HTI

Tafsir (Al Waie)

Teguran Terhadap Manusia yang Terpedaya

(Tafsir QS al-Infithar [82]: 6-8)

يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ* الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ* فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ*

Hai manusia, apa yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah; Yang telah menciptakan kamu dan menyempurnakan kejadianmu sehingga menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang? Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki Dia menyusun tubuhmu (QS al-Infithar [82]: 6-8).

Dalam ayat ini Allah SWT mengingatkan dan menegur orang-orang yang terpedaya sehingga berani mengingkari dan mendurhakai Tuhannya Yang Mahamulia. Padahal Tuhannyalah yang menciptakan, menyempurnakan penciptaan-nya serta membuat tubuh mereka menjadi seimbang dan serasi.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-insân mâ gharraka bi Rabbika al-Karîm (Wahai manusia, apa yang telah memperdaya kamu [berbuat durhaka] terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah). Seruan ayat ini ditujukan kepada al-insân (manusia). Kata tersebut menunjuk kepada Bani Adam, yakni anak keturunan Adam as. Setidaknya, ada dua pendapat dalam memahami cakupan kata al-insân dalam ayat ini.         Pertama: Manusia kafir. Di antara yang berpendapat demikian adalah asy-Syaukani. Mufassir tersebut berkata, “Ini adalah seruan untuk orang kafir.”1

Demikian juga Ibnu Jarir ath-Thabari yang menafsirkan kata tersebut dengan ungkapan, “Wahai orang kafir.”2

Imam al-Qurthubi juga menyatakan. “Dengan ini Alah SWT menyeru kaum yang mendustakan Hari Kebangkitan.”3

Menurut Fakhruddin ar-Razi, pendapat tersebut didasarkan pada ayat sesudahnya, yakni firman Allah SWT:

كَلا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ

Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan Hari Pembalasan (QS al-Infithar [81]: 9).

Kedua: Mencakup semua pelaku maksiat. Di antara yang memilih penafsiran ini adalah Fakhruddin ar-Razi. Menurut ar-Razi, pendapat ini lebih tepat karena kekhususan sebab tidak bisa merusak keumuman lafalnya.4

Perkara yang disampaikan kepada mereka adalah: Mâ gharraka bi Rabbika al-Karîm. Menurut al-Biqa’i, ayat ini bermakna: adkhalaka fî al-ghirrah (memasukkan kamu dalam kelengahan); yakni kamu melihat baik perbuatanmu yang buruk atau kamu akan melihat dirimu akan dimaafkan.5

Menurut Ibnu Manzhur, kata gharrahu berarti khada’ahu wa ath’amahu bi al-bâthil (menipu dan membuat dia merasa nikmat dengan kebatilan).6 Itu pula makna kata tersebut dalam ayat ini. Menjelaskan ayat ini, Ibnu Manzhur berkata, “Apa yang menipu dan membujuk kamu sehingga kamu melalaikan kewajibanmu?”

Ada pula yang menafsirkan ayat tersebut, “Apa yang memperdayai kamu terhadap Tuhanmu sehingga kamu bermaksiat dan merasa aman dari hukuman-Nya, lalu membuat kamu melihat indah berbagai kemaksiatan dan angan-angan dusta sehingga kamu berani berbuat dosa besar, tidak takut kepada Allah dan merasa aman dari azab-Nya?”7

Penjelasan senada juga disampaikan oleh para mufassir lain. Menurut al-Jazairi, ayat ini bermakna, “Apa yang menipu kamu dan membuat kamu mengingkari Tuhanmu Yang Maha Pemurah; juga berani mendurhakai-Nya dengan menyimpang dari perintah-Nya dan keluar dari ketaatan kepada-Nya?”8

Mengenai apa yang memperdaya manusia sehingga mengingkari dan mendurhakai Allah SWT, ada beberapa penjelasan. Menurut Qatadah dan al-Hasan, yang mempedaya manusia itu adalah setan.9 Adapun menurut Umar bin al-Khaththab ra. menyebut kebodohanlah yang mempedaya manusia. Menurut Umar ra., ayat ini sama dengan firman Allah SWT:

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS al-Ahzab [33]: 72).10

Ibnu Umar ra. juga pernah membaca ayat ini, kemudian berkata, “Yang memperdaya manusia, demi Allah, adalah kebodohannya.”11

Huruf di sini merupakan istifhâm (kalimat tanya). Kendati dalam bentuk istifhâm, ayat ini memberikan makna teguran. Menurut Ibnu Juzyi al-Kalbi kalimat tersebut merupakan tawbîh wa ‘itâb (teguran dan cercaan).12 Bahkan Ibnu Katsir menyebut kalimat itu sebagai tahdîd (ancaman).13

Teguran, celaan dan ancaman tersebut memang layak bgai mereka. Pasalnya, mereka telah terpedaya sehingga mengingkari dan mendurhakai Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pemurah. Dalam ayat ini, sifat yang disebutkan adalah Rabbika al-Karîm, Tuhanmu Yang Maha Pemurah.

Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, kata al-karam jika disifatkan kepada Allah SWT, merupakan nama yang menunjukkan kemurahan dan pemberian nikmat-Nya yang tampak, sebagaimana firman-Nya:

فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

Sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia (QS an-Naml [27]: 40).14

Menurut al-Asfahani, tidak dikatakan al-karâm kecuali pada perbuatan baik yang amat besar, seperti orang yang menginfakkan harta dalam menyiapkan tentara di jalan Allah, memikul beban yang menjaga darah suatu kaum.15

Menurut Ibnu Katsir, penyebutan Nama-Nya dengan al-Karîm pada ayat ini adalah untuk memberikan peringatan bahwa tidak layak al-Karîm (Yang memiliki sifat pemurah) dibalas dengan perbuatan tercela dan jahat.16 Menurut al-Baidhawi penyebutan al-Karîm berguna li al-mubâlaghah fî al-man’i ‘an al-ightirâr (untuk melebihkan dalam larangan terpedaya).17 Ditegaskan pula, sesungguhnya besarnya sifat pemurah menghendaki kesungguhan dalam menaati-Nya, tidak mendorong untuk mendurhakai-Nya karena terpedaya oleh sifat pemurah-Nya.18

Kemudian Allah SWT berfirman: al-ladzî khalaqaka fasawwâka fa’adalaka (Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu sehingga menjadikan [susunan tubuh]-mu seimbang). Ini merupakan beberapa sifat yang menegaskan sifat al-Karîm bagi Allah SWT.

Yang pertama disebutkan: al-ladzî khalaqaka (Yang telah menciptakan kamu). Maknanya, Dialah Yang telah menciptakan manusia. Al-Jazairi berkata, “Menciptakan kamu dari sebelumnya yang tidak ada.”19

Imam al-Qurthubi juga berkata, “Yakni mampu menciptakan kamu dari setetes air mani.”20

Kemudian disebutkan: fasawwâka (lalu menyempurnakan kejadianmu). Menurut al-Asfahani, taswiyat asy-syay‘ berarti ja’alahu sawâ‘ (menjadikan sesuatu itu seimbang), baik dalam hal ketinggian maupun dalam kerendahan.21 Makna Firman Allah SWT dalam ayat ini adalah: menjadikan bentuk tubuhmu menghendaki adanya hikmah.” Demikian penjelasan al-Asfahani.22

Menurut Syihabuddin al-Alusi, at-taswiyah itu berarti menjadikan organ tubuh seimbang, selamat dan disediakan untuk berbagai manfaat. Sebab, pada asalnya at-tawiyah adalah membuat berbagai benda menjadi sawâ atau seimbang sehingga itu di atas hikmah dan mengharuskan diberikan kepadanya sesuatu yang dapat menyempurnakannya.”23

Juga disebutkan: fa’adalaka (lalu menjadikan susunan tubuhmu seimbang). Menurut al-Jazairi, pengertian fa’adalaka dalam ayat ini adalah membuat tubuhmu seimbang, serasi dan tiada kontradiksi di dalamnya. Dengan demiklian Dia tidak menjadikan salah satu tangannya lebih panjang, salah satu matanya lebih lebar, sebagian anggota tubuh berwarna putih, dan sebagian anggota tubuh lainnya berwarna hitam, sebagian rambutnya berwana hitam dan sebagian rambut lainnya berwarna pirang. Bisa juga, menjadikan kamu sebagai makhluk yang paling sempurna dan berjalan dengan tegak serta tidak seperti hewan ternak.24

Kemudian Allah SWT berfirman: Fî Ayyi shûrah mâ syâa rakkabaka (Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu). Ayat ini merupakan kelanjutan dari kalimat dalam ayat sebelumnya. Artinya, Allahlah Yang menyusun dan membuat susunan dan bentuk tubuh manusia.

Ikrimah dan Abu Shalih mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah jika Allah SWT menghendaki, Dia menyusun tubuhmu dalam bentuk manusia, bentuk keledai, bentuk kera ataupun dalam bentuk babi.25

Makhul berkata, “Jika Dia menghendaki, dia menjadi laki-laki; jika Dia menghendaki, dia menjadi perempuan.”

Mujahid memaknai fî ayyi shûrah, yakni dalam bentuk menyerupai seperti ayah, ibu, paman dari bapak maupun ibu, dan lain-lain.26

Semua penjelasan mereka itu memberikan makna bahwa Allah SWT mampu dan kuasa untuk menjadikan air mani menjadi bentuk yang buruk, seperti hewan-hewan yang buruk bentuknya. Akan tetapi, berdasarkan kekuasaan dan kasih sayang-Nya, Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan sempurna hingga indah dipandang mata.27

Teguran kepada Manusia yang Terpedaya

Perkara amat penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini adalah teguran keras terhadap orang-orang yang terpedaya sehingga berani melanggar perintah dan larangan Allah SWT, bahkan mengingkari-Nya.

Sebagaimana telah dipaparkan, kata gharra bermakna khadda’a (menipu) sehingga sesuatu yang buruk atau perbuatan tercela tampak terlihat baik dan terpuji. Karena itu seseorang yang terpedaya akan memilih dan mengambil sesuatu yang buruk dan tercela tersebut. Akibatnya, dia akan terperosok ke dalam kesengsaraan dan penderitaan.

Inilah yang dialami oleh sebagian manusia. Mereka terpedaya dengan gemerlap dunia; menganggap kesenangan di dunia adalah segala-galanya dan satu-satunya. Mereka pun melupakan, bahkan mengingkari kehidupan akhirat. Karena itu mereka lalu mengejar kesenangan dunia tanpa mempedulikan aturan Allah SWT dan melupakan akhirat. Padahal Allah SWT telah mengingatkan agar mereka tidak terpedaya dengan kehidupan dunia (Lihat: QS Luqman [31]: 33); juga tidak terpedaya dengan kehidupan orang-orang kafir (Lihat: QS Ali Imran [3]: 196).

Allah SWT adalah Rabb atau Tuhan mereka. Tuhan yang mempunyai sifat al-Karîm, Maha Pemurah.           Sifat Pemurah kepada manusia yang paling penting adalah khalaqaka (menciptakan kamu). Dialah Yang menciptakan manusia dari sebelumnya tidak ada menjadi ada. Betapa Maha Pemurahnya Allah SWT. Tanpa meminta, Allah SWT menciptakan dan menghidupkan manusia. Manusia diberi kesepatan hidup serta merasakan berbagai anugerah dan kenikmatan lain yang tak terkira. Karena itu sungguh keterlaluan setelah hidup manusia kemudian mengingkari dan mendurhakai Allah SWT (Lihat: QS al-Kahfi [18]: 37).

Tak sekadar menciptakan, Allah SWT bahkan menyempurnakan dan menjadikan tubuh manusia menjadi tegak, seimbang, dan serasi. Setiap organ tubuh memiliki fungsi dan kegunaan yang istimewa dan menakjubkan. Perhatikanlah mata, telinga, mulut, lidah, gigi, kaki, tangan, jantung, paru-paru, hati, ginjal, dan lain-lain.

Selain itu manusia juga diberi perangkat paling penting yang membedakan manusia dengan hewan, yakni akal. Karena itu manusia menjadi makhluk yang paling baik ciptaannya. Dalam QS at-Tin [95]: 4 disebut sebagai fî ahsan taqwîm (sebaik-baik bentuk). Semuanya menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah SWT sekaligus menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah kepada manusia.

Dalam urusan tubuh dan semua organnya itu, manusia sama sekali tak berkuasa. Andaikata manusia diciptakan tanpa mata, tanpa telinga, tanpa kaki, manusia tak berdaya menolak itu. Bahkan andai dia diciptakan sebagai kambing, sapi, anjing, atau babi, dia tak kuasa mencegah itu. Semuanya terserah kehendak Allah SWT. Maka dari itu, tatkala dia dijadikan sebagai manusia dengan segenap keistimewaannya, semestinya dia bersyukur kepada Allah SWT; beribadah dan taat kepada-Nya; tidak mennyekutukan-Nya (lihat QS al-Baqarah [2]: 21-22).

Oleh karena itu, sebagaimana diterangkan oleh para mufassir, ayat ini menegur dan mencela siapa pun yang terpedaya sehingga mengingkari dan mendurhakai Tuhannya. Betapa tidak pantasnya manusia, setelah diciptakan Allah SWT, disempurnakan bentuknya, lalu tubuhnya dijadikan tegak, seimbang, dan serasi, kemudian dia enggan menaati perintah-Nya. Sungguh, tindakan itu hanya akan berujung pada penyesalan.

Dengan berbagai anugerah dan kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT, seharusnya manusia mudah bersyukur dan ringan menjalankan perintah-Nya, tak berat meninggalkan larangan-Nya, tunduk terhadap seluruh hukum-Nya dan bersedia menerapkan seluruh syariah-Nya; bukan malah bersikap ingkar dan berlaku durhaka serta menolak syariah-Nya yang agung. Sungguh, sikap itu hanya akan menjerumuskan pelakunya pada kesengsaraan dan penderitaan tak bertepi. Wa al-‘iyâdz bil-Lâh.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan Kaki:

1         Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 479.

2         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muasasah al-Risalah, 2000), 269.

3         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 245.

4         Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 74.

5         Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 302.

6         Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar Shadir, tt), 11.

7         Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5, 11.

8         Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 530

9         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 245. Lihat juga dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 269; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 479

10        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 245.

11        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 342.

12        Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam bin al-Arqam, 1996), 458.

13        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 341.

14        Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1991), 707.

15        Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 707.

16        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 342.

17        Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Trats al-‘Arabi, 1998), 292.

18        Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 292.

19        Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 529

20        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 245.

21        Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 440.

22        Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 440.

23        Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyyah, 1995), 269.

24        Az-Zamakhsyari, vol. 5, 529.

25        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 247.

26        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 247; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 270; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 479.

27        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 342.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*