Soal:
Dengan melihat kecenderungan para mufassir dalam menafsirkan, tampaknya tidak ada metode baku dalam menafsirkan al-Qur’an. Benarkah demikian? Bolehkah, kita menggunakan nas-nas syariah, seperti al-Quran, untuk menjustifikasi sikap dan pandangan kita?
Jawab:
Dengan membaca kitab-kitab tafsir karya para mufassir pada masa lalu, memang benar tampak ada ragam tafsir dengan gaya dan bentuknya. Namun, semuanya hanya terkait uslûb tafsîr yang dikembangkan oleh setiap mufassir. Karena itu harus dibedakan antara uslûb tafsîr (gaya penafsiran) dan tharîqah tafsîr (metode penafsiran).
- Uslûb Tafsîr (Gaya Penafsiran).
Uslûb tafsîr antara satu mufassir dengan yang lain dimungkinkan berbeda karena perbedaan pendekatan dan kecenderungan masing-masing. Namun, perbedaan-perbedaan ini tidak menunjukkan bahwa dalam menafsirkan al-Quran tidak ada metode baku.
Uslûb at-tafsîr (gaya penafsiran) setiap mufassir dalam menafsirkan al-Quran memang berbeda-beda, sesuai dengan tendensi yang menjadi kecenderungannya. Sebut saja, misalnya, ada yang mempunyai tendensi kebahasaan. Karena itu dalam penafsirannya sangat memperhatikan gaya bahasa dan makna yang terkandung di dalamnya, seperti az-Zamakhsyari yang terkenal dengan tafsirnya, Al-Kasyyâf. Ada pula yang mempunyai tendensi teologis sehingga sangat memperhatikan aspek akidah, seperti Fakhruddîn ar-Râzi, yang terkenal dengan tafsirnya, Mafâtîh al-Ghayb. Ada yang mempunyai tendensi hukum dan fikih. Karena itu aspek hukum dan fikih sangat menonjol dalam tafsirnya, seperti Abû Bakar ar-Râzi, yang terkenal dengan tafsirnya, Ahkâm al-Qur’ân. Ada pula yang mempunyai tendensi historis dan kesejarahan. Karena itu ditelitilah kisah-kisah dan ditambahkanlah kisah-kisah dalam al-Quran sesuai dengan keinginanannya dari buku-buku sejarah, tanpa melihat sesuai atau tidak, seperti ‘Alâuddîn ‘Alî bin Muhammad al-Baghdadi atau yang dikenal dengan Al-Khâzin, yang terkenal dengan tafsirnya, Bâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl. Itulah tendensi dan perhatian yang diberikan oleh mufassir dalam menafsirkan al-Quran yang menjadi gaya penafsiran mereka pada zaman dulu.
Hal yang sama juga dilakukan oleh ahli tafsir pada zaman kontemporer. Di antara mereka, bahkan ada yang terpengaruh dengan budaya dan peradaban Barat sehingga mempengaruhi tafsir mereka. Sebut saja Muhammad ‘Abduh yang terkenal tafsirnya, Juz ‘Amma dan al-Manâr, yang berusaha mengompromikan peradaban Barat dengan Islam. Ada pula Thanthâwi al-Jawhari yang terkenal dengan tafsirnya, al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur’ân, yang berusaha memasukkan sains dalam kitab tafsirnya. Kitab-kitab seperti ini pada dasarnya jauh dari substansi tafsir, dan tidak layak disebut tafsir bagi kaum Muslim.
Inilah secara umum gambaran tentang gaya penafsiran para ahli tafsir. Adapun model tafsir yang berkembang di kalangan umat Islam bisa dikembalikan pada sumber penafsiran yang menjadi rujukan mereka. Model tafsir bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tafsîr bi al-manqûl aw al-ma’tsûr dan tafsîr bi ar-ra’y[i]. Semuanya ini terkait dengan uslûb at-tafsîr, bukan tharîqah tafsîr.
- Tharîqah Tafsîr (Metode Penafsiran).
Tharîqah Tafsîr (metode penafsiran) ini bersifat tetap (baku) dan menjadi patokan para mufassir ketika menafsirkan al-Quran.
Metode baku yang seharusnya ditempuh oleh Mufassir sehingga menghasilkan kitab tafsir yang ideal sebagaimana yang berkembang pada zaman Rasul saw. dan para Sahabat bisa dirumuskan sebagai berikut:
- Aspek kebahasaan.
Sebagaimana kita tahu, al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan terang. Tidak ada satu kata atau lafal pun di dalam al-Quran yang merupakan kata atau lafal non-Arab. Kata atau lafal Arab itu ada yang digunakan sebagaimana konotasi dasarnya, yang dikenal dengan istilah haqîqah, baik lughawiyyah, ‘urfiyyah maupun syar’iyyah. Namun, ada pula lafal yang digunakan keluar dari konotasi dasarnya karena adanya indikasi dan hubungan tertentu, yang dikenal dengan istilah majâz dan kinâyah. Ada juga yang digunakan berdasarkan prinsip derivatif, yang dikenal dengan istilah isytiqâq. Ada pula yang digunakan dengan konotasi yang sama dengan asalnya, tetapi dimodifikasi sebagai istilah Arab setelah mengalami arabisasi, yang dikenal dengan istilah ta’rîb.
Sebagai contoh, al-Quran menyatakan:
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ
Karena itu sekarang campurilah mereka (QS al-Baqarah [2]: 187).
Konotasi frasa bâsyirûhunna (campurilah mereka) tidak bisa dipahami dengan konotasi mubâsyarah secara mutlak, yaitu menyentuh istri. Dalam hal ini, konteks seruan mubâsyarah ini berkaitan dengan larangan melakukannya pada waktu puasa, bukan pada malam hari. Konteksnya berkaitan dengan jimak, bukan sekadar bersentuhan. Adapun menyentuh, termasuk mencium, pada siang dan malam hari saat berpuasa tidak dilarang. Karena itu konotasi mubâsyarah ini harus dipahami sebagai haqîqah syar’iyyah, yang harus ditafsirkan dengan konotasi syar’i, bukan bahasa (lughawiyyah) ataupun konvensi (‘urfiyyah).
Singkatnya, dari aspek kebahasaan ini, al-Quran harus ditafsirkan sesuai dengan apa yang dituntut oleh bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab, yang diambil dari keempat sumber, yaitu haqîqah, majâz, isytiqâq dan ta’rîb.
- Aspek rasionalitas.
Aspek rasionalitas di sini adalah sudut pandang yang didasarkan pada batasan akal. Akal itu sendiri tidak bisa berfungsi, kecuali jika ada empat komponen sebegai berikut: (1) realitas yang terindera; (2) otak yang sehat (waras); (3) pancaindera dan penginderaan; (4) informasi awal.
Jika keempat komponen akal tersebut terpenuhi, maka fungsi akal dalam konteks idrâk itu pasti akan berjalan. Namun, jika tidak, misalnya realitasnya tidak terindera, sehingga pancaindera dan penginderaan manusia tidak bisa menjangkaunya, maka fungsi akal dalam konteks idrâk ini tidak bisa berjalan. Meskipun demikian, akal tetap berfungsi untuk memahami makna teks atau informasi sehingga fungsi akal hanya memahami apa yang disampaikan, tidak lebih.
Sebagai contoh, Allah SWT. berfirman:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah (Muhammad), “Allah itu adalah Maha Esa.” (QS al-Ikhlash [112]: 1).
Kata ahad adalah lafal yang secara kebahasaan bisa dipahami dengan makna apa adanya, yaitu Maha Esa, yang juga berarti satu. Konotasi kebahasaan ini sudah jelas. Mengenai substansi satu, tidak perlu dijelaskan. Misalnya, apakah satunya Allah SWT itu merupakan angka, yang berkonotasi aksidental, ataukah bukan, sebagaimana yang dikembangkan oleh Plato? Dalam konteks ini, pembahasan mengenai substansi satunya Allah SWT ini merupakan perkara yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Karena itu penjelasan tentang lafal ahad tersebut harus tetap kembali pada batasan akal yang terbatas sehingga harus tunduk pada konotasi kebahasaan yang ditunjukkan oleh kata atau lafal Arabnya saja.
- Aspek muhkam dan mustâsyabih.
Jika ada nas yang menjelaskan satu konteks makna, yang satu muhkam dan yang lain mutasyâbih, maka yang muhkam harus menjadi pemutus bagi yang mutasyâbih. Misalnya, dalam firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku serta sapulah kepala dan kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki (QS al-Mâidah [5]: 6).
Lafal arjulakum (kaki kalian) ada yang membaca dengan bacaan mutawatir, dengan me-nashab-kan lafal tersebut karena faktor ‘athaf pada lafal wujûhakum (wajah kalian), yang menjadi objek (maf’ûl bih) kata faqghsilû (basuhlah). Ada pula bacaan mutawatir dengan arjulikum yang di-‘athaf-kan pada lafal ru’ûsikum (kepala kalian). Karena itu lafal arjulakum ini mutasyâbih, yang mempunyai dua makna berikut: (1) kaki mengikuti hukum wajah dan tangan sehingga harus dibasuh; (2) kaki mengikuti hukum kepala sehingga cukup dengan diusap.
Dengan demikian, jika mengikuti bacaan yang pertama, hukumnya cuma satu, yaitu harus membasuh kaki. Yang pertama ini disebut muhkam. Namun, jika mengikuti bacaan kedua, bisa dua hukum: (1) membasuh kaki, dengan alasan bahwa status arjul itu memang majrûr, tetapi bisa dihukumi manshûb; (2) mengusap kaki, dengan alasan statusnya majrûr. Karena itu yang kedua disebut mutasyâbih. Dalam konteks ini, yang pertama lebih dikuatkan ketimbang yang kedua. Inilah yang dimaksud bahwa muhkam harus menjadi pemutus yang mutasyâbih.
- Aspek korelasi ayat dalam surat dengan integralitasnya.
Istilah sûrat sebagai istilah dengan konotasi kumpulan ayat adalah istilah yang digunakan oleh Allah SWT dalam al-Quran, seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nûr ayat 1 atau al-Baqarah ayat 23. Jika melihat realitas ayat dan sistematikanya dalam surat yang bersifat tawqîfi, maka realitas ini membuktikan, bahwa ayat-ayat dalam surat tersebut merupakan satu-kesatuan yang integral. Di sinilah korelasi satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat itu menemukan bentuknya. Inilah yang oleh para mufassir disebut munasâbât ayât wa ukhrâ (korelasi ayat satu dengan yang lain). Karena itu untuk menafsirkan ayat al-Quran harus tetap memperhatikan korelasinya dengan ayat sebelum dan setelahnya.
- Aspek multiriwayat atau dalâlah.
Jika banyak riwayat atau dalâlah yang ditunjukkan oleh nas al-Quran, maka diperlukan tarjîh. Dalam hal ini, tarjîh atas berbagai riwayat atau dalâlah tersebut menjadi salah satu penentu.
Penutup
Inilah metode baku yang harus dijadikan pedoman dalam menafsirkan al-Quran. Adapun yang lain, selain kelima aspek ini, bisa dimasukkan dalam kategori uslûb tafsîr. Dengan demikian metode penafsiran al-Qur’an jelas baku. Adapun perbedaan hanya terletak pada aspek uslûb (gaya dan pendekatan), bukan metodenya.
Karena itu, menafsirkan al-Quran adalah upaya mendapatkan makna al-Quran sebagaimana yang dimaksud oleh Allah, dengan metode yang baku, yang telah dijelaskan di atas. Tafsir bukan untuk menjustifikasi pandangan atau sikap tertentu, yang justru bertentangan dengan Islam. Ini sebagaimana yang sebelumnya pernah dilakukan oleh Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, dalam al-Manar. Keduanya menjustifikasi imperialisme Inggris dengan ayat-ayat al-Quran. Pola dan model seperti ini tentu bukan tafsir al-Quran, bahkan bertentangan dengan al-Qur’an yang ditafsirkan.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [KH. Hafidz Abdurrahman]