Islam masuk ke Yaman pada masa Nabi saw., yaitu saat beliau mengirimkan surat dakwah kepada para raja dan pemimpin suku di Semenanjung Arabia dan sekitarnya (9 H/630 M). Surat ke Yaman dibawa oleh Ayyas bin Abi Rabiah al-Makhzumi. Surat ini ditujukan kepada al-Haris, Masruh dan Nu’aim bin Abdul Kulal di Himyar. Surat dakwah ini mereka terima dengan baik. Mereka dan keluarga sukunya masuk Islam.
Kemudian Nabi saw. mengutus pula para sahabatnya membawa surat kepada Bazan, penguasa Yaman yang diangkat oleh Kerajaan Persia untuk memerintah Yaman dan mengontrol kerajaan-kerajaan kabilah. Setelah menerima surat Nabi saw., Bazan membenarkan kerasulan dan kenabian Muhammad saw. Ia kemudian masuk Islam (10 H/630 M).
Selama periode risalah Nabi saw., negeri Yaman tidak mempunyai kekuasaan yang terpusat, melainkan diperintah oleh sejumlah suku yang memegang kendali otonomi di daerah mereka masing-masing. Beberapa suku terkemuka di Yaman, termasuk Bani Himyar, mengirim delegasi ke Madinah antara 630-631 untuk menyatakan kesediaan mereka menerima Islam.
Kendati demikian, sejumlah orang Yaman sudah ada yang lebih dulu menjadi Muslim sebelum kedatangan delegasi tersebut. Beberapa di antaranya adalah Ammar bin Yasir ra., al-Ala’ al-Hadrami ra., Miqdad bin Aswad ra., Abu Musa al-Asy’ari ra. dan Syurahbil bin Hasanah ra. Para delegasi Yaman itu lantas meminta Rasulullah saw. supaya mengirimkan sejumlah guru untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Arabia Selatan.
Memperhatikan kesungguhan penduduk Yaman yang secara berbondong-bondong memeluk Islam, Nabi saw. mengutus beberapa sahabat untuk berdakwah di sana. Di antaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ke Shana’a (Ibukota Yaman), Muadz bin Jabbal ke Taiz (Yaman Selatan) dan Abu Musa al-Asy’ari ra. ke Zabid.
Sesampainya di sana, mereka bersama penduduk setempat kemudian mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat mempelajari Islam. Peninggalan bersejarah masjid-masjid itu hingga kini masih berdiri dengan kokoh, yaitu Jami’ Khabir yang didirikan oleh Ali, Masjid Janad oleh Muadz serta Masjid Asya’ir oleh Abu Musa.1
Khusus kepada Muadz bin Jabbal, yang masuk Islam pada usia 28 tahun, Rasulullah saw. memberikan petuahnya melalui pertanyaan-pertanyaan beliau. Saat Nabi saw. mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya, “Bagaimana kamu menetapkan hukum jika ada suatu perkara yang kamu hadapi?” Muadz menjawab, “Aku akan menetapkan hukum berdasarkan Kitabullah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Jika tidak ada dalam Kitabullah?” Lanjut Muadz, “Aku akan menetapkan dengan hadis Rasulullah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak ada dalam Sunnah Rasulullah?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan tidak berlebihan.”
Setelah itu Rasulullah saw. menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan Rasulullah dengannya, sebagaimana yang diridhai oleh Rasulullah.”2
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, sebelum Muadz berangkat ke Yaman, Rasulullah bersabda, “Muadz, mungkin engkau tidak akan menjumpai aku lagi setelah ini. Mungkin ketika engkau kembali (ke Madinah), engkau hanya akan mendapati masjid dan makamku saja.”
Mendengar penuturan Nabi tersebut, Muadz pun menangis. Para sahabat yang ikut diutus ke Yaman bersama dia juga menangis. Perasaan sedih mengharu-biru di hati Muadz saat harus berpisah dari kekasihnya, Nabi Muhammad saw.3
Firasat Nabi saw. ternyata benar. Rasulullah saw. wafat sebelum Muadz kembali dari Yaman. Untuk kesekian kalinya, air mata Muadz kembali tumpah saat sampai di Madinah dan mendapati bahwa Nabi saw. sudah meninggalkan dunia yang fana ini.
Sepeninggal Rasulullah saw., negeri Yaman berada dalam kondisi stabil selama era pemerintahan Khulafa’ ar-Rasyidun. Masyarakat di negeri itu bahkan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan Islam sepeninggal Rasulullah saw. Suku-suku Yaman memainkan peranan penting dalam penaklukan Islam di Mesir, Irak, Persia dan sekitarnya, Anatolia, Afrika Utara, Sisilia, hingga Andalusia.4
Pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, di Yaman muncul kaum pemberontak. Mereka murtad dan enggan membayar zakat. Kaum pemberontak ini kemudian ditumpas oleh tentara Islam di bawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal setelah mereka berhasil menumpas golongan yang sama di Oman. Dua tahun setelah Rasulullah saw. wafat, tentara Islam membebaskan seluruh wilayah Yaman dari penguasa bangsa Persia.
Pada masa Khalifah Abu Bakar, seluruh Yaman dipersatukan di bawah dua wali (gubernur). Abdullah bin Abi Rabiah menjadi gubernur di al-Janad dan Yu’la bin Munyah at-Tamimi di Sana’a (termasuk Hadramaut). Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, kedua wali ini tetap menjabat. Namun Yu’la kemudian diganti Mugiroh bin Syu’bah. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, kedua wali ini tetap menjabat. Pada masa khalifah Ali, seluruh Yaman di perintah satu wali, yakni Ubaidillah bin Abbas.
Pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiyah, Yaman diperintah oleh seorang gubernur. Namun, sejak masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (813-833), benih-benih perpecahan mulai menyebar. Di Yaman timbul dinasti kecil di empat kota sebagai pusat pemerintahan dari berbagai kabilah, yaitu di Zabid dan Sana’a (Yaman Utara) serta Sa’dah dan Aden (Yaman selatan). Sebagian dari kerajaan itu menamakan diri al-Imarah (keemiran), as-Salatin (kesultanan) dan al-Imamah (kepemimpinan).
Sejak 1517-1918 Yaman menjadi bagian wilayah kekuasaan pemerintahan Usmani Turki, terutama daerah pantai dan pelabuhan Aden. Daerah pedalaman di kuasai negara keemiran. Sejak 1882-1914 Inggris melancarkan upaya untuk memisahkan Yaman dari negeri Islam. Usaha Inggris berhasil. Daerah pedalaman sedikit demi sedikit dikuasai Inggris (protektorat Arabia Selatan). Pada 1839 pelabuhan Aden jatuh ke tangan Inggris setelah penduduk kota Aden menghancurkan kapal Inggris. Pelabuhan ini penting bagi Inggris sebagai tempat singgah kapalnya yang hendak berlayar ke India melalui terusan Suez dan laut Merah.
Melalui Perjanjian Lausanne tahun 1923, ditegaskan bahwa Yaman tidak lagi di bawah Khilafah Turki Utsmani. Pada 1937, Aden menjadi bagian British India, yang ketika itu telah menjadi koloni Inggris. Pada 1959, enam keemiran dalam protektorat dipaksa membentuk federasi Arabia Selatan (1962). Antara 1963-1966, Aden dengan dibantu federasi berperang melawan Inggris untuk memperoleh kemerdekaan di bawah koordinasi Front Pembebasan Nasional, organisasi perkumpulan kaum nasionalis Arab di Aden. Perang ini mendapat dukungan Mesir. Pada 30 November 1967, pasukan Inggris menarik diri dan Front Pembebasan Nasional dan membentuk pemerintahan serta memproklamasikan federasi itu menjadi negara merdeka.
Adapun Yaman Utara (Sana’a) telah memisahkan diri dari Kekhilafahan Turki Utsmani pada 1918. Namun, pada 1926 melalui Perjanjian Makkah menempatkan negara itu di bawah proteksi Arab Saudi dan Inggris menetapkan perbatasan Yaman Selatan dan Yaman Utara. Di sinilah sebenarnya Negeri Yaman ‘sukses’ dipecah-belah oleh Inggris.
Pada 1958-1961 Yaman (Sana’a) bergabung dengan Mesir dan Suriah dalam Republik Persatuan Arab. Pada 1962, setelah kematian Imam Ahmad, kaum republik pro-Nasser (pemimpin Mesir) melancarkan perang sipil menentang para pendukung Dinasti Rasyid yang didukung Arab Saudi. Mereka berhasil membentuk negara republik pada 27 September 1962 dan menetapkan tanggal ini sebagai hari kemerdekaan negara itu. Konstitusi 1970 menetapkan suatu kabinet yang diketuai perdana menteri dan dewan republik yang dipilih dewan legislatif. Sejak tahun itu, sistem pemerintahan Islam resmi ‘dihapuskan’ diganti dengan sistem demokrasi. Syariah Islam dalam bingkai Khilafah secara ‘total’ dihapus dari Bumi Yaman.
Pada 1974 terjadi keguncangan politik. Para menteri militeri mencabut konstitusi dan membubarkan parlemen. Sejak itu Yaman (Sana’a) diperintah dewan militer. Pada 1970-an pernah ada usaha kedua negara untuk bersatu menjadi satu negara. Penyatuan ini baru berhasil pada tahun 1990. Pada 1979 terjadi perang terbuka antar kedua negara. Dengan dukungan Liga Arab pada tahun itu juga berhasil ditandanganai sebuah persetujuan mengenai penyatuan kedua Yaman. Penyatuan kedua Yaman secara resmi disahkan pada 21 Mei 1990. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai hari kemerdekaan Republik Yaman.
Untuk melanggengkan sistem demokrasi, pada 27 April 1993 dilangsungkan Pemilu pertama sejak penyatuan pertama Yaman dan terbentuklah pemerintahan koalisi. Pemilihan presiden secara langsung dilakukan pertama kali pada 23 September 1999 dan Ali Abdullah Salih (presiden sejak 1990) terpilih menjadi presiden. []
Catatan kaki:
1 http://mirajnews.com/id/artikel/mujizat-alqur-an/yaman-dalam-al-quran-dan-al-hadits/
2 Ali Farkhan Tsani. AlumniMu’assasah Al-Quds Ad-Dauly Shana’a, Yaman. Redaktur Mi’raj Islamic News Agency-MINA/EO2
3 Abdul Wahid Hamid dalam bukunya, Companions of The Prophet, Voume 1.
4 Wilferd Madelung dalam karyanya, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate.