Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin asy-Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin ‘Abdi Manaf. Dengan demikian nasab beliau bermuara kepada Abdu Manaf, kakek buyut Nabi saw. (Lihat: Siyar A’lâm an-Nubalâ’, X/5-6; Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, II/71-72).
Meskipun nenek moyang beliau suku Quraisy di Makkah, beliau tidak lahir di Makkah, karena ayah beliau, Idris, merantau ke Syam. Beliau lahir di Ghaza (Palestina) pada tahun 150 Hijriah, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.
Beliau sudah yatim sejak usia dua tahun. Ibunya lalu membawa beliau ke kampung halaman di Makkah. Sejak kecil, sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau sering mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma dan tulang unta untuk dipakai menulis.
Tentang kegiatan keilmuannya, Imam al-Baihaqi, dengan sanad dari Mush’ab bin Abdillah az-Zabiri, menuturkan, “Imam Syafi’i memulai aktivitas keilmuannya dengan belajar syair, sejarah dan sastra. Setelah itu ia menekuni fikih.”
Imam Syafi’i rahimahulLâh membagi waktu malamnya menjadi tiga: sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk shalat malam dan sepertiganya untuk istirahat.
Sejak di Makkah Imam Syafi’i sudah hapal al-Quran tatkala berusia 7 tahun dan menghapal kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik tatkala umur 10 tahun. Itu pun hanya butuh waktu 9 hari saat beliau hendak berguru kepada Imam Malik di Madinah. Lalu pada usia 15 tahun beliau sudah mendapatkan ijazah untuk berfatwa dari gurunya, Muslim bin Khalid az-Zanji al-Makki.
Imam Syafi’i adalah juga imam dalam lughah (bahasa). Tentang ini, Ibnu Hisyam (penulis Sirah Nabi saw.) berkata, “Syafii adalah hujjah dalam bahasa Arab.” (Al-Wâfi bi al-Wafâyât, IXX/143).
Imam Syafii juga adalah seorang penyair. Kumpulan syair atau puisinya dibukukan dalam kitab Dîwân al-Imâm asy-Syâfi’i (Antologi Puisi Imam Syafii). Berikut adalah secuil bait syairnya:
Tlah kuhidupkan qâna’ah dalam jiwaku yang sebelumnya mati
Dengan menghidupkannya terjagalah harga diri ini
Beliau pun bertutur:
Jika tamak tlah menetap dalam jiwa hamba
Niscaya ia akan rendah dan hina-dina
Beliau pun bertutur:
Siapa berharap mulia tanpa rasa letih
Pasti ia habiskan usia demi perkara yang mustahil ia raih
Beliau pun bertutur:
Kau berharap kesuksesan, tapi kau banyak tidur setiap malam
Padahal para pencari mutiara pun harus menyelam di kedalaman
Beliau pun bertutur:
Tak sedikitpun resah akan esok hari terbetik di benakku
Sebab esok hari pasti ada rezeki lain yang baru
*****
Begitu hebat dan luar biasanya Imam Syafi’i, banyak ulama besar yang mengagumi beliau, di antaranya adalah Abu Tsaur. Abu Tsaur pernah ditanya,
“Manakah yang lebih fakih, Syafi’i ataukah Muhammad bin al-Hasan (guru Imam Syafi’i, pen.)?”
Abu Tsaur menjawab, “Syafi’i lebih fakih dari Muhammad bin al-Hasan dan Abu Yusuf (keduanya adalah murid senior Abu Hanifah, pen.), lebih fakih dari Abu Hanifah, lebih fakih dari Hammad (guru Abu Hanifah), lebih fakih dari Ibrahim (guru Hammad), lebih fakih daripada ‘Alqamah (guru Ibrahim) dan lebih fakih dari al-Aswad (guru ‘Alqamah)” (Mukhtashar Târîkh Dimasyq, VI/434).
Imam Syafi’i begitu dicintai oleh banyak orang. Salah satunya oleh muridnya, Imam Hanbali. Betapa cintanya Imam Hanbali kepada gurunya, beliau pernah berkata, “Ada enam orang yang aku doakan setiap waktu sahur. Salah satunya adalah Imam Syafi’i.” (Târîkh al-Islâm li adz-Dzahabi, XIV/312).
Begitu seringnya Imam Hanbali mendoakan Imam Syafi’i hingga putra beliau, Abdullah, bertanya,
“Ayah, siapakah Imam Syafi’i itu. Aku mendengar Ayah banyak mendoakan beliau.”
Imam Hanbali menjawab, “Ananda, Imam Syafi’i itu seperti matahari bagi dunia dan seperti keselamatan bagi manusia. Lalu adakah pengganti bagi kedua kenikmatan ini?” (Adz-Dzahabi, Târikh al-Islâm, XIV/312).
Namun demikian, karena kebesarannya, ada saja orang-orang yang iri kepada beliau. Salah satunya adalah seorang ulama bermazhab Maliki yang bernama Asyhub. Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim berkata, “Aku pernah mendengar Asyhub dalam sujudnya mendoakan agar Syafi’i meninggal. Lalu aku pun mengabarkan hal itu kepada Syafi’i.”
Dalam riwayat lain, Asyhub berdoa, “Ya Allah, matikanlah Syafi’i karena jika Engkau membiarkan dia hidup maka akan punah mazhab Imam Malik.”
Saat mendengar itu, Imam Syafi’i merasa heran. Beliau lalu bertutur, “Banyak orang berharap aku mati. Padahal jika aku mati, kematian itu bukanlah jalan yang aku tempuh sendirian.” (Lihat: Târîkh Dimasyq 51/428; Siyar A’lâm an-Nubalâ’, X/72, Al-Wâfi bi al-Wafayât, IX/165).
Selain kebesaran keilmuannya, Imam Syafii pun terkenal karena kepribadiannya yang luhur. Tentang ini, Thasy Kubri bertutur di dalam Miftâh as-Sa’âdah, “Para ulama ahli fikih, ushul, hadis, bahasa, nahwu dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Imam Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, perilakunya baik dan derajatnya tinggi.”
Imam Syafi’i juga ahli sedekah. Seluruh harta yang ia dapatkan segera ia sedekahkan kepada orang yang membutuhkan.
Meski dikenal ketakwaan, kewaraan dan kezuhudannya, Imam Syafi’i tetap merasa rendah dan hina di hadapan Allah SWT. Beliau pun sering mengkhawatirkan nasibnya di akhirat kelak. Karena itu beliau pun selalu banyak berdoa untuk memohon ampunan kepada Allah SWT (Lihat: Shifât ash-Shafwah, III/146).
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]