Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang kalian kerjakan (TQS al-Hasyr [59]: 18).
Ayat tersebut memberikan pelajaran bahwa hidup ini berawal dari takwa menuju takwa diselingi evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Hal ini berlaku baik berkaitan dengan persoalan pribadi maupun masyarakat.
Berkaitan dengan perkara ini, penting mencatat apa yang disampaikan Yusril Ihza Mahendra. Pada acara Haflah Idul Fitri di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (15/8/2015), Mantan Menteri Hukum dan HAM ini mengutip pernyataan salah satu tokoh Islam di Indonesia, Muhammad Natsir, “Pada tanggal 17 Agustus kita proklamirkan kemerdekaan kita, dan kita sambut kemerdekaan itu dengan takbir, Allâhu Akbar! Besoknya, 18 Agustus 1945 kita sahkan UUD 1945 dan kita kumpulkan kesepakatan-kesepakatan, kompromi-kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam dalam mendirikan Republik Indonesia ini. Saat itu, antara lain ditanggalkan dua kesepakatan penting, yaitu kalimat dalam Piagam Jakarta yang menyatakan negara kita ini didirikan dengan dasar ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan ini, berarti negara harus menerapkan syariat Islam. Kompromi kedua adalah Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam. Namun, dua kompromi itu ditanggalkan pada 18 Agustus 1945. Kalau tanggal 17 Agustus kita proklamirkan kemerdekaan dan kita sambut dengan takbir, besoknya pada tanggal 18 Agustus ditanggalkan kompromi-kompromi itu maka kita beristighfar astaghfirullâh al-‘azhîm.”
Kecurigaan dan kekhawatiran terhadap Islam ada sejak awal. Tidak heran bila pertarungan tersebut terus berlangsung hingga kini. Islam masih dianggap asing. Ahmad Muflih Saifuddin merasakan hal ini. “Islam itu semula asing dan akan kembali asing sebagaimana semula,” ujarnya mengutip hadis Nabi saw.
“Orang Islam memandang pakai jilbab sebagai sesuatu yang asing. Orang yang mengatakan bahwa bunga bank itu riba dianggap asing. Padahal para ulama berfatwa bahwa bunga bank itu riba. Orang di Indonesia ini terkejut bila ada yang mengatakan bahwa bank itu hanya ada dua, yaitu bank haram dan bank halal,” tambah mantan Menteri Pertanian era Presiden Habibie tersebut.
Rupanya tidak sekadar itu. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (11/8/2015) mengakui bahwa empat puluh guru dikirim ke Religious Education, Oxford University, Inggris. Mereka disiapkan untuk menerapkan modul pembelajaran Islam damai. “Sebelumnya, guru-guru ini mendapatkan cara untuk mendidik pelajaran agama dengan cara menyenangkan, interaktif dan berlangsung secara dua arah dari Oxford,” tambahnya.
Sebelumnya, pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia di Yogjakarta Lukman menegaskan pentingnya Islam Indonesia atau Islam Nusantara. Lalu awal Agustus ini Kementerian Agama menawarkan penulisan tentang Islam Nusantara kepada para peneliti dengan pembiayaan perorang lima puluh juta. Jelas, Islam Nusantara yang dimaksudkan oleh Menteri Agama adalah Islam menurut ajaran Barat, Islam yang pro Barat. Inilah yang disebut Islam moderat. Islam makin didekatkan dengan Barat. Sebaliknya, Islam makin dijauhkan dengan sumber aslinya: Arab. Hal ini tampak dalam pernyataan Jusuf Kala. Wakil Presiden tersebut mengatakan (9/8/2015), “Sesungguhnya peradaban umat Islam di Indonesia jauh lebih baik daripada peradaban Islam di Timur Tengah. Seluruh negara memuji Indonesia sebagai Islam yang moderat.”
Tak sekadar itu. Proses memberikan cap negatif bagi Islam dan umat Islam terus terjadi. Pertengahan Agustus 2015, saya bertemu dengan salah seorang komisioner Komnas HAM Siane Indriani. Terkait kasus penangkapan teroris di Nusa Tenggara baru-baru ini, Siane telah melakukan pengecekan ke lapangan. Berdasarkan berbagai fakta yang ia peroleh, ia menyimpulkan: “Diduga kuat, kasus tersebut penuh dengan rekayasa.”
Hal ini diamini oleh peneliti terorisme Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B. Nahrawardaya. Mustofa menggambarkan fakta-fakta tentang perekayasaan kasus-kasus terorisme. Tidak mengherankan bila gambaran Islam sebagai ajaran yang disebut radikal atau teroris terus menancap. Islam digambarkan identik dengan kekerasan. Inilah yang dinamakan oleh sebagian pihak sebagai Islam Arab, Islam yang tidak damai. Pada satu sisi “Islam Indonesia” diangkat-angkat, pada sisi lain perekayasaan untuk menggambarkan Islam sebagai kekerasan terus dilakukan.
Sejak awal kemerdekaan para ulama menghendaki Islam diterapkan oleh negara. Namun, mereka ‘dikhianati’. Islam pun dijauhkan dari kenegaraan. Berikutnya, Islam didekatkan dengan Barat yang notabene hingga saat ini terus menjajah negeri-negeri kaum Muslim. Islam ditafsirkan dari kacamata kapitalisme. Islam pun terus digambarkan sebagai kekerasan dengan berbagai perekayasaan. Umat Islam makin dibuat asing terhadap akidah dan syariatnya sendiri.
Perasaan ini senada dengan apa yang dirasakan oleh Wakil Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), KH Wahid Alwi. Beliau menyampaikan kepada saya beberapa waktu lalu bahwa Islam semakin dijauhkan dari kehidupan. Namun, menurut penilaiannya, pada sisi lain semangat keislaman semakin tumbuh. Di situlah pentingnya kerjasama dan silaturahmi antar komponen umat. “Kita harus terus menjalin ukhuwah dan kerja sama,” ujarnya.
“HTI dengan DDII itu bila ada 100 perkara, maka 95 perkara sama. Sisanya, 5 perkara mungkin beda tapi masalah khilafiyah,” tambahnya dengan penuh semangat.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Muhammadiyah, Haidar Nashir. Pada saat berkunjung ke kantor PP Muhammadiyah (24/8/2015) beliau menyampaikan harapannya kepada saya, “Kita perlu terus menjalin ukhuwah dan kerjasama. Banyak masalah umat yang harus kita hadapi. Barangkali ada perbedaan strategi dan pendekatan. Namun, itu bukan persoalan.”
Tantangan besar. Ukhuwah harus makin kokoh. Semoga.