HTI

Nisa' (Al Waie)

Muslimah Indonesia Merindukan Khilafah?

Khilafah memang layak dirindukan oleh siapa saja yang memahami keagungannya. Begitu juga kaum perempuan di negeri ini, semestinya mereka juga berharap hidup di bawah naungannya. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama: Alasan historis. Fakta sejarah menunjukkan bahwa ada hubungan yang dekat antara Islam di Nusantara dan pusat Kekhilafahan di Turki. Kesultanan yang menerap-kan syariah Islam ditengarai merupakan salah satu bukti sejarah bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari Khilafah. Beberapa aturan yang sudah membudaya di beberapa daerah juga sarat dengan pengaruh Islam, seperti baju kurung dan penutup kepala bagi Muslimah di Sumatera Barat; juga pemisahan komunitas perempuan dan laki-laki pada proses pembelajaran dan perayaan walimah.

Kedua: Realitas penduduk Indonesia mayoritas menganut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Padahal jika ditilik dari makna Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagaimana menurut Nashir bin Abdul Karim al-‘Aql, adalah golongan kaum Muslim yang berpegang dan mengikuti as-Sunnah (sehingga disebut Ahlus Sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam (khalifah) dan tidak keluar dari jamaah mereka (sehingga disebut wal Jama’ah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo: Pustaka Istiqomah, 1992, hlm. 16).

Ketiga: Fakta kekinian. Indonesia tengah dalam cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme yang telah terbukti gagal melindungi dan mensejaterakan umat manusia termasuk kian menyengsarakan dan melahirkan penderitaan perempuan. Berbagai upaya dan kebijakan digulirkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan, namun perbaikan tak kunjung datang. Satu-satunya sistem yang bisa diharapkan mampu menyelesaikan beragam permasalahan kehidupan adalah paket aturan yang berasal dari Pencipta manusia. Itulah syariah Islam yang akan diterapkan secara sempurna dalam institusi Khilafah Islam.

Ketiga alasan tersebut, jika dirangkai dalam sebuah pemahaman antara keyakinan akan kewajiban penegakan Khilafah dengan realitas kegagalan dan kebobrokan sistem liberalis-kapitalis, sungguh akan melahirkan dorongan yang kuat untuk menghilangkan sistem ini dan menggantinya dengan Khilafah.

Muslimah Tak Kenal Sejarah Bangsanya

Sebenarnya banyak kisah yang menggambarkan kesejahteraan dan kemuliaan perempuan yang hidup dalam naungan Khilafah Islam. Salah satunya seorang perempuan yang bernama Syifa. Ia diangkat oleh Khalifah Umar sebagai hakim di sebuah pasar di Madinah untuk mengawasi dan menyelesaikan permasalahan di pasar agar tidak terjadi pelanggaran dan kezaliman. Sejarah Islam pun banyak mencatat kegemilangan peran perempuan, dari kecerdasan para perawi hadist dan ulama sampai para ibu dari tokoh-tokoh besar. Bahkan salah satu guru Imam Syafii adalah seorang perempuan, Sayyidah Nafisah.

Pada masa kekuasaan Islam, perempuan diposisikan mulia, dalam hal ini berlaku kaidah ”Al-Ashlu fi al-mar’ah annaha umm[un] wa rabbatu bayt[in] wa hiya ’irdh[un] yajibu an yushana (Hukum asal perempuan adalah sebagai ibu dan pengatur rumah dan ia adalah kehormatan yang harus dijaga).   Rasulullah saw. sangat tegas terhadap orang yang berani mengganggu Muslimah. Beliau mengusir Yahudi Bani Qainuqa dari Madinah karena menyingkapkan aurat seorang Muslimah dan membunuh seorang Muslim yang membelanya. Khalifah Al-Mu’tashim Billah mengirimkan ratusan ribu pasukan menaklukkan Kota Ammuriyah (sekarang Ankara) karena prajurit Romawi melecehkan seorang Muslimah di sana.

Ini berbeda jauh dengan nasib kaum perempuan sekarang. Saat marak peristiwa perkosaan di angkutan umum, tidak ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah. Alih-alih menyelesaikan penyebab permasalahan serta melindungi dan memberikan rasa aman kepada perempuan. Yang terjadi justru Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian menyarankan perempuan membawa alat proteksi saat pulang pada malam hari (Kompas.com, 23/6/2015).

Semakin nyata bahwa dalam sistem neoliberalisme rakyat termasuk perempuan dibiarkan menyelesaikan masalahnya sendiri. Sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, juga keamanan harus ditanggung sendiri tanpa campur tangan Pemerintah.

Sebaliknya, dalam Khilafah perempuan tidak hanya dilindungi dari penodaan dan pelecehan, kesejahteraannya pun jelas dijamin. Penerapan sistem ekonomi Islam akan mengelola semua harta milik umum untuk semata kesejahteraan rakyatnya. Demikian juga jiwa tanggung jawab yang dimiliki pemimpinnya—Khalifah—akan betul-betul melaksanakan amanahnya sebagai pelindung dan pengurus bagi rakyatnya.

Sejarah mencatat kepedulian Khalifah Umar bin Khaththab terhadap nasib seorang janda miskin beserta anaknya yang terus menangis karena rasa lapar. Tanpa ragu beliau langsung membawa sendiri sekarung gandum untuk mencukupi kebutuhan perempuan tersebut. Mekanisme jalur nafkah adalah satu aturan yang jelas-jelas membebaskan perempuan dari beban nafkah (Lihat: TQS al-Baqarah [2]: 233). Saat seluruh kebutuhannya bisa terpenuhi dengan layak, maka mereka akan lebih fokus untuk menjalani peran utamanya sebagai istri, ibu dan pengatur rumah.

Kondisi ini bertolak belakang dengan nasib perempuan sekarang. Mereka dipaksa untuk menjadi penyelamat ekonomi keluarga dari keganasan dan kerakusan neoliberalisme yang telah menyengsarakan dan menciptakan kemiskinan. Sungguh ironis! Di negeri yang memiliki SDA berlimpah, saat ini masih terdapat 22,77 juta perempuan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih dari 2,5 juta perempuan menjadi buruh migran. Mereka meninggalkan anak dan keluarganya akibat kemiskinan. Jumlah mereka bertambah ribuan setiap tahunnya meski banyak kasus-kasus perkosaan dan kekerasan tidak manusiawi menimpa.

Yang lebih memiriskan lagi tidak sedikit ibu yang rela menjual anak kandungnya sendiri karena merasa tidak sanggup untuk membesarkannya. Jargon pemberdayaan ekonomi perempuan sejatinya adalah eksploitasi perempuan dan telah memalingkan mereka dari tugas pokoknya.

Perlakuan mulia yang diberikan Khilafah pada kaum perempuan bukan hanya isapan jempol. Gustav Le Bonn dalam bukunya, La Civilasation des Arabes (hlm. 428), menulis, “Dari orang-orang Arablah penduduk Eropa mengadopsi sifat menghormati wanita, sebagaimana dari orang-orang Arab pula mereka mempelajari kecakapan memacu kuda.”

Le Bonn menambahkan, kepentingan perempuan dalam kemajuan (civilization) bangsa Arab nyata dilihat dengan mengetahui jumlah kaum perempuannya yang terkenal dengan keluasan ilmu dan pengetahuannya.

Senada dengan Le Bonn, Van Kreimer mengungkapkan pengakuan dalam bukunya bahwa orang-orang Arab Cordovalah yang mencontohkan kepada Eropa betapa kaum pria menghormati kaum wanita. Dari orang Arablah orang Eropa belajar dan mengetahui cara menghormati kaum wanita.

Pengakuan dua orang Barat ini cukup menjadi bukti bahwa penerapan syariah dalam institusi Khilafah akan menjamin kemuliaan dan kesejahteraan perempuan.

Namun, kebodohan akan sejarah, juga karena adanya upaya pengaburan sejarah dan pendeskreditan syariah Islam yang dilakukan oleh orang-orang yang membenci Islam kembali dalam kehidupan, turut berkontribusi pada lemahnya kerinduan terhadap Khilafah. Sejarah Islam digambarkan sebagai masa yang berdarah-darah, penuh dengan konflik yang sering berujung pada perebutan kekuasaan. Akibat gambaran ini, tidak sedikit orang yang khawatir jika Khilafah ditegakkan akan mengembalikan kehidupan ke masa barbar yang tidak mengenal peradaban. Khusus terkait perempuan, mereka yang anti Islam tak henti-hentinya melancarkan tuduhan miring terhadap syariah Islam tekait perempuan. Syariah Islam dituduh diskriminatif terhadap perempuan. Aturan dalam berpakaian dan persaksian sering dijadikan objek gugatannya. Syariah Islam dianggap tidak adil terhadap perempuan karena menetapkan bagian waris perempuan hanya setengah dari yang diperoleh laki-laki. Tidak henti-hentinya para pegiat gender dan pengusung liberalisme melakukan upaya untuk menjegal penerapan syariah Islam. Di antaranya adalah seperti yang diberitakan Kompas.com pada bulan Maret 2015 lalu: Komisi Nasional Perempuan meminta Presiden Jokowi menghapus sejumlah peraturan daerah yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan. Komisioner Komnas Perempuan Irawati Harsono menyebutkan, ada 365 perda yang tidak berpihak kepada perempuan. Jika dirinci lebih lanjut ternyata apa yang dimaksud dengan perda diskriminatif tersebut beberapa di antaranya adalah aturan Islam yang sudah jelas dan tidak membuka peluang adanya beda persepsi seperti ketentuan perempuan harus menutup aurat, keharusan memakai kerudung, serta perda pelarangan prostitusi di Tangerang. Sudah jelas dampak dari tuduhan tersebut akan menjauhkan umat dari gambaran Khilafah yang sesungguhnya.

Upaya Membangkitkan Kerinduan

Khilafah merupakan janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah saw. Namun, dalam upaya memperjuangkan Khilafah kita seyogyanya menghitung besarnya dukungan umat berupa terbentuknya opini umum tentang kewajiban menegakkan Khilafah dan dukungan real dari ahlul quwwah. Upaya yang harus dilakukan sebagai-mana dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam tharîqah dakwah yang telah ditempuh beliau.

Supaya muncul kerinduan di kalangan perempuan akan tegaknya Khilafah Islam maka harus dilakukan beberapa upaya. Pertama: Menghadirkan pemahaman yang benar tentang konsep Khilafah, realitas sejarah yang sudah terjadi, serta status hukumnya. Kedua: Menepis tuduhan miring terhadap syariah Islam, kemudian mengungkap skenario jahat dibalik tuduhan tersebut. Ketiga: Membongkar kebobrokan neoliberalisme dan kapitalisme, keburukan akibatnya, serta keharaman untuk mengikutinya. Ketika sudah terhunjam keyakinan di tengah umat akan kewajiban menegakkan Khilafah dan keharusan untuk meninggalkan sistem selainnya, dengan izin Nya akan muncul kekuatan perjuangan yang tidak akan terbendung oleh benteng apapun, insya Allah.   Wallâhu a’lam. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*