“Timbuktu kini menjadi bagian dari legenda kejayaan umat Islam. Meninggalkan saksi mata para pengembara dan ulama dunia lewat sejarah dan peta. Hancur-lebur karena keserakahan imperialisme. Timbuktu selangkah lagi ‘tenggelam’, menunggu waktu saat pasir Sahara menyelimuti kota ini, selamanya”
Mendengar nama ‘timbuktu’ mungkin di antara kita ada yang merasa ‘asing’. Dimana kota tersebut? Ada apakah di sana? Namun, ada juga yang hanya mengetahui Timbuktu itu identik dengan ‘masjid tua’ yang terbuat dari tanah liat semata. Tak lebih dari itu. Sekarang, tak banyak yang bisa diceritakan dari kota yang tandus dan gersang di Afrika itu.
Dunia saat ini mungkin hanya mengetahui keberadaan kota itu dari sebuah bangunan masjid antik yang menjadi cagar budaya dunia, yaitu Masjid Djinguereber. Masjid terbesar di Timbuktu ini sangat unik karena dibangun dengan menggunakan material tanah lumpur. Dengan arsitektur khas lokal dan warna alamiah coklat lumpur, masjid ini dibangun pada masa kejayaan Timbuktu.1
Sejatinya kota tua Timbuktu yang terletak di Mali, Afrika Barat, ini merupakan ’rumah’ bagi Koranic Sankore University dan hampir terdapat 200-an madrasah. Kota Timbuktu yang berada di Gurun Sahara ini sempat menjadi pusat penyebaran Islam di Afrika pada abad ke-15 dan 16. Dulu terdapat tiga buah masjid besar yaitu Masjid Djinguereber, Sankore dan Sidi Yahia. Ketiganya menandai kejayaan Islam pada masa itu. Masjid Djinguereber dan Sankore dibangun pada masa pemerintahan Sultan Kankan Moussa pada awal abad ke-14. Masjid Sidi Yahia dibangun pada tahun 1400.2
Islam berkembang di Mali (Afrika Barat) berawal dari masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., sewaktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir. Dengan restu Khalifah Umar ra. dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Dari Mesir, penyebaran Islam selanjutnya dipimpin oleh Abdullah Ibn Saad ke Tunisia dari tahun 647-648 M,3 dan kemudian di lanjutkan oleh jenderal Muslim Uqba Ibn Nafi pada tahun 670 M, 2 tahun setelahnya (672 M). Uqbah Ibn Nafi mendirikan Kota Qairawan/Kairouan di Tunisia.4
Usaha penaklukkan Afrika Utara dilanjutkan oleh Zuheir. Dari Afrika Utara ini, Islam masuk ke Afrika Barat pada abad IX. Islam dibawa oleh Muslim Berber dan Tuareg yang sebagian besar merupakan pedagang. Para sufi juga berperan dalam penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Pada awal-awal masuknya Islam di kawasan sebelah barat Afrika itu, Kota Timbuktu, Gao dan Kano dijadikan sebagai pusat pengajaran Islam.
Pada abad ke-12 M Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang termasyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur.
Sejarahwan abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang dia tulis. “Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad, penguasa negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat kepada rakyatnya yang giat belajar,” tutur Africanus.
Pada era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di daerah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Akibatnya, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding lainnya.
Di Timbuktu masjid dan perpustakaan tidak saling berdiri sendiri. Masjid dikenal sebagai pusat untuk mencari ilmu sehingga perpustakaan pun menjadi bagian dari masjid. Perpustakaan Sankore memiliki 700 volume buku yang tertulis dalam bahasa Arab dan di kopi dengan tulisan tangan. Para pelajar berlomba-lomba mengkopi buku-buku yang mereka perlukan untuk belajar.
Al-Wazan, seorang pengembara muslim terkenal abad 16, mencatat bahwa saat itu di Timbuktu, buku merupakan barang yang paling laris dibeli dibandingkan dengan barang lain. Mendekati abad ke-19, Felix Dubois menjelaskan posisi Timbuktu yang strategis sebagai pusat perjalanan jamaah haji ke Makkah menyebabkan tersedianya banyak buku-buku. 5
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana kulit hitam, pedagang kulit hitam dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Garam, buku dan emas menjadi tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya pada era itu. Bahkan menurut hasil catatan perjalanan dalam episode in to Africa, wartawan BBC Henry Louis Gates Jr. menggambarkan pada masa kejayaan Timbuktu, hasil emas yang melimpah menyebabkan penduduk Timbuktu menukar se-ons emas dengan garam!6
Timbuktu pun mulai menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Pada abad ke-12 M, Timbuktu telah memiliki 3 universitas serta 180 sekolah al-Quran. Ketiga universitas Islam yang sudah berdiri di wilayah itu antara lain Sankore University, Jingaray Ber University dan Sidi Yahya University. Inilah masa keemasan peradaban Islam di Afrika.
Pada tahun 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Masa Mussa (1307-1332). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji, Sultan Mussa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kg emas untuk membangun Masjid Jingaray Ber – Masjid untuk shalat jumat. Sultan Musa juga membangun istana kerajaanya atau Madugu di Timbuktu. Pada masa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao (1324-1325) M yang kini hanya tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai terkenal di seluruh dunia. Sebagai penguasa yang besar dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya setiap pegawai membawa tiga kg emas. Hal ini menjadikan Timbuktu dan Mali mulai masuk peta pada abad ke-14 M.
Sayangnya, Timbuktu hancur, luluh-lantak lantaran perebutan kekuasaan yang terus-menerus dari negara-negara imperialis. Salah satu strategi adalah melakukan ‘penyusupan’ untuk mendalami potensi kekuatan umat Islam di sana. Diutuslah Prancis Rene Caillie, yang tiba di Timbuktu pada tahun 1828. Ia berpura-pura menjadi orang Arab dengan berpakaian Timur Tengah. Caillie agak kecewa mendapati Timbuktu begitu membosankan dan lamban. Namun, setelah itu beberapa petualang Eropa melakukan perjalanan untuk melihat kota. Dalam perjalanan mereka, didokumentasikan-lah informasi tentang perdagangan, pasar, masjid, masyarakat serta apa saja yang diproduksi di Timbuktu.
Setelah dokumentasi tersebut dipatenkan oleh Prancis, informasi tersebut digunakan untuk membantu tentara Prancis merumuskan cara untuk menaklukkan Tanah Timbuktu dan membuatnya jatuh ke negara-negara Eropa. Pasukan Prancis mencapai kota pada bulan Desember 1893, tetapi beberapa dari mereka dibunuh oleh Tuareg. Pendudukan dicapai pada tahun berikutnya dan menyebabkan pemerintahan kolonial Timbuktu berlangsung selama enam puluh tahun. Setelah enam puluh tahun pemerintahannya, Timbuktu merdeka dan menjadi bagian baru negara Mali yang dibentuk pada tahun 1960.7 [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/07/08/123715-timbuktu-cahaya-islam-yang-telah-memudar
2 http://www.femina.co.id/waktu.senggang/jalanjalan/jejak.kota.tua.islam/006/003/98
3 Jamil M. Abun-Nasr, A history of the Maghrib in the Islamic period, Cambridge University Press, 1987, hlm. 28
4 Supratignyo, 2002, Sejarah Afrika, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra. UM Malang. hlm. 8
5 http://www.kompasiana.com/vienym/di-timbuktu-emas-pernah-ditukar-dengan-garam_5500f365a33311be0b510efe
6 Ibid.
7 http://alvinrajainfo.blogspot.com/2015/02/sejarah-kota-timbuktu.html