HTI

Hiwar (Al Waie)

Ustadz Muhammad Ihsan Abdul Djalil: Ahlus Sunnah Mewajibkan Khilafah

Pengantar:

Semakin hari ide penerapan syariah dan penegakan Khilafah makin tersebar. Ide itu juga menjadi opini yang makin umum di tengah masyarakat. Di tegah situasi seperti itu, muncul lontaran-lontaran “miring”. Di antaranya adalah bahwa khilafah itu bukan ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), konsep negara kebangsaan saat ini sudah final dan diterima oleh para ulama Aswaja hingga ide bahwa jika mau Khilafah maka Khilafah itu haruslah khilafah wathaniyah. Benarkah demikian?

Ternyata, khilafah dan kewajiban menegakkan Khilafah itu justru merupakan ijmak dari para ulama Aswaja. Khilafah juga amat penting bagi umat Islam dan masa depan mereka. Khilafah itu tidak mungkin berupa khilafah wathaniyah. Itulah yang terungkap dalam wawancara Redaksi al-Wa’ie dengan Ustadz Muhammad Ihsan Abdul Djalil, dari DPP HTI dan anggota Lajnah Khashah lil ‘Ulama DPP HTI. Berikut petikan lengkapnya.

Ada yang berkomentar, Khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir bukan ajaran Ahlul Sunnah wal Jamaah. Benarkah begitu?

Tentu tudingan seperti itu keliru dan memutarbalikkan fakta tentang Ahlus Sunnah itu sendiri. Yang benar, justru Ahlus Sunnah telah mewajibkan penegakan Khilafah.

Adanya tudingan semacam ini adalah bagian dari penyesatan opini yang sangat berbahaya. Itu sengaja dilakukan orang-orang tertentu dalam rangka menjauhkan umat dari perjuangan menegakkan Khilafah ar-Rasyidah.

Sebetulnya apa dan siapa Ahlus Sunah itu? Bagaimana cirinya?

Istilah ‘ahlus sunnah’ merupakan istilah yang baru muncul belakangan. Belum ada pada masa Nabi saw. dan Sahabat. Yang disebut Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada Sunnah Nabi saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin. Ini mengacu pada sabda Nabi saw., “‘Alaykum bi Sunnatî wa Sunnati al-Khulafâ`i ar-Râsyidîn ba’dî tamassakû bihâ wa ‘adhdhû ‘alayha bi an-nawâjid (Kalian harus berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin setelah aku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham).” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim.

Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, Sunnah itu artinya tharîqah mahmûdah mustaqîmah (tuntunan yang terpuji dan lurus). Karena itu Fulan disebut Ahlus Sunnah maksudnya adalah orang yang menjadi pengikut tuntunan yang terpuji dan lurus.

Jadi sebenarnya sebutan Ahlus Sunnah itu berlaku secara umum dan mencakup siapa saja yang mengikuti tuntunan Nabi saw. dan para Sahabat. Lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul Bid’ah. Sayangnya, sekarang istilah ini telah mengalami penyempitan makna dan diklaim menjadi sebutan untuk suatu kelompok atau organisasi tertentu saja.

Dalam Mu‘jam Lughât al-Fuqahâ’, Prof. Rawwas Qal’ah Ji menyatakan bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang dalam berakidah terikat dengan al-Quran dan as-Sunnah, bukan pandangan para filosof.

Adakah bukti bahwa Khilafah yang diusung Hizbut Tahrir itu adalah bagian dari ajaran Ahlus Sunnah?

Menegakkan Khilafah adalah kewajiban, bahkan merupakan ‘tâjul-furûdh’ (mahkota kewajiban). Kesimpulan bahwa mendirikan khilafah itu kewajiban bukanlah pendapat Hizbut Tahrir semata, tetapi juga merupakan pendapat seluruh ulama.

Tak ada satu pun ulama yang mengatakan bahwa Khilafah tidak wajib. Sejak zaman dulu hingga sekarang semua ulama sepakat, bahwa hukum menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum Muslimin. Ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm dalam Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal. Ia menyatakan, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji’ah, semua Syiah dan semua Khawarij akan kewajiban Imamah (Khilafah).”

Bisakah Ustadz menyebutkan nama para ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan Khilafah itu wajib?

Para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang tugasnya melakukan ri’âyah su’ûn al-ummah (pengaturan urusan umat).

Contoh Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30 dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Ia menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling pokok mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham.”

Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, juga berpendapat, “Melakukan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang [mampu] melakukannya wajib berdasarkan ijmak meskipun al-‘Asham menyalahi mereka (ulama) (dengan menolak kewajiban Khilafah).”

Ulama mazhab Hanbali juga sama. Contoh Ibn Taimiyyah dalam Majmû’ al-Fatawâ. Ia menyatakan, “Wajib diketahui bahwa kekuasaan atas manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan agama tak akan tegak tanpa kekuasaan.”

Dalam kitab Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat.”

Jadi, sudah jelas, para ulama empat mazhab menyepakati kewajiban penegakan Khilafah. Pendapat ini termaktub dalam kitab karya besar mereka. Masalahnya, skema penulisan kitab fikih itu biasanya diawali dengan bab thaharah, sedangkan bab imamah (khilafah) adanya di bagian akhir. Akibatnya, banyak santri yang tidak mengenal Khilafah, bukan karena khilafah tidak dipelajari di kitab rujukan pesantren, tetapi lebih karena belum sempat diajari mereka sudah keburu lulus.

Jika Khilafah itu fardhu kifayah, ada yang berpendapat, berarti itu kan bergantung pada kemampuan, sementara saat ini kita tidak mampu. Bagaimana?

Begini. Fardhu kifayah dan fardhu ‘ain itu tidak berbeda. Sama-sama wajib. Hanya saja, untuk fardhu kifayah memang tidak harus seluruh kaum Muslim melaksanakannya. Namun, fardhu kifayah itu baru bisa disebut telah sempurna ditunaikan ketika memang benar-benar sudah tuntas terlaksana. Jika belum maka kewajiban itu tetap ada dan menjadi beban seluruh kaum Muslim yang terkena khithâb taklîf. Karena khilafah belum berdiri saat ini, maka kewajiban menegakkan Khilafah tetap ada di pundak seluruh kaum Muslim.

Adapun masalah kemampuan, bukankah Allah SWT tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya? Lâ yukallifu AlLâhu nafs[an] illâ wus’ahâ, Allah tidak membebani satu jiwa kecuali ada dalam kemampuannya. Nah, kalau Allah SWT mewajibkan kita menegakkan Khilafah, sudah pasti kita ini mampu melakukan itu. Pasalnya, mustahil Allah SWT mewajibkan sesuatu yang tidak mampu kita laksanakan.

Mungkin saat ini kita belum mampu, maka pekerjaan kita adalah berusaha terus sampai kita menjadi mampu. Caranya dengan mulai mengambil inisiatif melangkah, mengajak lebih banyak orang ikut melakukannya, dan terus mendakwahkannya secara luas sampai dukungan yang kita peroleh dari umat kian membesar. Intinya, jangan pasif duduk menunggu saja karena yang namanya kemenangan dan nashrulLâh itu harus diperjuangkan.

Bagaimana dengan pemunculan istilah ‘khilafah wathaniyah’, bukan Khilafah global seperti yang diusung Hizbut Tahrir, karena negeri-negeri Islam sekarang ini sudah menerima konsep negara-bangsa?

Istilah khilafah dan wathaniyah itu saling bertentangan. Tak bisa disatukan. Mau menerima Khilafah yang memang wajib, tetapi tidak mau meninggalkan nasionalisme atau negara-bangsa yang terlarang? Tentu itu tidak mungkin. Pasalnya, batasan wilayah dalam Negara-bangsa sifatnya statis, sementara dalam Khilafah bisa berubah seiring keberhasilan dakwah dan jihad. Dulu, pada awalnya wilayah Daulah Islam hanya sebatas Madinah. Lalu berkat dakwah dan jihad, kaum Muslim berhasil melakukan futûhât (pembebasan) di mana-mana. Konsekuensi-nya, batas negara pun berubah menjadi lebih luas dan terus membesar hingga di akhir hayat Rasulullah saw. sudah melingkupi seluruh Jazirah Arab. Bahkan pada puncaknya Khilafah bisa menguasai hampir dua pertiga belahan dunia.

Jadi, kalau mau menerima konsep Khilafah, harus meninggalkan nasionalisme. Begitu juga sebaliknya. Kalau masih tetap kukuh pada nasionalisme, tidak mungkin Khilafah ditegakkan.

Lalu bagaimana jika ada tudingan bahwa upaya menegakkan Khilafah itu termasuk katagori bughât (memberontak) karena mengancam negara?

Ini juga tudingan yang tidak benar. Khilafah itu kan didirikan dalam rangka menerapkan syariah Islam secara kâffah. Bagaimana mungkin syariah yang bersumber dari Allah Sang Maha Pencipta justru dianggap sebagai ancaman bagi manusia? Tidak masuk akal. Yang benar, saat Islam itu diterapkan secara sempurna justru kerahmatan akan dirasakan bagi seluruh alam. Itulah yang namanya Islam rahmat[an] lil ‘âlamin.

Dulu saat syariah diterapkan dan Khilafah ditegakkan, Islam terbukti sukses menjadi peradaban yang paling tinggi di muka bumi, jauh mengungguli rival ideologisnya, yaitu Yahudi dan Nasrani. Penerapan hukum dan peradilan yang bersumber dari syariah Islam terbukti mampu menciptakan rasa aman dan keadilan. Penerapan syariah pada aspek sosial telah terbukti melahirkan tatanan masyarakat yang menenteramkan. Pengaturan ekonomi berdasar syariah juga telah terbukti mampu menyejahterakan kehidupan rakyat. Ini semua harusnya menyadarkan kita bahwa Khilafah bukanlah ancaman, tetapi merupakan solusi sempurna dari Allah dan Nabi-Nya untuk kita semua.

Masyarakat harusnya membuka mata. Yang benar-benar menjadi ancaman nyata negeri ini adalah neoliberalisme dan neoimperalisme. Akibat neoliberalisme, peran negara dalam pengaturan ekonomi dipinggirkan dan hanya diposisikan sebagai pengatur saja. Misalnya, negara tidak lagi melakukan intervensi dalam bentuk pemberian subsidi untuk komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk, kesehatan, dan lain-lain. Dampaknya bisa ditebak. Beban rakyat kian berat karena harga-harganya meroket tajam. Adapun neoimperialisme telah memuluskan asing menjarah kekayaan kekayaan alam yang melimpah-ruah di negeri ini, yang seharusnya itu bisa dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Terakhir, mengapa Hizbut Tahrir menganggap Khilafah sangat penting bagi umat Islam?

Ya. Karena Khilafah memang wajib selain sangat diperlukan oleh kaum Muslim. Makanya, ketika para fuqaha’ mengkaji masalah politik, mereka selalu mengaitkannya dengan Imamah (Khilafah). Sebab, tanpa Imamah (Khilafah), aktivitas politik dalam Islam tak akan sempurna. Imam al-Ghazali, di dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, menyatakan, “Agama itu pokok. Kekuasaan itu layaknya pelindung. Sesuatu yang tidak ada pokok atau fondasinya akan hancur. Sesuatu yang tidak ada pelindungnya akan hilang.”

Cukuplah apa yang disampaikan ulama besar mazhab Hanbali, yaitu Syaikh Manshur al-Buhuthi al-Hanbali, dalam kitabnya, Kasysyaf al-Qina’ ‘an-Matn al-Iqna’. Ia menjelaskan, “(Mengangkat imam/khalifah) atas kaum Muslim (adalah fardhu kifayah) karena masyarakat membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kesucian, mempertahankan wilayah, menegakkan hudûd dan  menunaikan hak; juga untuk  menegakkan amar makruf nahi mungkar.”

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*