أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِى الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ فِى اللَّهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ
Tegakkan hudûd Allah pada orang dekat atau jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kamu di jalan Allah (HR Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi)
Hadis ini dikeluarkan oleh al-Hakim dari jalur Ubadah bin ash-Shamit. Al-Hakim berkomentar, “Ini hadis sahih sanad-nya meski al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.”
Adz-Dzahabi di dalam At-Talkhîsh juga menilai hadis ini sahih. AS-Suyuthi di dalam Jam’u al-Jawâmi’ mengatakan: “Al-Bushiri berkata, “Ini adalah sanad yang sahih menurut syarat Ibnu Hibban.”
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi yang lain oleh Abu Dawud di dalam Al-Marâsîl dan dikutip oleh al-Baihaqi di dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar dari Makhul dari Ubadah bin ash-Shamit. Dinyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
أُقِيْمُوْا حُدُوْدَ اللَّهِ فِيْ السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، عَلَى الْقَرِيْبِ وَالْبَعِيْدِ، وَلاَ تُبَالُوْا فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
Tegakkanlah hudûd Allah baik di perjalanan atau sedang mukim, atas orang yang dekat maupun jauh, dan jangan pedulikan di jalan Allah celaan orang yang suka mencela (HR Abu Dawud).
Hadis ini jelas memerintahkan untuk menegakkan hudûd Allah tanpa deskriminasi. Kata hudûd Allah ini bukan berarti bahwa yang diperintahkan hanya sanksi jenis had (hudûd), sementara sanksi jenis jinâyah, ta’zîr dan mukhâlafât tidak diperintahkan. Tidak demikian maknanya. Makna kata hudûd dalam hal ini adalah ketentuan-ketentuan hukum Allah SWT. Jadi hadis ini maknanya adalah perintah untuk menegakkan hukum-hukum syariah dalam semua jenisnya.
Frasa fî as-safari wa al-hadhari dalam riwayat Abu Dawud maknanya bukan berarti terbatas pada kondisi safar dan hadhar. Namun, itu merupakan uslub bahasa yang memberi makna dalam semua kondisi. Artinya, hukum syariah itu diperintahkan agar ditegakkan dalam semua kondisi di wilayah kekuasaan daulah.
Makna frasa fî al-qarîb wa al-ba’îd bisa berarti yang dekat dan jauh dari sisi nasab dan kekerabatan, juga bisa yang kuat dan yang lemah atau bangsawan/pejabat/tokoh dan rakyat biasa.
Hal itu ditegaskan dalam hadis riwayat Aisyah ra. bahwa ada seorang perempun Quraisy Bani Makhzum mencuri. Lalu mereka berkata, “Siapa yang bisa bicara kepada Rasulullah tentang dia?” Tidak ada yang bisa kecuali Usamah bin Zaid. Lalu Usamah berbicara kepada Rasul saw. Beliau bersabda, “Usamah, apakah engkau memintakan maaf dalam had Allah?” Rasul saw. kemudian berdiri dan berpidato:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Sesungguhnya yang membinasakan orang sebelum kalian adalah karena mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri, mereka biarkan, dan jika orang lemah mencuri, mereka tegakkan had atas dia. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Bisa juga frasa fî al-qarîb wa al-ba’îd itu berlaku untuk yang dekat dan yang jauh dari aspek apapun karena frasa tersebut bersifat umum. Bisa dari sisi pertemanan, persahabatan, kelompok, nasab, kerabat, hubungan bisnis, pendukung dan aspek lainnya. Bisa juga frasa tersebut bermakna kedekatan hubungan. Jadi hubungan personal atau kedekatan personal tidak boleh berpengaruh dalam implementasi hukum. Bisa juga kedekatan itu dari sisi kedekatan dengan kekuasaan dan penguasa, yang menjadikan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan atau dekat dengan penguasa, atau orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaan bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum. Bisa juga kedekatan itu dipahami dari sisi kuat dan lemahnya pengaruh di masyarakat, banyak sedikitnya pengikut, banyak sedikitnya kekayaan, dsb. Semua itu tidak boleh mempengaruhi penegakan hukum.
Pertimbangan rasa kasihan pun tidak boleh mempengaruhi penegakan hukum.
…وَلاَ تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ…
…Janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah… (QS an-Nur [24]: 2).
Rasa tidak suka juga tidak boleh berpengaruh dalam penegakan hukum. Allah SWT berfirman:
… وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ …
Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada takwa (TQS al-Maidah [5]: 8).
Adapun frasa lâ ta’khudzkum filLâh lawmata lâ’im bermakna larangan agar komentar-komentar orang atas penegakan hukum tidak dipedulikan; baik komentar yang mendukung, apalagi komentar orang yang mencela. Artinya, dalam penegakan hukum itu, yang harus diutamakan adalah penegakan hukum itu sendiri, yakni penegakan hukum yang bersumber dari Allah SWT sebagai sebuah kewajiban. Karena itu pertimbangan yang boleh diperhatikan hanyalah pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan hukum syariah. Pertimbangan-pertimbangan lainnya tidak boleh diperhatikan apalagi sampai mempengaruhi penegakan hukum baik membuat hukuman menjadi lebih berat atau menjadi lebih ringan.
Selain sebagai larangan, frasa tersebut juga menegaskan perintah untuk menegakkan hudud kepada orang dekat maupun jauh. Dengan demikian hukum harus ditegakkan kepada siapa saja, tanpa ada diskriminasi.
Penegasan perintah untuk menegakkan hukum tanpa diskriminasi itu sedemikian rupa menunjukkan bahwa hal itu sangat urgen. Kehancuran suatu masyarakat di antaranya berawal dari buruknya penegakan hukum. Pentingnya penegakan hukum itu dideskripsikan dengan jelas dalam riwayat Ibu Umar ra bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
إِقَامَةُ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ مَطَرِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً فِى بِلاَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Penegakan satu had dari hudûd Allah adalah lebih baik daripara hujan turun empat puluh malam di negeri Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR Ibnu Majah).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]