Tahrir meneladani dan mengambil thariqah dakwah Rasulullah saw. Tidak bergeser darinya. Sebab, Hizb memahami bahwa thariqah dakwah tersebut merupakan bagian dari hukum syariah yang wajib ditaati. Sejarah juga membuktikan, dengan thariqah dakwah tersebut Daulah Islamiyah berhasil didirikan Rasulullah saw. Karena itu jika kita ingin langkah dakwah kita benar dan berhasil, ikuti dakwah Rasulullah saw.
Bisa digambarkan thariqah dakwah Hizb yang diambil dari thariqah Rasulullah saw.?
Jika kita cermati, ada tiga langkah dakwah Rasulullah saw. yang dilakukan. Pertama: Melakukan pembinaan secara intensif. Ini dilakukan untuk kader-kader dakwah. Pembinaan ini dilakukan untuk membesarkan tubuh Hizb. Tak hanya besar, namun juga kuat karena diisi oleh kader-kader yang kuat, tangguh, istiqamah, sabar dan sungguh-sungguh.
Kedua: Beriteraksi dengan umat. Tujuannya untuk membangun opini di tengah-tenah umat; kemudian mereka mendukung pemikiran dan perjuangan Hizb, bahkan bersedia berjuang bersama Hizb. Untuk itu, dilakukan berbagai kegiatan dan pembinaan yang bersifat umum. Kontak personal, penyebaran nasyrah, diskusi, seminar, tablig akbar, konferensi, dan sebagainya.
Ketiga: Thalab an-nushrah. Meminta pertolongan dari para pemegang kekuasaan riil. Di tangan merekalah sesungguhnya kekuasaan berada. Mereka didakwahi hingga dengan dorongan keimanan menyerahkan kekuasaan mereka kepada Hizb. Dengan begitu, Khilafah tinggal dideklarasikan dan disambut dengan gembira oleh seluruh umat.
Perjuangan HT sudah setengah abad lebih. Namun, Khilafah belum juga terealisasi. Sejauh mana optimisme perjuangan penegakkan Khilafah itu saat ini?
Sebuah perjuangan tidak boleh diukur dari lama atau sedikitnya waktu yang dibutuhkan. Yang justru paling penting adalah apakah perjuangan itu benar atau tidak. Tentu kebenaran itu didasarkan pada dalil. Selama dibangun dengan dalil yang kuat, kita wajib berjalan di atasnya, apa pun risikonya.
Masalah waktu? Itu sepenuhnya prerogatif Allah SWT, bukan berada dalam wilayah kekuasaan kita. Sebagai manusia kita diwajibkan berjuang dan setelah melakukannya kita bisa berharap pahala, surga, dan ridha-Nya. Lamanya waktu harus dipandang sebagai ujian kesabaran kita.
Apa yang diharapkan HTI pasca RPA ini?
Bagi syabab Hizb, kegiatan ini membuat mereka semakin bersemangat dalam dakwah. Sambutan umat yang makin besar menunjukkan bahwa kerja keras mereka menunjukkan hasilnya. Itu menjadi salah satu tanda kian dekatnya pertolongan Allah SWT.
Bagi umat secara umum, kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran mereka tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Aneka problem yang menghimpit mereka adalah akibat ketiadaan Khilafah. Karena itu solusi satu-satunya adalah dengan menegakkana kembali Khilafah di muka bumi. Dengan begitu mereka berbondong menyambut seruan Hizb untuk turut berjuang menegakkan kembali Khilafah.
Bagi ahlun-nushrah, mereka tidak ragu lagi untuk segera menyerahkan kekuasaan kepada Hizb sehingga Khilafah segara dapat ditegakkan kembali. []