HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Wajib Menaati Pemimpin

وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا

Seandainya diangkat sebagai pemimpin atas kalian seorang hamba sahaya yang memimpin kalian dengan Kitabullah maka dengar dan taatilah dia (HR Muslim, Ibn Majah, an-Nasai, Ahmad)

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Ummu al-Hushain al-Ahmasiyah. Hadis di atas disabdakan oleh Rasul saw. saat berkhutbah di Haji Wada’. Dalam lafal lain, kata “wa law ustu’mila ‘alaykum…” diganti dengan “wa in ummira ‘alaykum ‘abdun habasyiyun (Jika diangkat amir atas kalian seorang hamba sahaya Habasyi)…”

Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal yang sedikit berbeda. Rasul saw. bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ، وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، فَاسْمَعُوْا وأَطِيْعُوْا مَا أَقَامَ فِيْكُمْ كِتَابَ اللهِ

Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat amir atas kalian seorang hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar dan taatilah dia selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah (HR at-Tirmidzi).

Anas bin Malik ra. juga meriwayatkan hadis yang maknanya senada. Rasul saw. bersabda:

اِسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اُسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّهُ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ

Dengar dan taatlah kalian meski andai diangkat sebagai pemimpin atas kalian seorang hamba sahaya Habasyiy seolah-olah kepalanya berbisul-bisul (HR al-Bukhari, an-Nasai dan Ahmad).

Hadis ini memberikan beberapa pengertian. Pertama: Kepemimpinan dalam Islam itu tidak bersifat rasis. Kepemimpinan tidak menjadi hak bangsa, suku, atau warna kulit tertentu; juga bukan monopoli keturunan tertentu. Sebaliknya, kepemimpinan adalah hak seluruh Muslim sesuai dengan syarat-syaratnya.

Kedua: Hadis ini juga menguatkan pendapat bahwa syarat berasal dari Quraisy bukan merupakan syarat in’iqad (keabsahan) Khalifah, melainkan syarat afdhaliyah (keutamaan) saja.

Ketiga: Kepemimpinan dalam Islam tidak berdasarkan personaliti pemimpin itu, tetapi lebih berdasarkan hukum dan sistem yang diterapkan. Perintah untuk menaati pemimpin meski dia seorang hamba sahaya selama dia memimpin dengan Kitabullah menegaskan hal itu. Meski yang diangkat menjadi pemimpin itu statusnya di masyarakat paling rendah, ketika dia sudah menjadi pemimpin maka syariah memerintahkan untuk menaati dia selama dia memimpin dengan Kitabullah.

Keempat: Dalam Islam ketaatan kepada pemimpin sangatlah penting. Perintah Rasul saw. untuk menaati pemimpin meski dia seorang hamba sahaya menunjukkan pentingnya ketaatan kepada pemimpin itu. Pasalnya, para ulama sepakat bahwa seorang hamba sahaya tidak boleh diangkat menjadi pemimpin. Seorang hamba sahaya tidak punya hak tasharruf (bertindak) atas dirinya sendiri, apalagi diberi hak tasharruf (bertindak) atas orang lain. Padahal pemimpin itu diberi hak tasharruf terhadap orang lain. Perintah Rasul saw. untuk menaati pemimpin yang secara syar’i tidak boleh ada pemimpin seperti itu merupakan bentuk al-mubâlaghah. Hal itu menegaskan betapa pentingnya ketaatan kepada pemimpin itu dalam pandangan syariah.

Kelima: Meskipun sedemikian rupa posisi ketaatan kepada pemimpin dalam pandangan syariah, syariah tidak menjadikan ketaatan itu bersifat mutlak. Syariah membatasi ketaatan itu, yaitu selama pemimpin itu yaqûdukum bi KitabilLâh (memimpin kalian dengan Kitabullah). Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan: Ulama berkata, “Maknanya adalah selama para pemimpin itu berpegang teguh dengan Islam, menyerukan Kitabullah, bagaimanapun kondisi mereka dalam hal diri mereka sendiri, keagamaan dan akhlak mereka, dan tidak dipatahkan tongkat atas mereka. Namun, jika tampak dari mereka kemungkaran maka mereka diperingatkan dan diingatkan.”

Artinya, meski perintah ketaatan kepada pemimpin itu ditegaskan dengan bentuk al-mubâlaghah sedemikian rupa, tetap ketaatan itu bukanlah ketaatan buta, melainkan ketaatan yang diiringi dengan nasihat, peringatan dan muhasabah. Bahkan dalam konteks ini syariah menjadikan muhasabah (koreksi) kepada penguasa itu sebagai kewajiban bagi seluruh Muslim.

Syariah membatasi ketaatan kepada pemimpin adalah selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan kemaksiatan. Ibn Umar ra. menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Mendengar dan taat itu wajib atas seorang Muslim dalam hal apa saja yang ia sukai dan tidak ia sukai selama ia tidak diperintah untuk melakukan suatu kemaksiatan. Jika ia diperintah untuk melakukan suatu kemaksiatan maka ia tidak wajib mendengar dan taat (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Rasul saw. dalam salah satu riwayat di atas menjelaskan batasan perintah taat kepada pemimpin dengan sabda beliau “mâ aqâma fîkum KitâbalLâh (selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah). Maknanya adalah selama pemimpin itu menegakkan hukum-hukum al-Quran, yakni hukum-hukum Islam. Hadis di atas menggunakan redaksi syarat sehingga padanya berlaku mafhum syarth, yaitu jika syaratnya terpenuhi maka yang diperintahkan juga berlaku. Yang diperintahkan adalah ketaatan kepada pemimpin. Syaratnya adalah lafal yaqûdukum bi KitâbilLâh (memimpin kalian dengan Kitabullah) atau mâ aqâma fikum KitâbalLâh (selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah). Mafhum mukhalafah-nya adalah jika syarat tidak terpenuhi (yakni jika pemimpin tidak memimpin dengan Kitabullah atau tidak menegakkan hukum-hukum Islam) maka yang diperintahkan (yakni ketaatan kepada pemimpin itu) juga tidak ada. Aqâma KitâbalLâh maknanya menegakkan hukum Allah SWT karena itu adalah hukum al-Quran. Jadi, meski secara faktual tampak sama, selama yang ditegakkan itu bukan merupakan hukum Allah SWT maka tidak bisa dikatakan menegakkan hukum al-Quran. Inilah yang harus dipenuhi oleh pemimpin itu sehingga dia memiliki hak untuk ditaatai dan taat kepada dia pun hukumnya wajib.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*