HTI

Kisah Inspiratif

Sukses RPA Jakarta: Semua Karena Pertolongan Allah SWT

Pengantar:

Tentu tidak mudah mengumpulkan lebih dari seratus ribu massa hingga memadati GBK untuk menyukseskan acara RPA Jakarta. Ada pengorbanan luar biasa baik berupa tenaga maupun dana yang dikeluarkan panitia maupun peserta. Berikut beberapa penggalan kisahnya. Semoga menginspirasi pembaca.

“Allah akan Menjaga Mereka”

Sejak disosialisasikan adanya agenda RPA, bagi Natalia Carolina tiada hari tanpa mengontak. Ibu muda dua anak ini selalu mengunjungi tokoh dan jamaah ibu-ibu majelis taklim yang satu ke majelis taklim yang lain. Meski sering upayanya tak membawa hasil, karena pihak majelis taklim menolak memberikan waktu untuk sekadar memperkenalkan diri dan mensosialisasikan agenda RPA, hal itu tidak membuat ia putus asa.

Tak pernah sekalipun ia meninggalkan kewajibannya mengasuh buah hatinya. Setiap kontak, keduanya selalu dibawa.  Dengan naik sepeda motor, anak lelakinya yang baru berusia tiga tahun dibonceng di belakang, sementara bayi perempuannya yang baru berusia empat bulan digendong di depan.

Tak ada rasa takut, panik atau khawatir terhadap kondisi si buah hati.  “Setiap saya bertanya, apa tidak membahayakan anak? Dia selalu menjawab: Allah akan menjaga mereka,” ujar Sri Herawati, rekan seperjuangan di Bekasi Kota, Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawalumbu, Bekasi.

Seminggu jelang RPA, agenda semakin padat. Pembentukan panitia, persiapan properti, pemesanan bus, penggalangan dana, kunjungan ke jamaah untuk sosialisasi keberangkatan dll sunguh sangat menguras tenaga. Sri Herawati sebagai pembinanya pun hampir ngedrop karena kelelahan. Namun, tak ada wajah lelah dari sosok ini.

Sejak diamanahkan menjadi amirah bagi jamaah di Kampung Markan Bekasi, Natalia Carolina langsung mempersiapkan segalanya. Mengunjungi jamaah yang akan ia bawa,  mem-briffing panitia dalam timnya, menyiapkan properti, mencarikan tempat menginap bagi panitia, memesan konsumsi, dll. Semua ia lakukan dengan gembira bersama kedua buah hatinya.

Hari yang dinanti pun tiba. Pukul 04.00 dia bersama bayinya sudah meninggalkan rumah menuju titik kumpul di masjid Baitul Mukmin Kampung Markan. Ia melakukan shalat subuh berjamaah, lalu menuju tempat parkir bus.

Rencananya jamaah akan diberangkatkan pukul 05.00 menuju GBK. Namun, bis yang diharapkan sudah datang pukul 04.00,  tak kunjung datang. Waktu terus berjalan, jamaah mulai gelisah, hingga waktu menunjukkan pukul 6—saat bus dari wilayah lain di Bekasi sudah memasuki pintu GBK—bus yang dinanti tak jua menghampiri.

Dengan senyumnya yang khas, Natalia berupaya untuk menenangkan, meminta jamaah bersabar dan terus berdoa. Akhirnya, bus yang ditunggu-tunggu datang juga, tetapi kondisi bus tidak seperti yang dipesan, AC-nya mati dan tidak nyaman. Sekali lagi ujian datang. Lalu sosok ini mengobarkan semangat perjuangan sehingga kondisi bus yang tak nyaman bisa diabaikan oleh jamaah.

“Bikin Merinding”

Begitu juga dengan Teti Purwasih Firdaus. Meski sempat sempoyongan karena gula darahnya sedang tinggi, ia tetap memaksakan diri menghadiri acara ini. Ia tak datang sendiri, warga Sindang Barang Bogor tersebut mengajak sepuluh kontakannya di Bogor. Ia pun  mengerahkan sekitar 50 keluarga besar dan tetangga di Bojong Asih Kecamatan Parakan Salak Kabupaten Sukabumi; termasuk ibunda Nurhayati (70 tahun), Ua (bude) Sukaesih (74 tahun) dan  Ua Juariyah (75 tahun).

Pada awalnya Nurhayati khawatir atas kesehatannya. Ini karena ia sebelumnya sakit sehingga tidak mampu mengikuti pawai. Namun, Teti memberikan dorongan semangat kepada ibunda tercinta. “Umi pasti kuat. Kita berjuang kapan lagi kalau tidak sekarang. Kalau sampai wafat pun insya Allah dalam keadaan sedang berjuang. Lelehan keringat serta pengorbanan tenaga pasti Allah akan catat sebagai amalan shalih kita,” bujuk Teti.

Teti mengatakan, mereka semangat bertakbir, mengangkat tangan serta menangis terharu mendengarkan gema takbir yang terus berkumandang. Kibaran Ar-Rayah dan Al-Liwa di berbagai penjuru Gedung Gelora Bung Karno sangat menggetarkan dada serta membuat merinding.

Begitu juga dengan dirinya. Gema takbir, lantunan lagu semangat serta salawat kepada Nabi saw. tidak bisa membendung tetesan air mata ini. Haru, rindu, bahagia bercampur menjadi satu. Bergejolak hati menyaksikan kibaran bendera Ar-Rayah dan Al-Liwa, merinding. “Ya Allah kami rindu kepada pemimpin yang menyatukan umat sedunia. Kami rindu penerapan syariah-Mu. Sungguh, kami rindu berada dalam sistem Islam kaffah. Kami rindu pada Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah,” gumamnya saat menyaksikan acara.

Sepulang dari RPA, Teti pun menanyakan kesan-kesannya. Mereka semua menyatakan senang, gembira dan bersyukur bisa hadir di RPA.  Dian Mayasari (26 tahun), “Luar biasa banget, bikin merinding Bu. Dian mau banget ngaji.”

Yayah (37 tahun) dan putri remajanya Tiwi (17 tahun) juga menyatakan senang  bisa ikut RPA dan ingin hadir di acara Muslimah HTI serta mau mengaji. Begitu juga dengan Nani, Eni dan Arni yang merasa bersyukur bisa ikut RPA. Mereka pun menyatakan mau mengaji bersama Muslimah HTI.

“Sakitnya Tuh di Sini…”

Beberapa bulan sebelum RPA, seluruh aktivis Cikarang termasuk Ramah dihimbaui membayar infak Rp 1 juta untuk pendanaan RPA karena dana memang hanya dikumpul dari para aktivis HTI saja dan infak tiket pada peserta.

Jujur, awalnya itu terasa berat bagi dirinya, tetapi apa iya Allah tidak menolong? Begitu keyakinan Ramah. “Untuk dana, aku mulai memutar otak agar dana terkumpul tanpa harus meminta kepada suami karena memang suamiku juga belum ikut bergabung dengan barisan dakwah ini,” ujarnya.

Perjuangannya mengumpulkan dana dimulai dari berjualan bros di Pasar Bersih dengan teman sekelompok pembinaannya. “Tapi 4 kali sudah kami jualan, cuma laku dua atau empat. Itu juga kami harus pindah-pindah cari tempat karena diusir pedagang lain,” bebernya.

Akhirnya, Ramah mencoba dengan berjualan kripik pisang dan berjualan bensin di depan rumah. “AlhamdulilLah, sampai sekarang berjalan lancar berawal dari mau nabung untuk dana RPA, akhirnya aku bisa punya penghasilan tambahan dan terus kutabung tiap pekan karena sampai sekarang tabungan untuk menutupi kekurangan dana RPA masih dibuka,” ujarnya.

Adapun Fatim Illaningtyas mendapat amanah sebagai bendahara sektor Kecamatan Setu, Tangerang Selatan. Ia merasa kagum dengan rekan-rekan yang pendapatannya lebih rendah dari dirinya. Yang paling membuat ia terharu adalah salah satu rekan yang menyisihkan uang makan Rp 5.000 perhari agar dapat membayar lunas infak RPA sesuai komitmennya.

“Uang yang saya terima satu amplop penuh uang recehan dan uang dua ribuan. Duh, kadang sering berpikir, sahabat saya ini saja rela menyisihkan uang untuk makan dan jajan, berarti saya insya Allah bisa berkorban lebih secara harta,” ujarnya.

Pengalaman yang mengharukan lagi bagi Fatim adalah RPA ini banyak membawa hikmah kepada keluarganya, terutama untuk anak dan suami. Suami sering menganggap kegiatan seperti ini hanya merepotkan. Apalagi kalau bawa anak-anak. Alasannya, kasihan anak-anak kepanasan, capek, rewel dll. Bahkan sehari sebelum RPA suami meminta Fatim berangkat sendiri saja. Anak anak biar di rumah bersama suami. “Duh, sakitnya tuh di sini….Di dalam hatiku….sakit…,” Fatim bersedih.

Namun, Fatim yakin RPA adalah momen penting untuk anak-anak agar tahu aktivitas apa yang dilakukan ibunya, agar tahu mereka pun turut berpartisipasi dalam perjuangan ini. Karena niat Fatim yang sungguh-sungguh dan dengan penjelasan yang lemah lembut akhirnya suami bersedia ikut RPA bersama rombongan bis.

Benar saja, anak-anak gembira sekali ikut RPA. Mereka turut bertakbir dan ber-yel-yel sesuai arahan MC. “Nah, yang paling membuat saya senang adalah bahwa suami saya pun merasa senang hadir di acara ini. Suami merasa hatinya damai. Perasaannya pun jadi tenteram melihat saudara, teman-teman ikhwan yang sangat bersemangat dan wajahnya memancarkan sinar kedamaian. Begitu kata suami,” ungkap Fatim.

Di rumah suami menjadi kembali semangat untuk ikut kajian dan insya Allah tambah khusyuk dalam beribadah.

“Masya Allah, Luar Biasa Terik!”

Sejak matahari terbit, terik matahari menyorot ke tribun bawah gate 10 dan sekitarnya. Tentu semakin siang panas semakin menyengat para peserta wanita dari Bogor. Meskipun dilarang membuka paying, mereka tetap bertahan mengikuti acara dari awal sampai akhir. Salah satunya seperti yang dituturkan Zenita dari Cilendek, Bogor Barat. “Dari awal sampai akhir tempat saya dan teman-teman duduk disorot panasnya sinar matahari. Namun, kami tidak meninggalkan tempat duduk kami hingga acara usai,” ujarnya.

Lain ceritanya dengan Tresna Sari, warga Pasir Mulya Kota Bogor. Para peserta yang ia bawa sedikit demi sedikit keluar dengan berbagai alasan. “Karena memang posisi di tribun bawah gate 10, masya Allah luar biasa terik, persis diterpa matahari,” ujarnya.

Namun, masih ada satu orang, ya satu orang dari 40 lebih anggota rombongan yang masih khusyuk duduk menatap panggung, memperhatikan setiap tawsiyah orator dengan seksama. Sesekali bertakbir mengikuti komando padahal panas matahari saat itu semakin terik.  “Kondisi bangku kami pun sudah kosong tinggal beliau dan saya,” ujarnya.

Tresna terharu melihat semangat ibu Ade datang ke RPA. Padahal umurnya sudah cukup tua mungkin, hampir 70 tahun.. Hingga acara selesai lalu pulang, tak terlihat raut lelah dan kecewa di wajahnya. Semangat masih memancar dan ia berucap terima kasih. “Padahal mungkin seharusnya saya yang berterimakasih melihat kekhusyukan dan semangat beliau yang men-charge semangat saya. Semoga Allah memberikan ganjaran surga firdaus untuk keikhlasan beliau mengikuti acara ini, aamiin,” doa Tresna.

“Mendapat Kabar Tersebut, Badan Lemas”

Sebagai mahasiswa tingkat akhir akademi kebidanan di Bogor, Tutur Yunita tak pelak lagi ditugaskan sebagai petugas kesehatan RPA. Sebelum acara, sebagaimana para aktivis di sektornya, ia sibuk menggalang dana dengan mengadakan bazzar pakaian, jualan dan juga mencari peserta. Semua amanah ia kerjakan dengan gembira meski harus membagi waktu dengan proses penyusunan tugas akhir.

Tutur sudah tak tahan lagi ingin segera Hari-H RPA. Tiap hari gambaran dirinya menjadi bagian saksi sejarah bagi massa perindu syariah dan Khilafah berkumpul di GBK semakin nyata. Namun, impian itu langsung buyar tatkala mendengar kabar sidang Tugas Akhir dijadwalkan pada 30 Mei, bertepatan dengan RPA. “Jujur, setelah saya mendapat kabar tersebut, badan lemas; tak terasa air mata mengalir dan dalam hati berkecamuk. Sebab, acara RPA Jakarta ini bukan semata-mata hiburan, hura-hura, tetapi dalam rangka menunjukkan bukti perjuangan kami untuk melanjutkan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah yang mampu menerapkan syariah Islam secara keseluruhan dalam setiap sendi-sendi kehidupan,” ungkapnya sedih.

Tutur pun berdoa agar dirinya tetap dapat hadir dalam RPA, tetapi sidang tugas akhir tetap dapat terlaksana tanpa harus ditunda terlalu lama mengingat tidak kecilnya biaya. “Saya memanjatkan doa hanya kepada Rabbul ‘alamin seminggu sebelum acara berlangsung. Saya mendapat kabar bahwa sidang dimundurkan menjadi tanggal 3 Juni. Betapa hati membuncah penuh syukur dan semakin mengokohkan keimanan bahwa sesungguhnya janji Allah adalah benar. Siapa saja yang menolong agama Allah, Allah pasti akan menolong dan meneguhkan kedudukannya,” ujarnya gembira.

Pengalaman hampir serupa dialami Hanif Rifqi. Siswa kelas 11 SMK di Cikampek mengumpulkan dana dengan menyicil kepada pembina. Sampai akhir April Hanif mengira Ujian Kenaikan Kelas (UKK) tidak bentrok dengan RPA. Karena itu ia mengajak teman-temannya untuk turut serta dalam acara. Pada awal Mei diumumkan UKK dimulai pada 28 Mei dan tentu saja pada 30 Mei ujian masih berlangsung. Hanif dan teman-temannya pun bingung.

Hanif pun memperkuat tekadnya dengan meresapi al-Quran Surat Muhammad Ayat 7 (yang artinya): Hai orang-orang Mukmin, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukanmu.” Begitu terjemahnya.

Setelah orangtua mengizinkan, Hanif pun mengajukan izin ke sekolah. AlhamdulilLah, pihak sekolah pun mengizinkan sehingga ia dapat berangkat bersama rombongan Cikampek menuju GBK.

“Semangat, Semangat, Semangat!”

H-2 sakit lambung kambuh sampai hampir pingsan di jalan. Namun, kru Muslimah Media Center  (MMC) MHTI tak ridha jika tidak jadi melaksanakan amanah shooting RPA. Ia langsung theraphy akupuntur dll. Ia pun ijin tidak bisa ikut rapat di hari tersebut untuk pemulihan dulu. Hari H diamanahi kamera besar dari Infokom HTI. “Luar biasa beratnya untuk ukuran badan saya dan kondisi badan saat itu. AlhamdulilLah, dapat rezeki yang besar he..he..” ujarnya.

Amanah shoot dari jam 4 dini hari hunting peserta di lapangan parkir, area shalat dll. Di acara, amanah shoot keliling hampir semua sektor tribun wanita baik di luar maupun dalam gate, juga di panggung media, dan di atas mobil bak orator saat pawai. Nikmat semuanya. Terasanya baru malam dan keesokan harinya. Badan hampir tak bisa dgerakkan sama sekali.

Saat seperti itu, datang beberapa file laporan RPA dari tim terjemah MMC untuk diverifikasi terjemah bahasa Inggrisnya. Deadline malam itu juga karena sudah akan dilihat brothers dari Media Central Office. “AlLahu Akbar….La hawla wa la quwwata illa bilLah! Harus semangat, semangat semangat!! Sambil punggung bersandar di bantal, mata hampir tidak bisa dibuka, minum obat beberapa kali, besar sekali pertolongan Allah sehingga selesai juga terjemahnya. AlhamdulilLah ‘ala kulli hal,” pungkas Yanti. [Joko Prasetyo]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*