Pro Kontra BPJS

Pro-kontra seputar BPJS meledak di tengah masyarakat pada akhir Juli 2015 ketika media massa memberitakan fatwa haram BPJS yang dikeluarkan MUI. Pihak yang kontra BPJS, seperti MUI, mengharamkan asuransi BPJS karena ada unsur-unsur yang haram di dalamnya yaitu riba, maysir (judi) dan gharar (ketidakpastian, uncertainty). Adanya riba, misalnya, dibuktikan dengan fakta bahwa iuran (premi) yang dibayarkan masyarakat kepada BPJS ternyata disalurkan oleh BPJS ke dalam usaha-usaha yang haram, seperti obligasi dan deposito konvensional ribawi.

Pihak yang pro BPJS membantah fatwa haram BPJS tersebut dengan berbagai argumen. Tulisan ini akan mengkritisi beberapa argumen dan logika pihak yang pro BPJS.

Tak Ada Kata Haram dalam Fatwa MUI?

Dikatakan bahwa fatwa MUI tak menyebut kata haram, tetapi hanya menyebut frasa “tidak sesuai dengan syariah”. Jadi MUI tidak mengharamkan BPJS.

Jawabannya: Meski dalam fatwa tentang BPJS MUI hanya menyebut “tidak sesuai syariah”, tak salah kalau disimpulkan maksud-nya adalah “haram”. Pasalnya, fatwa MUI itu didasarkan pada adanya unsur-unsur yang haram dalam asuransi BPJS yaitu riba, maysir (judi) dan gharar. Riba jelas haram (QS al-Baqarah [2]:275). Demikian pula maysir (judi) (QS al-Maidah [5]: 90). Gharar juga haram sesuai dengan larangan dalam sabda Nabi saw.:

لاَ تَشْتَرُوْا السَّمَكَ فِيْ الْمَاءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ

Janganlah kalian membeli ikan yang masih ada di dalam air karena itu adalah gharar (tidak pasti/ uncertainty) (HR Ahmad).

Karena adanya unsur riba, maysir dan gharar BPJS dihukumi “tidak sesuai syariah”. Tentu tak salah jika disimpulkan bahwa BPJS itu haram. Bagaimana mungkin BPJS dikatakan tidak haram (alias halal), padahal dalam BPJS ada unsur-unsur haramnya?

Ada yang mengatakan, walau BPJS tak sesuai syariah, tak otomatis hukumnya haram. Jawabannya: Ketaksesuaian dengan syariah itu bentuknya ada dua macam. Pertama, mening-galkan kewajiban (tarku al-wâjibât), misalnya meninggalkan shalat lima waktu. Orang yang meninggalkan kewajiban tidak disebut berbuat haram, tetapi melakukan dosa atau maksiat.

Kedua, melakukan keharaman (irtikâbu al-harâm), seperti berzina, minum khamr, dsb. Untuk konteks BPJS, ketaksesuaian dengan syariahnya terletak pada aspek mengerjakan yang haram, yang terjadi pada dua hal: (1) karena dalam BPJS ada unsur haramnya (riba, maysir dan gharar); (2) karena akad BPJS adalah asuransi (at-ta’mîn) yang tak sesuai dengan syariah Islam.

Akad asuransi merupakan akad yang berasal dari sistem kapitalisme Barat, bukan berasal dari syariah Islam. Melakukan akad asuransi hukumnya haram karena ada larangan dari Rasulullah saw. yang bersifat umum, yang melarang perbuatan apa pun yang tidak disyariahkan Islam, termasuk perbuatan yang didasarkan pada sistem non-Islam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tak ada dalam perintah kami maka perbuatan itu tertolak (HR Muslim).

BPJS Dapat ‘Disyariahkan’?

Ada yang mengatakan, akad BPJS yang tak sesuai syariah itu dapat disyariahkan dengan menghilangkan unsur gharar, maysir dan riba yang ada di dalamnya. Benarkah?

Jawabannya: BPJS tak dapat disyariahkan hanya dengan menghilangkan unsur gharar, maysir, riba. Ada tiga alasan. Pertama: Unsur-unsur haram tersebut hanyalah penyimpangan cabang dari asuransi BPJS, bukan penyimpangan pokok. Penyimpangan pokok BPJS justru terdapat pada substansi akadnya, yaitu akad asuransi (at-ta’mîn). Akad asuransi itu tak mungkin disyariahkan. Pasalnya, objek akad (ma’qûd ‘alayhi) asuransi tak dapat dikategorikan objek akad yang sah. Dalam syariah, objek akad yang sah adakalanya berupa barang (al-‘ayn), seperti dalam akad jual-beli; adakalanya berupa jasa (almanfa’ah), seperti dalam kontrak kerja dan sewa. Adapun objek akad asuransi adalah janji (at-ta’ahhud), yakni janji perusahaan asuransi membayar dana pertanggungan jika terjadi risiko karena suatu peristiwa yang disepakati seperti kematian, kecelakaan, kebakaran, dsb. Janji seperti ini bukan barang atau jasa sehingga tidak sah dijadikan objek akad.

Kedua: Akad asuransi juga haram karena tak sesuai dengan ketentuan akad pertanggungan (adh-dhamân) dalam Islam. Dalil mengenai ketentuan akad ini adalah hadis sahih dari Jabir bin Abdillah ra. Disebutkan bahwa suatu saat Rasulullah saw. tidak bersedia menshalatkan satu jenazah yang masih punya utang dua dinar kepada orang lain. Lalu seorang sahabat bernama Abu Qatadah al-Anshari berkata, “Dua dinar itu menjadi kewajibanku, ya Rasulullah.”

Rasulullah saw. pun bersedia menshalatkan jenazah itu (HR Abu Dawud, Sunan Abi Dâwud, no. 3345, Bab Tasydîd ad-Dayn, hadis sahih).

Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm hlm. 185, hadis tersebut menunjukkan ketentuan akad pertanggungan islami, yakni terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu: penanggung (dhâmin), tertanggung (madhmûn ‘anhu) dan penerima tanggungan (madhmûn lahu). Di sini terjadi penggabungan tanggungan (dhamm adz-dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, sementara pihak penerima tanggungan tak membayar apa-apa untuk mendapatkan pertanggungan.

Akad asuransi jelas bertolak belakang dengan ketentuan itu karena:

  1. Dalam asuransi hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak), yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhâmin) dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmûn lahu). Tak ada pihak tertanggung (madhmûn ‘anhu).
  2. Dalam asuransi tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi karena peserta asuransi sebenarnya tidak punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain.
  3. Dalam asuransi peserta asuransi harus membayar premi (iuran) perbulan kepada penanggung (perusahaan asuransi). Dalam Islam, penerima tanggungan tidak mem-bayar apa-apa kepada pihak penanggung.

Ketiga: Asuransi BPJS juga tidak mungkin disyariahkan selama ada pemungutan dana dari masyarakat. Pasalnya, jaminan kesehatan dalam Islam diperoleh rakyat dari Pemerintah secara gratis. Rakyat tidak membayar sama sekali. Sebaliknya, jaminan kesehatan dalam BPJS diperoleh rakyat setelah rakyat dipaksa membayar iuran bulanan.

Banyak dalil-dalil syar’i yang menjelaskan bahwa negara dalam Islam wajib memberikan jaminan kesehatan secara gratis bagi rakyatnya. Di antaranya dalil umum sabda Rasulullah saw.:

فَالْأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ini adalah dalil umum bahwa negaraharus menjamin seluruh urusan rakyatnya, termasuk jaminan kesehatan. Ada pula dalil-dalil khusus yang menunjukkan kewajiban negara menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Jabir ra. menuturkan:

بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ طَبِيْبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عُرْقًا ثُمَّ كَوَاهَ عَلَيْهِ

Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (sentuhan dengan besi panas) pada urat itu (HR Muslim).

Dalam hadis tersebut, Rasul saw. sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma. Beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Zaid bin Aslam ra. menuturkan riwayat dari bapaknya yang bertutur:

مَرِضْتُ فِيْ زَمَانِ عُمَرٍ بْنِ الْخَطَّابِ مَرْضًا شَدِيْدًا فَدَعَا لِيْ عُمَرٌ طَبِيْبًا فَحَمَانِيْ حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النُّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ

Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Lalu Khalifah Umar ra. memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruh aku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu (HR al-Hakim, dalam Al Mustadrak, IV/7464)

Hadis ini juga menunjukkan, bahwa Umar ra. selaku khalifah (kepala negara Khilafah) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis. Beliau mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa rakyatnya harus membayar sedikitpun (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Semua itu merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan wajib diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari Negara (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).

Berdasarkan tiga alasan di atas, BPJS tak mungkin disyariahkan dengan hanya menghilangkan unsur riba, maysir atau gharar-nya. Artinya, selama objek akadnya berupa janji (at-ta’ahud), selama ketentuan akadnya menyalahi akad pertanggungan (adh-dhamân) dalam Islam dan selama masih ada pemungutan dana dari masyarakat maka BPJS tak bisa disyariahkan.

BPJS Bermanfaat, Mengapa Diharamkan?

Pihak yang pro BPJS ada pula yang berargumen dengan adanya manfaat yang dirasakan peserta BPJS. Dengan mendaftar BPJS, peserta terbebas dari biaya pengobatan yang besar untuk penyakit-penyakit berat seperti gagal ginjal, dll. Dengan demikian bukankah BPJS bermanfaat?

Jawabannya ada dua. Pertama: Memang ada sebagian pasien yang merasakan manfaat BPJS. Faktanya, manfaat itu tidak dirasakan oleh semua peserta, tetapi hanya oleh sebagian peserta saja, khususnya yang sedang sakit. Adapun peserta BPJS yang tidak sakit tidak mendapat manfaat apa-apa, sementara mereka tetap wajib membayar iuran tiap bulannya. Mungkin akan dijawab, “Manfaatnya akan dirasakan pada masa depan kalau dia sakit.” Nah, justru di situlah unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty) dari BPJS itu. Pasalnya, seseorang tak tahu pasti apakah dia akan sakit atau tidak pada masa depan. Jadi bayarnya pasti, tetapi manfaatnya tak pasti. Adilkah muamalah seperti ini?

Kedua: Andaikata benar BPJS ada manfaatnya, tidak otomatis BPJS halal. Pasalnya, bisa jadi suatu perbuatan itu ada manfaatnya, tetapi hukumnya tetap haram. Misalnya, khamr (minuman keras) ada manfaatnya, tetapi hukumnya tetap haram dan dosa besar (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 219).

BPJS Merupakan Ta’âwun, Bukan Asuransi?

Pihak pro BPJS berargumen bahwa BPJS merupakan ta’âwun (tolong-menolong) sehingga wajar ada iuran oleh semua peserta. Manfaatnya memang hanya dinikmati yang sakit saja. Peserta yang tidak sakit memang tak mendapat manfaat, tetapi kan dia sudah menolong orang lain yang sakit.

Jawabannya: Islam memang mengajarkan ta’âwun (tolong menolong). Namun, ta’âwun itu ada dua; ta’âwun dalam berbuat baik dan ta’âwun dalam berbuat dosa dan permusuhan (Lihat QS al-Maidah [2]: 2). BPJS termasuk dalam ta’âwun dalam berbuat dosa karena akad BPJS adalah akad asuransi. Padahal asuransi telah diharamkan dalam Islam.

Selain itu, kalau benar BPJS merupakan ta’âwun, mestinya seseorang yang menolong tak mengharap pamrih apa-apa. Itu seperti lazimnya seseorang yang menyumbang uang untuk korban bencana alam (banjir, gempa bumi, dsb) yang tentu tak mengharap imbalan apa-apa. Dalam BPJS, peserta membayar iuran bulanan berharap mendapat layanan kesehatan sebagai imbalannya. Jadi, jelas BPJS bukan muamalah ta’âwun yang bersifat sosial tanpa mengharap imbalan, melainkan muamalah komersial yang mengharap imbalan. Menyebut BPJS sebagai ta’âwun merupakan kebohongan dan penipuan publik yang nyata.

Rakyat Boleh Membantu Negara, Seperti Pajak?

Pihak pro BPJS berargumen bahwa BPJS dibolehkan karena rakyat boleh saja membantu negara yang kekurangan dana, seperti dengan membayar pajak?

Jawabannya: Memang rakyat dapat saja membantu negara lewat pajak. Namun, dalam masalah jaminan kesehatan, Islam mewajibkan negara menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis tanpa memungut biaya apapun dari rakyat.

WalLâhu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al Jawi]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*