Dzulhijjah adalah bulan pengorbanan, momen Idul Adha. Bukan sekadar momen untuk menyembelih kurban semata, namun juga menjadikan kita semakin taat dari tahun ke tahun. Di satu sisi, umat Muslim bisa menunaikan shalat, puasa dan berkurban. Namun, di sisi lain banyak terjadi kelaparan dan kezaliman.
Penderitaan demi penderitaan yang dialami oleh negeri ini tidak lain adalah akibat dari penerapan sistem kufur, yakni demokrasi-kapitalisme yang justru menjadikan negeri ini hancur. Mengapa? Karena sistem demokrasi meletakkan kedaulatan, yakni wewenang untuk mebuat hukum, ada di tangan manusia, bukan pada Allah SWT. Padahal jelas manusia tak akan mampu mengatur kehidupan ini.
Karena itu sudah selayaknya umat mencampakkan demokrasi-kapitalisme dan menggantinya dengan sistem dari Zat Yang Mahatahu, yakni Islam. Saat Islam dan syariahnya belum diterapkan maka sudah seharusnya seorang Muslim berkorban untuk menegakkan seluruh syariah-Nya melalui perjuangan penegakan Khilafah.
Tidak akan mungkin negeri ini menemukan ‘oase’ selain dari Islam. Meski tidak mudah berjuang untuk menegakkan Khilafah yang akan melaksanakan seluruh syariah Islam, sesungguhnya juga tidak sulit bagi Allah SWT untuk memberikan Khilafah saat kaum Muslim sudah layak untuk mendapatkannya. Karena itu sudah waktunya bagi umat terbaik ini untuk melipatgandakan amal shalih, melayakkan diri untuk mendapatkan pertolongan-Nya demi penerapan syariah dalam naungan Khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah. Caranya adalah dengan senantiasa meningkatkan ketakwaan dan tidak berputus asa untuk menyerukan syariah dan Khilafah kepada umat.
Karena itu, momen Idul Adha seharusnya tidak hanya menjadikan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. sekadar kisah di atas mimbar semata. Pengorbanan dan ketaatan keduanya harus benar-benar diteladani. Tidaklah pengorbanan itu melainkan dengan taat dan ridha dengan menjalankan syariah-Nya secara kâffah. WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Ima Susiati; Anggota HTI Malang]