HTI

Ekonomi dan Bisnis

Demi Infrastruktur, Negara Digadaikan

Salah satu program yang digencarkan pemerintahan Jokowi saat ini adalah pembangunan infrastruktur. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 beberapa prioritas infrastruktur yang akan dibangun antara lain: jalan tol, pelabuhan, waduk, bandar udara, rel kereta api dan kilang minyak. Berbagai kebijakan dibuat demi melancarkan ambisi ini.

Pembiayaan

Dengan alasan meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur, Pemerintah memangkas berbagai pos yang dipandang tidak efektif dalam APBN. Salah satunya adalah mencabut subsidi BBM dengan melepas harganya ke mekanisme pasar. Pada APBN 2015, subsidi BBM berkurang dari Rp 276 T menjadi hanya Rp 64 T. Subsidi listrik untuk bisnis dan industri juga telah dihapus. Bahkan dalam pembahasan RAPBN 2016, subsidi untuk pelanggan rumah tangga 450-900 KWh, rencananya juga akan dicabut.

Sumber pembiayaan lainnya adalah menambah jumlah utang luar negeri. Menurut keterangan pejabat Kementerian Keuangan, Pemerintah juga mendapatkan utang sebesar Rp 50 triliun pertahun selama lima tahun ini untuk membiaya infrastruktur baik yang berasal dari ADB, IDB, JICA, Tiongkok, Australia dan Eropa (Detikfinance, 27/02/2015). Bank Dunia juga telah berkomitmen untuk memberikan utang sebesar 12 miliar USD yang antara lain untuk pembangunan infrastruktur.

Untuk memperbesar akses pinjaman, Pemerintah Indonesia juga ikut andil dalam pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan menyetorkan dana sebesar US$ 672,1 juta atau Rp 8,9 triliun. Bank infrastruktur yang digagas Tiongkok tersebut akan menjadi sumber pinjaman baru selain dari lembaga-lembaga donor yang telah menjadi langganan Indonesia.

Sumber pembiayaan terbesar infrastruktur yang diharapkan Pemerintah adalah investor swasta. Pelibatan investor swasta bahkan menjadi strategi pembangunan infrastruktur saat ini. Pada RPJMN tahun 2015-2019 disebutkan: “Skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dijadikan sebagai development approach dalam pembangunan infrastruktur sektoral maupun lintas sektor serta meningkatnya peran serta badan usaha dan masyarakat dalam pembangunan dan pembiayaan infrastruktur.” (Buku RPJM I, hal. 6-103).

Berbagai cara ditempuh agar investor, khususnya asing, berminat menanamkan modalnya di negeri mulai dari mengundang mereka secara khusus, melakukan presentasi di berbagai forum-forum internasional, menjalin kerjasama bilateral dengan sejumlah negara khususnya dengan Tiongkok, hingga melakukan relaksasi sejumlah regulasi investasi seperti pemberian tax holiday dan tax amnesty hingga pemberian izin kepemilikan properti oleh asing.

Komersialisasi

Pembangunan dan pengelolaan sejumlah infrastruktur di Indonesia sejatinya telah mengandalkan peran swasta untuk dikelola secara komersil. Jalan tol, misalnya, dari sekitar 900 kilometer yang terbangun, 576 km di antaranya dioperasikan oleh BUMN PT Jasa Marga dan sisanya oleh swasta. Meskipun demikian, semuanya dikelola secara komersil. Akibatnya, tarif jalan tol senantiasa naik dari waktu ke waktu, tak peduli tingkat kemacetan dan pelayanannya di beberapa ruas semakin buruk.

Dalam UU No. 38 2004 tentang Jalan, disebutkan bahwa tarif tol, selain dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan dan besar keuntungan biaya operasi kendaraan, juga ditentukan oleh kelayakan investasi. Evaluasi dan penyesuaian tarif tol juga dilakukan setiap dua tahun sekali dengan menyesuaikan laju inflasi. Aturan ini merupakan jaminan bahwa pendapatan operator akan selalu menguntungkan.

Contoh lainnya adalah proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. Dari jumlah tersebut, PLN hanya diberikan 10 ribu megawatt. Sisanya diserahkan kepada swasta. Bahkan untuk mempercepat proyek ambisius tersebut sebagian dilakukan melalui penunjukan langsung alias tanpa tender. Di samping investor lokal, sejumlah investor asing asal Tiongkok, Korea Selatan, Jepang dan Eropa telah menyatakan minat mereka untuk menggarap proyek tersebut.

Untuk produsen swasta atau yang dikenal dengan independent power producer (IPP), listrik yang mereka produksi dijual ke PLN sesuai dengan hasil negosiasi yang paling menguntungkan. Jika biaya produksi atau tingkat keuntungan yang diinginkan naik maka harga jual kepada PLN akan ikut naik. PLN juga didorong agar fokus mengelola jaringan distribusi, transmisi dan maintenance, sementara urusan pembangkit listrik diserahkan kepada IPP. Agar tetap menguntungkan, harga di tingkat konsumen dilepas ke mekanisme pasar.  Dengan demikian PLN dan IPP tetap untung, sementara Pemerintah tak perlu menanggung subsidi.

Hal serupa juga terjadi pada pelabuhan. Dengan alasan lebih efisien dan memiliki manajemen teknologi lebih maju, mereka diberi kelonggaran untuk mengelola pelabuhan nasional seperti Hutchison Port Holding (Hongkong) di Pelabuhan Petikemas Tanjung Priuk dan Dubai Port di Tanjung Perak Surabaya.

Risiko

Motif investasi swasta tidak lain adalah memaksimalkan laba agar pendapatan pemilik saham meningkat. Akibatnya, komersialisasi infrastruktur publik seperti jalan, listrik dan air membuat akses publik terhadap layanan dasar tersebut terutama bagi penduduk yang kurang mampu menjadi kian mahal.

Keterlibatan swasta dalam pengelolaan infrastruktur juga tidak menjamin kualitas akan menjadi lebih baik. Sekedar contoh, pengelolaan air di DKI Jakarta yang diserahkan kepada swasta tidak saja membuat harga air semakin mencekik, namun kualitas air juga semakin buruk. Proyek 10 ribu megawatt yang didominasi investor Tiongkok kualitasnya sangat buruk dibandingkan yang dibangun oleh anak perusahaan PLN. Laporan Public Services International(PSI) dengan tajuk “Why Public-Private Partnerships (PPPs) don’t work” memaparkan bagaimana buruknya pembangu-nan infrastruktur di sejumlah negara yang melibatkan swasta dibandingkan jika dilakukan oleh Pemerintah.

Di sisi lain, pengendalian swasta terutama oleh asing terhadap infrastruktur dapat mengancam keamanan dan kemandirian suatu negara. Oleh karena itu, beberapa negara kapitalis sekalipun justru membatasi bahkan menolak kehadiran investor asing jika mengancam kepentingan domestik mereka. Pada tahun 2006, Kongres Amerika Serikat menolak kehadiran Dubai Port World untuk mengelola enam pelabuhan utama di negara tersebut dengan alasan keamanan nasional. Padahal CFIUS, komite yang bertugas menyelidiki dampak investasi terhadap keamanan nasional, telah memberikan restu. Fakta ini menunjukkan bahwa negara tersebut sadar bahwa investor asing berpotensi untuk mengancam keamanan nasional suatu negara.

Perspektif Islam

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menyerahkan pengelolaan infrastruktur berdasarkan asas manfaat, Islam memberikan aturan yang unik yang didasarkan pada dalil-dalil syariah. Infrastruktur untuk memanfaat-kan barang-barang milik umum seperti air, api dan barang-barang tambang yang memiliki deposit besar hanya boleh dikelola oleh negara. Bentuk-bentuk infrastruktur tersebut adalah seperti alat untuk mengeksploitasi sumber-sumber air dan mendistribusikannya ke rumah-rumah, pembangkit listrik beserta jaringan transmisi dan distribusinya (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 75).

Jalan umum termasuk jalan tol juga masuk dalam kategori infrastruktur publik. Rasulullah saw. menetapkan bahwa manusia berserikat atas jalan umum. Mereka berhak untuk berlalu-lalang di atasnya sebagaimana sabda beliau: “Janganlah kalian duduk-duduk di jalan (umum).” (HR al-Bukhari Muslim). Ini karena duduk-duduk di jalanan dapat menghalangi orang lain berlalu-lalang atau mempersempit mereka (Ibid, hlm. 77).

Hal yang sama juga berlaku pada kereta api, trem, tiang-tiang listrik, saluran air dan pipa penyalur air yang terletak di jalan-jalan umum. Semua infrastruktur tersebut merupakan milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum. Dengan demikian, ia tidak boleh menjadi milik pribadi (Ibid, hlm. 77).

Demikian pula dengan pelabuhan; tidak boleh dikuasai oleh swasta karena menjadi sarana yang digunakan untuk memanfaatkan barang milik umum yaitu laut, sungai, danau, teluk, selat dan kanal. Negaralah yang berkewajiban mengelola semua itu untuk kemaslahatan umat dan menempatkan pendapatannya pada pos kepemilikian umum di Baitul Mal (Lihat: Ir. Nashir Abduh, “Al-Khashkhasah,” Majalah al-Wa’ie, no. 173)

Infrastruktur lainnya yang wajib dipenuhi oleh negara untuk rakyatnya adalah infrastruktur untuk menjalankan fungsi pelayanan yang wajib bagi negara seperti: sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan sarana-sarana lainnya yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat untuk mengatur urusan mereka. Negara bahkan tidak mendapat pendapatan sedikit pun dari pemanfaatan sarana-sarana tersebut. Justru yang dilakukan adalah terus menerus memberikan subsidi (lebih detail lihat: Op.cit, hlm.106). Meskipun demikian, swasta juga dapat terlibat pengadaan infrastruktur ini.

Dari sisi pembiayaan, pembangunan infrastruktur sepenuhnya dibiayai oleh Baitul Mal. Jika anggaran Baitul Mal tidak mencukupi, maka dilihat apakah pembangunan infrastruktur tersebut bersifat mendesak bagi umat atau tidak. Jika mendesak maka negara dapat menarik pajak kepada penduduk yang mampu dalam rentang waktu tertentu hingga anggaran untuk pembangunan infrastruktur tadi mencukupi (Ibid, hlm. 141). Meskipun demikian, jika melihat potensi kekayaan alam yang melimpah seperti Indonesia maka pembiayaan dari sumber tersebut insya Allah akan sangat memadai.

Sementara itu, pembiayaan infrastruktur melalui utang baik dalam bentuk obligasi maupun pinjaman luar negeri sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia jelas diharamkan dalam Islam. Pasalnya, utang-utang tersebut dalam bentuk riba. Apalagi dalam praktiknya negara-negara dan lembaga-lembaga kreditor kerap mensyaratkan berbagai klausul yang mendikte negara pengutang sehingga menyebabkan bencana bagi perekonomi mereka (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutslâ, hlm. 80).

Alhasil, satu-satunya cara untuk membangun perekonomian dengan tangguh dan penuh berkah adalah dengan menerapkan syariah di bawah naungan Khilafah Islam. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*