Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Pembaca yang budiman, sejak kemunculannya, keberadaan BPJS, khususnya BPJS Kesehatan, memang mengundang kontroversi. Pertama, karena BPJS Kesehatan mirip dengan asuransi kesehatan. Para anggota BPJS diwajibkan membayar iuran (baca: premi) tiap bulan, apakah mereka nanti memanfaatkan layanan kesehatan yang difasilitasi BPJS ataukah tidak. Padahal sejak awal digagas, keberadaan BPJS sering diidentikan dengan jaminan kesehatan masyarakat yang terkesan cuma-cuma alias gratis, dijamin oleh Pemerintah. Kedua, layanan kesehatan yang diterima masyarakat anggota/peserta BPJS sering minimalis alias tidak optimal. Bahkan dalam beberapa kasus, klaim pasien peserta BPJS acapkali ditolak, terutama dalam kasus pasien yang harus melakukan operasi dengan biaya besar. Seain itu, banyak tindakan medis, termasuk obat-obatan, yang tidak di-cover oleh BPJS. Ketiga, keberadaan BPJS disinyalir merupakan bentuk lepas tanggung jawab Pemerintah dalam menjamin kesehatan warganya. Melalui BPJS Pemerintah seolah mau ’cuci-tangan’ dari kewajibannya melayani rakyat di bidang kesehatan. Keempat, adanya fatwa MUI seputar ketidaksesuaian BPJS Kesehatan dengan syariah Islam alias haram. Di antaranya karena BPJS Kesehatan mengandung unsur gharâr (penipuan), maysir (judi) dan riba yang memang diharamkan dalam Islam.
Karena itu, tentu penting untuk mengkaji ulang BPJS. Apalagi, dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia, keharaman BPJS Kesehatan sesungguhnya tak semata-mata karena di dalamnya ada unsur gharar (penipuan), maysir (judi) dan riba. Lebih dari itu, keharaman BPJS Kesehatan terletak pada asasnya. Karena itu menghilangkan unsur dharar, maysir dan riba di dalam BPJS Kesehatan tak serta-merta menjadikan lembaga itu absah secara syar’i.
Jika demikian, bagaimana sesungguhnya jaminan kesehatan yang sesuai syariah? Bagaimana pula implementasinya dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah? Inilah yang dibahas dalam tema utama al-waie edisi kali ini.
Sejumlah tema lain tentu layak pula untuk dibaca dan dikaji. Selamat membaca!
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.