Pengantar:
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu MUI memfatwakan ketidaksesuaian BPJS Kesehatan dengan syariah Islam. Meski belakangan fatwa tersebut ‘melunak’ karena berbagai ‘tekanan’ dari sana-sini, hal itu hakikatnya tidak mengubah fakta keharaman BPJS. Mengapa haram? Ternyata BPJS Kesehatan haram tidak sekadar karena mengandung unsur gharar, maysîr dan riba sebagaimana difatwakan MUI. Ada beberapa faktor lain, yang di antaranya justru amat mendasar. Apa saja? Itulah yang dijelaskan secara argumentatif oleh KH Hafidz Abdurraman dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui wawancara Redaksi al-Wa’ie dengan beliau. Berikut petikan lengkapnya.
MUI telah menyatakan bahwa BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan syariah, karena di dalamnya mengandung unsur gharar, maysir dan riba. Bagaimana menurut Kiai?
Sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, BPJS Kesehatan bukan saja tidak sesuai dengan syariah, tetapi juga haram. Menurut saya, melihat ketidaksesuaian BPJS dengan syariah hanya karena mengandung gharar, maysir dan riba jelas keliru. Alasannya, dengan begitu BPJS bisa disyariahkan, agar sesuai dengan syariah. Caranya? Dihilangkan gharar, maysir dan riba-nya. Dengan begitu, seolah masalah BPJS ini hanya masalah gharar, maysir dan riba. Padahal tidak sesederhana itu.
Apakah cukup standar ‘sesuai atau tak sesuai syariah’ itu digunakan standar dalam menilai transaksi atau muamalah?
Jelas tidak cukup. Mengapa? Karena BPJS ini adalah produk pemikiran yang juga berbentuk pemikiran dan termasuk bagian dari hadharah (peradaban). BPJS bukan produk pemikiran yang berbentuk fisik atau materi (asykal madiyyah) sehingga disebut madaniyyah. Dengan memahami perbedaan masing-masing produk pemikiran ini, kita bisa menggunakan alat ukur yang tepat untuk menentukan status hukum masing-masing. Begitu juga implementasinya secara praktis.
Dalam konteks madaniyyah, “sesuai atau tak sesuai syariah” merupakan alat ukur yang bisa digunakan. “Bertentangan atau tak bertentangan dengan Islam” juga bisa menjadi alat ukurnya. Lukisan makhluk hidup, misalnya, jelas menyalahi syariah. Karena itu lukisan makhluk hidup merupakan madaniyyah yang diharamkan. Berbeda dengan lukisan alam atau makhluk yang tidak bernyawa, itu tidak haram.
Namun, alat ukur yang sama tidak bisa digunakan untuk menilai hadharah, sebagai produk pemikiran. Pasalnya, meski tampak produk pemikiran tersebut “sesuai dengan Islam” atau “tak bertentangan dengan Islam”, jika tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, maka tetap saja produk pemikiran ini tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan. Sebagai contoh, demokrasi dengan musyawarahnya adalah produk pemikiran yang tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam. Tampak sepintas musyawarah itu tidak bertentangan, atau sesuai dengan Islam, tetapi karena tidak lahir dan dibangun berdasarkan akidah Islam, tetap saja tidak boleh diadopsi, dipraktikkan dan disebarluaskan.
Karena itu banyak tokoh dan intelektual Muslim yang kecele karena melihat dan menilai produk pemikiran tersebut dengan pandangan dan alat ukur yang salah. Sebagai contoh kasus permusyawaratan dalam sistem demokrasi, mereka sering mengatakan, “Apa yang salah dengan musyawarah?” Memang tidak ada yang salah dengan musyawarah karena Islam mengajarkan musyawarah. Namun, cara dan mekanisme musyawarah yang dibangun dengan akidah Islam berbeda sama sekali dengan cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi.
Lalu ada yang mengatakan, “Kalau ada yang salah pada cara dan mekanismenya, mengapa tidak diubah saja, biar sesuai dengan Islam?” Padahal dengan mengubah cara dan mekanisme musyawarah dalam demokrasi agar sama dengan Islam tidak mungkin, kecuali dengan meruntuhkan demokrasi. Pasalnya, selama dasarnya demokrasi, cara dan mekanisme musyawarah dalam Islam tidak bisa diterapkan.
Inilah fakta dan realitas produk pemikiran yang lahir dan dibangun dengan akidah kufur. Jadi, kesalahannya bukan terletak pada kulitnya, seperti lukisan atau patung makhluk hidup, yang bisa diubah dengan menghilangkan bagian-bagian yang menjadi ciri khas makhluk hidup. Ini karena BPJS ini merupakan masalah hadharah, bukan madaniyyah, seperti lukisan. Karena itu BPJS bukan saja tidak sesuai dengan syariah, tetapi juga haram secara mutlak, karena merupakan produk hadharah non-Islam.
Keharaman BPJS ini bukan hanya karena faktor gharar, maysir dan ribanya yang tidak sesuai dengan syariah, tetapi sejak dari akarnya. Ini karena jelas-jelas BPJS ini bukan produk pemikiran yang lahir dan berdasarkan akidah Islam.
Jadi apa yang seharusnya digunakan untuk menilai BPJS ini? Bisa dijelaskan?
Sekali lagi saya tegaskan, BPJS ini adalah produk pemikiran, yang berbentuk pemikiran. Tepatnya, pemikiran yang menyangkut layananan jaminan sosial kepada rakyat. Pemikiran seperti ini bagian dari hadharah (peradaban), bukan madaniyyah (bentuk fisik). Karena ini bagian dari hadharah, alat ukur yang seharusnya digunakan untuk menentukan statusnya adalah akidah Islam. Apakah pemikiran ini “dibangun berdasarkan akidah Islam” atau tidak? Apakah pemikiran ini “terpancar dari akidah Islam” atau tidak?
Singkatnya, bagaimana status BPJS Kesehatan yang ada sekarang ini dalam pandangan akidah Islam?
Jelas batil karena tidak “dibangun berdasarkan akidah Islam”, dan tidak “terpancar dari akidah Islam”. Karena ini merupakan muamalah yang batil, maka muamalah ini tidak bisa lagi diperbaiki, tetapi harus diganti total.
Apa kritik mendasar terhadap BPJS Kesehatan menurut Kiai?
Pertama: Jaminan sosial, khususnya dalam masalah kesehatan ini, adalah kewajiban negara, bukan kewajiban pribadi atau kelompok masyarakat. Karena ini merupakan kewajiban negara, maka kewajiban ini hukumnya wajib dilaksanakan. Kewajiban ini tak boleh diabaikan, apalagi ditinggalkan, kemudian dialihkan kepada pribadi dan kelompok masyarakat. Dengan meninggalkan kewajiban ini berarti negara telah mengkhianati kewajibannya kepada rakyat. Sudah berkhianat, negara malah mezalimi rakyat, dengan mengalihkan kewajiban tersebut kepada mereka. Sudah begitu, negara menjatuhkan sanksi kepada rakyat yang tidak bisa menunaikan “kewajiban”-nya. Di sini, jelas negara telah melakukan kezaliman tiga kali.
Kedua: Dalam konteks muamalah, BPJS sebagai badan hukum yang diperintahkan UU untuk menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya untuk melayani kebutuhan dasar masyarakat jelas batil. Pasalnya, seharusnya muamalah ini dilakukan oleh negara, bukan badan, baik dengan dana negara, pemasukan dari kekayaan milik umum, maupun pribadi. Nabi saw. bersabda, “Al-Imam ra’[in] wahuwa mas’ul[un] ‘an ra’iyyatihi (Imam/kepala negara adalah pengurus. Hanya dia yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya).” (HR Muslim). Karena itu, haram hukumnya tanggung jawab ini diambil-alih oleh yang lain, selain negara.
Ketiga: Dalam konteks akad-akadnya, bisa dibagi menjadi tiga: (1) Akad asuransi antara peserta BPJS dengan BPJS. Secara umum, akad asuransi ini batil karena obyek akadnya bukan barang atau jasa, melainkan janji. Selain itu akad ini juga menyalahi fakta akad dhaman yang dibenarkan dalam Islam. (2) Pemanfaatan dana yang dihasilkan dari akad yang haram hukumnya jelas haram. (3) Denda yang ditetapkan atas “premi” yang gagal dibayarkan pada waktunya. Denda seperti ini tidak saja zalim, tetapi juga haram.
Dikatakan bahwa dalam Islam kesehatan merupakan kebutuhan dasar rakyat, apa maksudnya?
Kesehatan, pendidikan dan keamanan dinyatakan oleh Islam sebagai kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana sandang, papan dan pangan. Bedanya, kesehatan, pendidikan dan keamanan disebut sebagai kebutuhan dasar masyarakat, sedangkan sandang, papan dan pangan merupakan kebutuhan dasar individu. Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam kitabnya, Susuliyujia al-Iqtishad al-Islami, disebut kebutuhan dasar masyarakat, karena negaralah yang harus mengurus dan memenuhinya secara langsung. Adapun disebut kebutuhan dasar individu karena individulah yang harus memenuhinya sendiri, meski di sana juga ada peran negara.
Nabi saw. bersabda, “Man ashbaha amin[an] fi sirbihi, mu’afa fi badanihi, ‘indahu qutu yaumihi, fakannama lahu zuwiyat ad-dunya (Siapa saja yang pagi hari aman lagi tenteram hatinya, sehat badannya dan mempunyai makanan pokok hari itu, maka seolah dunia telah dihimpun untuk dirinya).” (HR Ibn Ishaq).
Di sini jelas sekali, Nabi saw. menyebut keamanan, kesehatan dan pangan sebagai kebutuhan dasar.
Mengenai layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan ini sebagai tanggung jawab negara karena Nabi saw. menetapkan tanggung jawab tersebut dengan “hashr” sebagai tanggung jawab negara.
Jika kesehatan adalah kebutuhan dasar, apakah itu berarti wajib dijamin oleh negara?
Iya. Itulah yang dimaksud, bahwa kesehatan, pendidikan dan keamanan ini sebagai kebutuhan dasar masyarakat; bukan kebutuhan dasar individu. Artinya, negara wajib menjamin langsung kebutuhan dasar tersebut dan tidak boleh dialihkan kepada siapapun yang lain, baik dalam bentuk badan maupun individu.
Lalu bagaimana seharusnya jaminan pelayanan kesehatan dalam Islam itu?
Karena kesehatan ini merupakan kebutuhan dasar masyarakat, dan merupakan kewajiban negara, yang secara langsung harus dipenuhi oleh negara, maka negara akan memberikan layanan terbaik. Berdasarkan kaidah dalam melaksanakan kewajiban, “aqsha al-wus’i wa aqsha as-sur’ah (dengan kemanapun terbaik dan secepat mungkin).”
Dalam hal ini negara menyediakan rumah sakit, puskesmas, klinik, termasuk rumah sakit keliling agar bisa memastikan, bahwa tak ada satu pun rakyat yang sakit. Baik yang sanggup pergi ke rumah sakit maupun tidak (tidak bisa mengakses layanan ini), semuanya diberi pelayanan kesehatan secara gratis; mulai dari jasa dokter, perawat, ruang opname, obat dan tindakan medis yang dibutuhkan. Sarana dan prasarananya pun disediakan selengkap dan secanggih mungkin.
Bisakah jaminan kesehatan seperti itu diwujudkan?
Tentu bisa karena sudah pernah ada dalam sejarah Khilafah Islam. Tinggal mau atau tidak? Nah, ini soal political will (kemauan politik). Hanya saja, jaminan seperti itu bisa diwujudkan jika negara mempunyai dana yang sangat besar. Apakah itu bisa diwujudkan? Jawabannya, bisa. Dari mana dananya? Pertama: Dana dari harta negara. Kedua: Dana dari kekayaan milik umum, termasuk kekayaan alam yang sangat melimpah. Ketiga: Jika yang pertama dan kedua tidak tersedia, maka dana masyarakat. Keempat: Jika pun tidak bisa, negara bisa mengajukan pinjaman bebas riba dan lunak. Itulah yang cara yang bisa dilakukan oleh negara. Inilah kebijakan politik yang pernah dilakukan oleh Khilafah, sebut saja era Harun ar-Rasyid.
Semuanya bukan tidak mungkin jika ada kemauan politik untuk mewujudkannya. Itulah, mengapa kita membutuhkan Khilafah. Tentu bukan semata karena sejarah, tetapi karena keniscayaan sistem yang harus ada, demi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. []