HTI

Liputan Khusus (Al Waie)

Bersama Umat, HTI Opinikan Kewajiban Menegakkan Khilafah

Lebih dari seratus ribu kaum Muslim menghadiri Rapat dan Pawai Akbar (RPA) 1436 H: Bersama Umat Tegakkan Khilafah, Sabtu (30/5) di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Kegiatan tersebut merupakan puncak dari acara serupa yang dilaksanakan di 36 kota sejak awal Mei 2015.

Agar tidak terlambat mengikuti RPA Jakarta, para peserta dari Banten, Karawang, Purwakarta, Cikampek, Subang dan Sukabumi sejak dini hari sudah sampai lokasi. Karena itu saat waktu shalat shubuh tiba, lapangan hijau tempat biasanya para pemain bola merumput kini menjadi tempat sujud sekitar 20 ribu massa peserta RPA. Dengan demikian shalat shubuh berjamaah yang diimami KH Yasin Muthahar, Pimpinan Ponpes Al-Abqary, Serang, Banten, menjadi shalat shubuh pertama dan terbanyak di sepanjang sejarah lapangan sepak bola berkelas internasional. “Semoga shalat shubuh pertama di GBK ini sebagai awal turunnya nashrulLah. Karena itulah yang dibutuhkan untuk tegaknya Khilafah,” ujar Pimpinan Ponpes Al-Abqary, Serang, Banten tersebut memberi tawsiyah ba’da shubuh.

Ketika matahari pagi mulai berseri, warga Jabodetabek dan sekitarnya berbondong-bondong masuk ke Stadion Gelora Bung Karno. Meski puluhan ribu datang hampir berbarengan, tidak terjadi kekacauan. Pasalnya, setelah turun dari bus, masing-masing mereka berbaris rapi sambil meneriakkan takbir berjalan dengan tertib masuk melalui pintu masuk (gate) yang telah ditentukan.

Disambut Pembacaan Puisi

Perlahan tapi pasti tempat duduk di tribun bawah maupun tribun atas terisi. Sembari menunggu acara inti dimulai, para peserta disuguhi pembacaan puisi. Dengan berpakaian khas adat Banten, Abah Hideung dengan lantang membacakan puisi yang dia gubah sendiri:

Pekik Khilafah adalah fajar mengawali siang/Teriak Khilafah adalah kilat mendahului guntur/Gema Khilafah adalah pijar menandai ledakkan/Sebuah matematika bagi rumus kebangkitan/Bukan sekepul asap dari seonggok kemenyan.

Planet bumi adalah buku semesta manusia/Abad-abadnya adalah tumpukkan peristiwa/Ruang-ruangnya adalah pergiliran perubahan/Hingga orang berkata: Semua abad telah bernama/Kecuali sebuah abad, yakni abad mendatang.

Jika langit selapis harus habis terbakar/Jika bumi sejagat mesti pecah terbelah/Jika umur dunia hanya tinggal sehari/Jika segenap tatanan punah binasa/Namun Syariat Langit akan tegak menjulang/Dan niscaya abadnya akan bernama/Abad Khilafah, dengan seizin Tuhan.

Kepastian Tuhan/Perjanjian Al-Mushtafa/Api para Mukmin/Dentang lonceng kehidupan/Pertanda bahwa di seluruh ufuk/Matahari Syariah akan bersinar/Di abad yang sudah bernama/Abad Khilafah!

 

“AlLahu Akbar!” pekik pimpinan Ponpes An-Nizhamiyah, Sukabumi, tersebut yang lalu disambut takbir peserta.

Para peserta terus berdatangan. Mereka yang tidak kebagian tempat di tribun, duduk lesehan di tengah lapangan.

Untuk semakin mengkondisikan suasana, sekelompok pemuda di atas panggung yang menamakan diri sebagai Shoutul Khilafah mengajak para peserta menyayikan lagu Sambutlah Khilafah. Sembari mengibarkan liwa-raya, para peserta pun berdendang bersama: Sambutlah….Khilafah/Sambutlah… Khilafah… /Pelaksana hukum syariah…//Sambutlah…Khilafah…/Sambutlah…Khilafah…/Tegaklah kemuliaan ummat…

Lalu naiklah dai mantan rocker, Hari Moekti, ke atas panggung. Mubaligh yang akrab disapa Kang Hari tersebut menyanyikan lagi Indonesia Milik Allah duet bersama anak perempuannya. “Di Fatani umat diperangi tanpa henti. Di Rohingya umat dibantai. Hanya Khilafah yang bisa menyelamatkan,” pekik gadis cilik putri Kang Hari yang sudah hapal 4 juz al-Quran tersebut dengan lantang.

Kemudian inspirator Muslim Felix Siauw berjalan dari kursi VIP ke tengah lapang menuju panggung sambil berorasi membacakan tafsir al-Quran Surat Thaha ayat 125-129 yang menyebut orang-orang yang mengabaikan hukum Allah di akhirat akan dibangkitkan dalam keadaan buta. “Begitulah Anda. Ketika ada ayat yang Anda lupakan, maka pada hari ini (hari kebangkitan di akhirat) Anda dilupakan (dibangkitkan dalam keadaan buta). Bagaimana mungkin sistem yang telah dicontohkan Khulafaur Rasyidin Anda abaikan?” ujarnya sambil terus berjalan menuju panggung.

Di atas panggung ia pun memekik, “Tidak boleh ada sekutu bagi Allah baik dalam hal penciptaan, hukum maupun pemerintahan!”

Lalu ia pun naik ke atas mimbar raksasa lalu berkata, “Bersama umat tegakkan Khilafah!”

“AlLahu Akbar!” pekik hadirin serentak.

Dari pintu VIP,  muncullah lebih dari 20 dewan pimpinan pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berjalan menuju panggung dengan dikawal sekitar seratus para pemuda gagah mengusung liwa dan rayah. Pasukan pembawa bendera putih ke kanan, pembawa bendera hitam ke kiri lalu mereka duduk di tribun belakang panggung.

Pekik khilafah, khilafah, khilafah membahana sembari melakukan gelombang manusia ala para penonton bola. Yang tertepa ombak berdiri seraya berteriak: Khilafah.

Acara Inti

Dua pembawa acara Adi Maretnas dan Asep Supriatna, naik ke panggung membuka acara. “Selamat datang pada acara RPA. Semoga segala jerih payah bapak dan ibu semua, Allah akan ganti dan dicatat sebagai amal shalih,” ujar Adi yang juga sebagai anggota DPP HTI.

Usai H Ridha Abdul Wahab membacakan ayat suci al-Quran, Juru Bicara HTI Muhammad Ismail pun naik ke panggung memberikan sambutannya. “Bila runtuhnya Khilafah dulu menjadi pangkal hancurnya Dunia Islam dan timbulnya berbagai malapetaka yang menimpa dunia Islam, maka kita di sini yakin bahwa bangkitnya kembali Dunia Islam dari keterpurukannya pun hanya mungkin melalui tegaknya kembali Al-Khilafah itu,” tegas Ismail yang kemudian disambut takbir.

Dalam acara yang diselingi lagu nasyid perjuangan tersebut tampil pula anggota Maktab I’lami DPP HTI Farid Wadjdi.  Pemimpin Redaksi sejumlah media terbitan HTI tersebut menyatakan neoliberalisme dan neoimperialis-me merupakan biang kezaliman,  kekufuran dan kemaksiatan. “Sementara Allah SWT telah melarang kita diam terhadap kezaliman, diam terhadap kekufuran, diam terhadap kemaksiatan!” pekiknya.

Farid pun membacakan dalil. “Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian harus memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar atau Allah akan menimpakan hukuman atas kalian (karena meninggalkan aktivitas amar makruf nahi mungkar), kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan tidak Dia kabulkan,” ujarnya mengutip terjemahan hadis Rasulullah saw. riwayat at-Tirmidzi.

Ia juga mengutip pendapat para ulama. “Barangsiapa yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah syaythan akhras, yakni setan yang bisu dari jenis manusia,” pekiknya.

“Sekali lagi saya ingin bertanya pada Anda. Apakah Anda rela kondisi ini terus dibiarkan?” tanyanya.

“Tidak…!”  pekik massa.

“Oleh karena itu, setujukah Anda negeri yang sedang terancam ini harus segera diselamatkan?” tanya Farid lagi.

“Setuju…!” jawab mereka.

Sambil mengepalkan tangan, Farid berbicara dengan intonasi yang lebih tinggi, “Untuk menunjukkan persetujuan Anda, kepalkan tangan Anda, dan teriakkan takbir!”

“AlLahu Akbar…AlLahu Akbar…AlLahu Akbar…!” pekik massa sembari mengepalkan tangan.

Matahari semakin meninggi. Panas semakin meningkat. Sebagain besar peserta tetap diam di tempat. Namun, ada juga peserta di tengah lapangan menepi lantaran tak tahan dengan teriknya sinar mentari.

Naiklah Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Hafidz Abdurrahman membacakan doa seraya menceritakan kisah Nabi Musa yang ditinggalkan kaumnya yang tidak mau turut berjuang menegakkan kalimat tauhid. “Kita jangan sampai seperti Bani Israel yang meninggalkan Nabi Musa!” pekik Hafidz, kontan saja mereka yang tadi berhamburan kembali ke tengah lapangan.

Kang Hari kembali ke panggung menembangkan kembali lagu yang dia populerkan pada 1990-an, tentu saja dengan perubahan syair menjadi sesuai dengan tema sehingga Hanya Satu Kata berubah menjadi Hanya Insan Mulia:

Hanya Insan mulia/yang selalu dapat bersama/Dalam satu tujuan/tegakkan khilafah/Hanya insan mulia/yang selalu dapat bersatu/Dalam muliakan Islam/terapkan syariah/Bebaskan, tegakkan Khilafah damai dunia….

“Hanya satu kata!” pekik Kang Hari.

“Khilafah…!” lanjut peserta serentak.

Lantas tampil Ketua Lajnah Faaliyah DPP HTI Muhammad Rahmat Kurnia . Ia menegaskan bahwa Khilafah bukan ancaman. “Ada yang mengatakan Khilafah adalah ancaman. Mungkinkah Khilafah yang menerapkan hukum Allah dianggap ancaman?” ujarnya.

“Tidaaak…!” jawab peserta serentak.

“Tapi mereka mengatakan Khilafah itu ancaman. Padahal justru Allah SWT mengatakan syariah Islam yang ditegakkan Khilafah itu rahmat untuk semesta alam. Lantas siapa yang dipercaya, Allah atau mereka?” Tanya Ustadz Rahmat retoris.

Bukan hanya dari sisi keimanan, dari sisi fakta sejarah pun sejarahwan terpercaya mengakui kehebatan peradaban Islam. Lalu Ustadz Rahmat pun mengutip pernyataan salah seorang sejarahwan terkemuka. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka,” ujarnya mengutip Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII.

Kemudian Ustadz Rahmat pun kembali bertanya kepada para peserta. “Kalau begitu, masih percaya tidak omongan yang mengatakan bahwa Khilafah adalah ancaman?” tanyanya.

Serentak peserta pun memekik: “Tidaak…!”

Di penghujung rapat, tampillah Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib menyampaikan tiga resolusi politik. “Sesungguhnya negeri ini terpuruk karena neoliberalisme dan neoimperialisme. Setuju?!” pekiknya menyebut resolusi pertama.

“Setujuuu…!” jawab peserta yang telah mendapatkan penjelasan berbagai dalil tentang kewajiban menegakkan syariah dan Khilafah serta pemaparan kerusakan terjadi lantaran meninggalkan keduanya.

“Solusinya adalah penerapan syariah di dalam naungan Khilafah. Setuju?!” Ustdaz Rokhmat merekomendasikan resolusi yang kedua. “Setuju…!” jawab peserta dari  berbagai kalangan, laki-laki wanita, tua maupun muda.

“Maka kita berjuang menegakkan Khilafah. Anda semua siap?” ujar ustadz Rokhmat menyebut resolusi ketiga.

Massa yang berdatangan dari Jabodetabek dan sekitarnya dengan serentak menjawab: “Siiaap…!”

Lalu massa pun secara teratur pawai mengelilingi Stadion GBK sembari mendengarkan orasi yang disampaikan melalui mobil bak terbuka yang berada di depan peserta pawai. Acara lalu ditutup dengan doa. Kemudian peserta membubarkan diri. [Joko Prasetyo]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*