HTI

Muhasabah (Al Waie)

Satu Umat

Umat ini rupanya terus diberi pekerjaan rumah. Setelah Menteri Agama mengungkapkan bahwa orang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak berpuasa, menggunakan langgam Jawa dalam membaca al-Quran, sekarang dimunculkan istilah Islam Indonesia/Nusantara. Ironis!

Selain itu, setelah Presiden Jokowi memberikan grasi kepada 6 pimpinan Organisasi Papua Merdeka dan membolehkan wartawan asing bebas bergerak di Papua, kini tersebar kabar tidak enak. Menurut kabar yang beredar di kalangan aktivis Islam, pada tanggal 16 Agustus 2015 nanti dalam pidato kenegaraan, Presiden Jokowi akan membacakan pidato yang dapat menambah sakitnya hati umat Islam. Kabarnya, Presiden Jokowi akan meminta maaf atas kasus pelanggaran HAM kepada masyarakat Papua. Presiden juga dikabarkan akan meminta maaf terkait jatuh korbannya di pihak Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saya menyaksikan betapa para tokoh umat khawatir bila hal ini benar-benar terjadi. Mereka pun menuntut partai-partai Islam dan berbasis massa Islam untuk mewaspadai hal ini.

Berkaitan dengan hal ini, saat buka bersama yang diselenggarakan KB PII (30/6/2015), Soetrisno Bachir mengungkapkan bahwa beliau telah mengklarifikasi kabar tersebut kepada Jokowi. “Saya tidak terpikir untuk itu. Wong pidato saja belum dibuat,” ungkap Bachir menirukan ucapan Jokowi. Benarkah? Kita tunggu saja.

*****

Pertengahan Ramadhan 1436H lalu saya menghadiri diskusi sekaligus buka shaum di rumah kediaman Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Din Syamsuddin. Hadir dalam acara tersebut para pimpinan ormas Islam tingkat pusat.   Salah satu yang menjadi perbincangan adalah tentang isu “Islam Indonesia”. Pengurus Dewan Masjid Indonesia, Nasir Jubaidi mengatakan, “Pihak yang mempunyai gagasan ‘Islam Indonesia’ atau ‘Islam Nusantara’ tidak boleh melupakan pendekatan historis dan teologis/akidah. Jangan sampai pula menyalahkan Islam Arab. Tidak boleh merasa lebih pintar dan lebih hebat tentang Islam dari orang Arab.”

Juru Bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto menyampaikan, “Penting diperjelas apakah istilah ‘Islam Indonesia’ itu terma sosio-historis-kultural ataukah teologis. Kalau yang dimaksud adalah proses interaksi budaya lokal dengan Islam, hal tersebut terjadi di semua wilayah yang Islam masuki. Kalau ini yang dimaksudkan maka tidak tepat digunakan istilah ‘Islam Indonesia’, barangkali lebih pas bila disebut ‘Islam di Indonesia’.”

Ia segera menambahkan, “Yang kini terjadi tampak lebih ke teologis. Hal ini penting untuk kita cermati dan waspadai dengan sungguh-sungguh. Saya khawatir istilah Islam Indonesia dihadirkan untuk melahirkan genre baru Islam, aliran baru Islam. Kecenderungan ke sana ada. Misalnya, perasaan bahwa ‘Islam Nusantara’ lebih baik daripada ‘Islam Arab’, dengan menunjukkan contoh bahwa di Timur Tengah/Arab itu konflik terus, sementara di kita bisa damai. Padahal membandingkan situasi Timur Tengah dengan kondisi Indonesia saat ini tidak adil. Parameternya beda. Di sana terjadi seperti itu karena sedang terjadi konflik yang ditentukan bukan hanya karena faktor internal tapi ada faktor negara asing seperti AS…”

Segera ia menegaskan, “Dalam Islam itu ada ajaran damai, namun ada juga ajaran perlawanan. Bahkan Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah dengan mengeluarkan Resolusi jihad. Para ulama, santri dan umat Islam melakukan perlawanan. Bila Islam di Indonesia ini tidak tersentuh oleh ajaran perlawanan dalam wujud jihad tadi, barangkali ceritanya akan berbeda.”

Dalam perbincangan, saya sampaikan ke Pak Bambang Pranowo, “Istilah ‘Islam Indonesia/Nusantara’ ini lebih cenderung politis. Dengan alasan Islam Nusantara, Islam dianggap pendatang. Asing. Bukan ajaran asli Indonesia. Akibatnya, tidak boleh ada yang namanya islamisasi. Islam harus dipribumi-sasi; disesuai-sesuaikan dengan budaya lokal. Kalau ini yang dimaksud, tentu sangat berbahaya. Sadar atau tidak, istilah ini telah memecah-belah Islam dan umatnya.”

Ia menyampaikan, “Mestinya tidak itu yang dimaksud.”

Namun, Pak Din Syamsuddin segera menyatakan, “Kita perlu menggarap persoalan-persoalan strategis seperti masalah liberalisasi dalam perundang-undangan. Menurut saya, isu istilah ‘Islam Indonesia’ tidak strategis.”

Dalam kesempatan lain, peneliti senior di Balitbang Kementerian Agama, Ahmad Syafii Mufid, saat berbicara dengan saya menyampaikan bahwa istilah ‘Islam Indonesia/Nusantara’ itu mestinya dimaknai sebatas kultural. “Tidak boleh ditarik ke arah teologis apalagi politis,” tambahnya.

Saya katakan kepada Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama, DKI Jakarta tersebut, “Pak Mufid, justru kecenderungan yang tampak sekarang adalah sangat politis. Muaranya, hal-hal terkait Islam yang datang dari luar Indonesia dianggap asing dengan berbagai dalih. Bukankah ini justru memecah-belah Islam itu sendiri?”

Beliau menegaskan, “Ya. Semestinya tidak ditarik ke arah politis seperti itu.”

Saya jadi teringat qaul para ulama, ada perkara yang masuk dalam kategori ‘Kalimatu haqqin urîda bihâ bâthil’. Ada perkara yang kelihatannya benar, tetapi yang dimaksudkan itu batil. Istilah ‘Islam Indonesia/Nusantara’ tampaknya masuk ke dalam kategori ini. Mengapa? Secara syar’i, Islam itu hanya satu. “Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam,” begitu makna QS Ali Imran ayat 19. Tidak ada kata Islam yang diikuti kata sifat sehingga menjadi ‘Islam Arab’, ‘Islam Indonesia’, ‘Islam Nusantara’, dsb.

Bukan hanya itu, secara historis Islam pernah menguasai dua pertiga dunia membentang mulai Eropa hingga Asia. Tidak sebentar: 12 abad! Namun, sejarah tidak pernah mencatat ada ‘Islam Spanyol’, ‘Islam Cina’, ‘Islam India’, dsb. Padahal Islam menguasai wilayah-wilayah tersebut. Bahkan Walisongo tidak pernah menamakan Islam dengan ‘Islam Jawa’, ‘Islam Indonesia’, atau ‘Islam Nusantara’.

Seorang tokoh Islam berkata kepada saya, “Saya sedih. Mengapa sebagian umat Islam memecah-belah dirinya sendiri, dicoba dibuat istilah ‘Islam Indonesia’ lawan ‘Islam Arab’. Bukankah ini hendak memisahkan umat Islam di Indonesia dengan Dunia Arab sebagai pusat peradaban Islam…?

“Islam hancur oleh umatnya sendiri,” ungkapnya mengelus dada.

Benar kata salah seorang pengurus senior MUI, KH Amidhan. Ia mengungkapkan pandangannya kepada saya, “Kalau menurut saya sih jangan sampai ada ‘Islam Jawa’, ‘Islam Kalimantan’, dan sebagainya. Islam itu satu. Islam ya Islam.” Kita adalah satu umat. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*