Jumlah penduduk yang mencapai 1,3 miliar dengan angkatan kerja lebih dari 780 juta orang menjadi keuntungan sekaligus beban yang harus ditanggung Pemerintah Tiongkok (Cina). Populasi yang besar tentu menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang sangat strategis. Meskipun demikian, melayani populasi sebanyak itu termasuk menciptakan lapangan kerja bagi penduduk yang masuk usia produktif menjadi persoalan serius. Pengangguran dan kemiskinan yang tinggi berpotensi mengganggu stabilitas politik dan ekonomi negara tersebut. Oleh karena itu, mendorong agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi yang mampu menyerap lapangan kerja menjadi pekerjaan berat Pemerintah yang politiknya menganut ideologi komunis tersebut.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini yang diperkirakan hanya tumbuh 7 persen jelas menjadi berita buruk. Bukan hanya bagi pemerintah negara itu, namun juga negara-negara sejagad. Ini karena Tiongkok merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dengan nilai PDB mencapai 13% dari PDB global. Padahal sejak tahun 1991 hingga tahun 2011, negara itu tumbuh di atas rata-rata 10 persen. Bahkan ketika krisis menghantam perekonomian global tahun 2009, negara itu masih bisa tumbuh 9,2%, jauh di atas pertumbuhan negara-negara Amerika dan Eropa yang mencatatkan pertumbuhan minus.
Pertumbuhan fantastis yang dicapai Tiongkok selama ini memang tidak bisa dilepaskan dari reformasi ekonomi terutama yang dilakukan oleh presiden Tiongkok, Deng Xiaoping. Negara yang sistem ekonominya bercorak sosialisme komunis yang bersifat sentralistik diubah menjadi negara sosialisme dengan ekonomi pasar. Kontrol negara dalam perekonomian perlahan-lahan dikurangi terutama di sektor perdagangan dan investasi. Privatisasi terhadap sejumlah BUMN dan BUMD yang berskala kecil menengah terus dilakukan. Meskipun demikian, sektor-sektor strategis seperti industri pertahanan, listrik, telekomunikasi, minyak dan petrokimia, batubara, penerbangan dan perkapalan tetap dikontrol oleh Pemerintah. Kebijakan tersebut mampu menjadikan Tiongkok menjadi salah satu tujuan utama investasi global. Bahkan sejak tahun 2005, negara tersebut menjadi penerima investasi asing terbesar di dunia.
Sejak tahun 2007, negara tirai bambu tersebut juga telah menjadi eksportir terbesar dunia mengalahkan AS dan Jerman. Ekspor unggulan negara tersebut antara lain: elektronik dan barang-barang elektronik (24%), mesin-mesin industri (17%), pakaian (7%), besi dan baja serta produk turunannya (5%) hingga alas kaki (2%). Negara-negara utama yang menjadi tujuan ekspornya antara lain: Amerika Serikat, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, negara-negara Eropa seperti Jerman, Belanda dan Inggris serta negara-negara ASEAN.
Di sisi lain, meskipun memiliki kekayaan alam yang berlimpah, tetap saja ketergantungan negara tersebut terhadap impor terutama bahan baku industri cukup tinggi seperti: minyak bumi, gas dan batubara, biji logam dan sirkuit elektronik.
Surplus neraca perdagangan ditambah dengan besarnya aliran masuk investasi asing tersebut membuat cadangan devisa Tiongkok terus mengalami peningkatan yang cukup fantastis. Pada tahun 2014, nilainya telah mencapai US$ 3,8 triliun atau menjadi negara pemegang cadangan devisa terbesar di dunia. Sebagian besar cadangan devisa tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS. Dengan cadangan yang melimpah tersebut, Tiongkok dapat melakukan berbagai kebijakan yang cukup strategis untuk menjaga pertumbuhan ekonominya seperti melakukan investasi di negara-negara lain baik secara langsung ataupun melalui pembelian surat utang. Pada tahun 2008, misalnya, 12 persen dari aset finansial di AS seperti saham, obligasi Pemerintah dan obligasi swasta dikuasai oleh investor yang berasal dari Tiongkok. Cadangan devisa tersebut juga menjadikan Bank Sentral Tiongkok (people’s Bank of China) lebih mudah mengontrol nilai tukar yuan agar tetap berada pada level yang telah ditetapkan Pemerintah.
Perlambatan Ekonomi
Sebagai negara terbuka, Tiongkok sangat bergantung pada perdagangan luar negeri. Pada tahun 2013 nilai ekspor barang dan jasa negara itu mencapai 25 persen dari total PDB. Perlambatan ekonomi global sejak tahun 2008—terutama yang dialami oleh negara-negara tujuan ekspor Tiongkok seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang—membuat pertumbuhan ekspor negara tersebut ikut melambat. Efeknya menjalar ke dalam negeri berupa penurunan nilai konsumsi dan investasi. Pada tahun 2014, misalnya, nilai ekspor barang negara tersebut hanya tumbuh 6%. Padahal tahun 2011, ekspornya masih tumbuh di atas 20 persen.
Perlambatan ekonomi Tiongkok juga berdampak pada negara-negara yang memiliki pangsa pasar ekspor yang cukup besar ke negara tersebut. Total impor Tiongkok memang hanya 10% dari pasar global. Namun demikian, Tiongkok mengimpor 52% dari ekspor global barang-barang tambang dalam bentuk bijih (seperti nikel, tembaga, alumunium, chromium dan tembaga), 16% batu bara dan 15% minyak mentah. Nilai ekspor Indonesia, misalnya, tahun 2014 anjlok hingga 22% dibandingkan tahun sebelumnya dengan penurunan terbesar pada komoditas pertambangan dan perkebunan seperti nikel, alumunium, batubara dan karet. Penurunan tersebut akhirnya berdampak pada turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sektor ekonomi Tiongkok yang juga mengalami persoalan serius adalah anjloknya sektor konstruksi yang yang menyumbang 20 persen PDB. Pelemahan ini terutama disebabkan oleh menurunya investasi di sektor perumahan. Padahal sektor ini cukup banyak menyerap lapangan kerja dan memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor lainnya. Akibatnya, pendapatan tenaga kerja di sektor tersebut serta sektor-sektor yang terkait dengannya seperti industri besi baja, semen dan perabot rumah tangga ikut terpangkas.
Indikasi Krisis?
Kejadian yang cukup menghebohkan pelaku ekonomi global adalah anjloknya indeks harga saham Shanghai hingga 39% pada akhir Juli (30/7/15) dari posisi tertingginya di bulan Juni (12/6/15). Memang, dampaknya tidak terlalu besar karena kontrol Pemerintah atas bursa saham masih sangat tinggi. Demikian pula kepemilikan penduduk Tiongkok terhadap saham juga kecil hanya sekitar 15 persen dari total aset finansial mereka. Bailout yang dilakukan oleh Pemerintah mampu menenangkan pelaku pasar. Meskipun demikian, pecahnya gelembung tersebut sedikit banyak mempengaruhi kinerja perekonomian domestik Tiongkok sekaligus menjadi warning betapa pasar modal di negara tersebut semakin tidak sehat.
Setelah itu, pada tanggal 11/8/15, secara mengejutkan Bank Sentral Tiongkok mendevaluasi mata uangnya, Yuan, hingga 4 persen terhadap dolar AS. Dampaknya, nilai barang ekspor negara tersebut menjadi lebih murah di pasar global. Langkah ini tentu menimbulkan protes dari berbagai kalangan, termasuk Pemerintah AS yang selama ini mengalami defisit perdagangan dengan Negeri Panda itu. Meskipun demikian, sebagaimana yang kejadian-kejadian sebelumnya, Pemerintah Tiongkok tetap bergeming meski kebijakan tersebut semakin memanaskan hubungan antara kedua negara raksasa tersebut. Bagi Tiongkok mencegah pelemahan ekonomi di negara tersebut jauh lebih berbahaya ketimbang memburuknya hubungan dengan mitranya.
Kebijakan Bank Sentral tersebut membuat perang mata uang global (currency war) semakin berkecamuk. Sebagaimana diketahui, sejumlah bank sentral melakukan berbagai langkah untuk memperlemah mata uang mereka baik dengan menurunkan tingkat suku bunga ataupun meningkatkan pasokan uang beredar. Bank Sentral Eropa, misalnya, pada bulan Januari lalu yang melepas uang ke pasar (quantitave easing) sebesar 60 miliar euro. Sebelumnya, Bank Sentral Jepang juga telah melakukan pembelian obligasi di pasar modal dengan harapan agar nilai yen melemah. Dengan demikian, diharapkan ekspor Jepang dapat ditingkatkan.
Kebijakan yang ditempuh Bank Sentral Tiongkok tersebut sedikit banyak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi global yang saat ini masih lesu, terutama bagi AS yang berharap dapat benar-benar lepas dari krisis. Bank Sentral AS, The Fed, juga menghadapi dilema terhadap kebijakan tersebut. Rencana untuk menaikan suku bunga acuan perbankan di negara tersebut pada tahun ini semakin berisiko memperburuk perekonomian AS. Pasalnya, penaikan tersebut akan mendorong masuknya aliran modal ke negara tersebut dan mendorong penguatan nilai tukar dolar. Dampaknya daya saing ekspor AS tertekan.
Meskipun demikian, kebijakan tersebut di sisi lain juga meresahkan perusahaan-perusahaan Tiongkok yang memiliki kewajiban dalam bentuk dolar baik utang luar negeri ataupun obligasi dalam nilai dolar yang dalam beberapa tahun terakhir nilainya semakin tinggi. Akibatnya, kemampuan mereka dalam membayar kewajiban tersebut semakin berat.
Hal lain yang cukup mengkhawatirkan di negara tersebut adalah rasio utang swasta telah mencapai 207 persen dari PDB pada akhir Juni lalu naik dari 125 persen pada tahun 2008 (Bloomberg, 16/7/15). Sejatinya masalah ini telah menjadi perhatian pemerintah negara tersebut. Kebijakan suku bunga murah Pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi membuat nilai pinjaman meningkat termasuk meningkatnya investasi di sektor properti yang saat ini dikhawatirkan akan meledak. Namun demikian, menurunkan level utang tersebut dengan kembali menaikkan suku bunga juga dikhawatirkan akan semakin memperburuk pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tahun ini diperkirakan hanya tumbuh sekitar 7 persen.
Walhasil, kerapuhan ekonomi Tiongkok sejatinya tidak banyak berbeda dengan negara-negara kapitalis lainnya seperti Amerika dan negara-negara di kawasan Uni Eropa. Tanpa ada perubahan yang fundamental terhadap sistem ekonomi di negara tersebut, ‘awan hitam’ yang menyelimuti perekonomian terbesar kedua dunia itu dapat berubah menjadi krisis yang akan kembali mengguncang perekonomian dunia.
Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41). []