Aljazair, negeri yang terletak di kawasan Afrika Utara ini, merupakan salah satu negeri Islam yang penuh konflik. Perjuangan umat Islam di Afrika hingga saat ini masih belum berhenti. Negeri ini juga menjadi contoh bagaimana sistem ‘demokrasi’ menampakkan kebusukannya. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai sistem terbaik ternyata hanya omong-kosong belaka. Negeri ini juga merupakan contoh sangat nyata bagaimana rekayasa kekerasan terus berlangsung hingga kini untuk menyudutkan perjuangan umat Islam. Negeri ini juga menjadi saksi, bagaimana wajah ketakutan Barat melihat kemenangan perjuangan Islam.
Aljazair, sering pula disebut dengan nama Al-Jumhuriya Al-Jaza’iriya ad-Dimuqratiya asy-Sya’biya, memakai bahasa Arab sebagai bahasa resmi selain bahasa Prancis dengan dialek Barbar.
Aljazair, resminya Republik Demokratis Rakyat Aljazair, merupakan sebuah negara di pesisir Laut Tengah, Afrika Utara. Nama negara ini yang berarti kepulauan (al-jazâ’ir, dalam bahasa Arab) mungkin mengacu pada 4 buah pulau yang terletak berdekatan dengan ibu kota sekaligus pusat pemerintahan negara ini, Aljir. Aljazair adalah republik semi-presidensial yang terdiri dari 48 provinsi dan 1.541 komune. Dengan jumlah penduduk lebih dari 37 juta jiwa, Aljazair merupakan negara berpenduduk terbanyak ke-34 di Bumi.
Ekonomi Aljazair mengandalkan sumber-sumber minyak. Sonatrach, perusahaan minyak nasional, merupakan perusahaan terbesar di Afrika. Aljazair memiliki tentara terbesar kedua dengan anggaran pertahanan terbesar di Afrika. Aljazair memiliki Program Nuklir damai sejak dasawarsa 1990-an.
Dengan luas keseluruhan 2.381.741 kilometer persegi, Aljazair merupakan negara terluas ke-10 di dunia; terluas terluas di Afrika dan di Mediterania. Negara ini berbatasan dengan Tunisia di sebelah timur-laut; Libya di sebelah timur; Maroko di sebelah barat; Sahara Barat, Mauritania dan Mali di sebelah barat-daya; Niger di sebelah tenggara; dan Laut Tengah di sebelah utara. Aljazair adalah anggota Uni Afrika, Liga Arab, OPEC dan PBB, serta anggota pendiri Uni Arab Maghribi.1
Islam masuk ke negeri ini pada akhir abad ke-7 M pada masa Khilafah Bani Umayah sekitar abad 682 M. Diawali dari Tunisia, tentara Islam terus berdakwah dan berjihad, bergerak ke arah Barat. Mereka membebaskan sejumlah bangsa Barbar seperti Aljazair, Maroko, Libya dan wilayah Magribi dari penjajahan bangsa Romawi, untuk hidup dalam naungan Islam yang damai.
Penduduk Aljazair saat ini mayoritas merupakan keturunan Arab-Berber. Secara kultural, masing-masing mengembangkan tradisi yang berbeda. Selain itu terdapat suku Tuareg yang tinggal di nomaden.2
Penduduk yang mula-mula dikenal di Aljazair adalah suku Barbar yang punya bahasa dan adat sendiri. Tidak ada seorang pun dari sekian banyak para ahli yang mengetahui dari mana mereka berasal. Setelah bangsa Arab datang dari Semenanjung Arabia pada akhir abad ke-7, maka agama Islam tersebar dan bahasa Arab menjadi bahasa masyarakat. Jadi penduduk Aljazair terutama terdiri dari keturunan bangsa Arab dan Barbar.
Saat Aljazair masuk dalam Kekhalifahan Islam Utsmani, kemakmuran dan kehebatannya tampak dengan jelas. Sebagai misal, tatkala Amerika mencoba masuk tanpa izin di Laut Aljazair, segera kapal Amerika tersebut ditangkap oleh Angkatan Laut Khilafah. Bahkan Amerika mengakui kelemahan dan mau membayar pajak kepada Aljazair setiap kali kapal mereka melewati perairan Khilafah Islam. Sebagaimana dinyatakan dalam US Archives: “Amerika, presiden dan pendiri, George Washington menandatangani perjanjian tanggal 1795/09/05 dengan Wali/Gubernur Aljazair, Hassan Pasha, bahwa Amerika harus membayar 12 ribu pon emas setiap tahun untuk perjalanan kapal AS dari dan ke wilayah Aljazair, dan harus membayar £ 642.000 emas, sebagai tebusan kepada kapal Amerika yang ditangkap oleh angkatan laut Negara Khilafah yang sebelum perjanjian telah di tangkap sebanyak 11 kapal Amerika untuk mengeluarkan seluruh kapal tersebut, untuk pertama kalinya selama bulan kesepuluh dan kesebelas tahun 1793…”
Namun, kemakmuran dan kehebatan Aljazair semakin pudar seiring dengan semakin melemahnya Khilafah Turki Ustmani. Di tambah dengan kekalahan telak Khilafah Turki pada masa Perang Dunia II.
Prancis menyerbu Aljazair pada tahun 1830 dan mendirikan sebuah negara protektorat di Tunis pada tahun 1881 dan di Maroko pada tahun 1912.3 Jadi sejak tahun 1830 Aljazair berada di bawah imperialisme Prancis. Selama berada di bawah jajahannya, banyak terjadi perubahan yang signifikan mengenai keadaan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Walaupun Prancis ketika datang mengklaim bahwa kedatangannya untuk membebaskan orang-orang Aljazair dari para tiran Turki, dalam kenyataannya mereka justru memiliki tujuan-tujuan tersembunyi baik dalam bidang politik, ekonomi dan imperialisme. Pengaruh Prancis terhadap kondisi Aljazair meluas pada bidang-bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik dan agama.4
Langkah-langkah imperialisme Prancis dalam rangka mengubah negeri Arab Islam Aljazair menjadi bagian wilayahnya adalah dengan cara memecah-belah rakyat Aljazair: Arab dan Barbar. Mereka beranggapan bahwa bangsa Arab adalah penganut Islam yang memegang aturan Islam dalam hal politik, sedangkan golongan Barbar adalah suku yang menjadi penduduk Prancis pada zaman purbakala.5
Dengan tindakan ini Prancis berusaha menghapuskan bahasa Arab yang telah lama digunakan masyarakat Barbar serta menghalang-halangi pendirian masjid-masjid dan lembaga-lembaga pendidikan.6
Langkah lain yang ditempuh adalah memberikan dorongan kepada warga Prancis pada khususnya dan bangsa Eropa pada umumnya agar berimigrasi ke Aljazair. Untuk menarik para imigran, mereka disediakan daerah-daerah yang subur dan strategis. Apabila daerah itu sudah ditempati warga Aljazair, maka mereka digusur dengan semena-mena dan disuruh tinggal di daerah-daerah yang gersang padang pasir.
Politik Prancis di Aljazair sejak awal diwarnai dengan tindakan pemiskinan, pembodohan, kristenisasi dan prancisisasi. Politik pemiskinan dan pembodohan ini dilakukan oleh angkatan bersenjata milik Prancis. Angkatan bersenjata ini melakukan berbagai aksi pembunuhan terhadap rakyat Aljazair yang membangkang para imperialis. Selain itu mereka membantu orang-orang Prancis sipil dan warga Eropa dalam penggusuran tanah serta jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Dengan tindakan angkatan bersenjata ini maka rakyat Aljazair menjadi miskin sehingga mereka menjadi putus asa setelah sekian lama mengadakan perlawanan.
Akibat dari keputusasaan ini pendidikan mereka juga terlantar dan berakibat pada kebodohan. Periode antara tahun 1871 hingga 1914 dipandang sebagai puncak ketertindasan Aljazair atas penjajahan Prancis. Pada periode ini Prancis menguasai semua faktor penting di Aljazair yang meliputi sektor politik, militer dan kekayaan negeri tersebut.7
Dalam rangka politik pembodohan, Prancis menghancurkan pusat-pusat pendidikan baik secara fisik maupun dengan memperlemah lembaga-lembaga tersebut. Pada masa penaklukan, Konstantin (salah satu kota besar di Aljazair) telah dikenal sebagai pusat perdagangan maupun pendidikan dengan fasilitas 35 masjid, 7 madrasah dan 90 madrasah al-Quran yang mampu menampung 1350 siswa. Pendidikan di Konstantin meliputi berbagai bidang yaitu: bahasa, retorika, logika, metafisika, teologi, hukum dan astronomi. Di daerah Tlemcen terdapat 50 buah sekolah al-Quran dan dua madrasah. Sekolah-sekolah itu telah memiliki manuskrip, namun setelah penaklukan Prancis telah dimusnahkan.8
Politik kristenisasi dilakukan oleh para misionaris dengan membawa berbagai bahan makanan, pakaian dan obat-obatan yang diberikan kepada warga Aljazair yang mau memeluk agama Kristen. Politik ini sangat mengancam keberagamaan umat Islam di Aljazair ketika itu karena akibat politik pemiskinan dan pembodohan rakyat Aljazair menjadi terjepit ekonominya. Rusaknya kondisi sosial, ekonomi yang disebabkan oleh pencabutan dan penyitaan hak milik oleh para imigran Prancis dan warga Eropa berakibat semakin memburuknya kondisi kesehatan Aljazair, ditambah lagi penderitaan para pemilik kebun yang telah diambil alih pemilikannya oleh para imigran. Setelah kehilangan kebun-kebun, mereka diperbudak untuk bekerja pada kebun-kebun mereka sendiri dengan gaji yang sangat rendah. Dengan keadaan itu semua maka kelaparan merupakan realitas di Aljazair pada masa penjajahan.
Dalam kondisi yang serba sulit inilah para missionaris Kristen Prancis bergerak melakukan aksi kristenisasi. Politik kristenisasi Prancis berhubungan erat dengan dunia pendidikan. Anak-anak orang Islam yang orangtuanya gugur dalam pertempuran melawan Prancis dieksploitasi dan dididik dalam sekolah-sekolah misionaris agar mereka memiliki kecenderungan untuk menganut agama Kristen. Para penguasa Prancis telah memusatkan sebagian besar usaha kristenisasi terhadap warga Barbar sebagai rangkaian pecah-belah antarsesama warga Aljazair.9
Langkah politik prancisisasi yang dilakukan penjajah adalah dengan penggantian bahasa Arab yang telah resmi menjadi bahasa Aljazair dengan bahasa Prancis. Prancis juga berusaha membiasakan warga untuk melakukan adat kesukuan dan melepaskan hukum Islam. Selain itu program naturalisasi juga telah dimulai oleh sebagian tokoh sekular yang menyerukan kepada warga Aljazair untuk mengambil kewarganegaraan Prancis dengan dasar agar mendapatkan hak yang lebih banyak. Tokoh yang sangat menonjol dalam gerakan asimilasi atau naturalisasi adalah Farhah ‘Abbas (lahir 1809). Ia meyakini bahwa masa depan Aljazair berada di tangan Prancis.10
Pemikiran semacam ini adalah sebagai imbas dari terlalu kuatnya cengkeraman kolonialisme Prancis yang telah masuk pada masa semua sektor.
Walau penjajahan Prancis dapat diusir, kenyataannya warisan pemikiran dan sistem sekular-demokrasi Prancis tidak ikut pergi. Aljazair merdeka dengan bentuk negara nation state, republik. Dengan bentuk ini penjajahan Barat terhadap Aljazair berubah bentuk dari yang sebelumnya fisik menjadi dalam bentuk budaya, sosial, politik, dll. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 33 – 34
2 Mulia, TSG. 1952. India Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka hlm. 30.
3 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societes, (New York : Cambridge University Press, 1991), hlm. 680.
4 Fawzia Bariun, Malik Benabi, Sosiolog Muslim Masa Kini, terj. Munir A. Mun’im (Bandung : Pustaka, 1998), hlm. 9.
5 Musthafa Muhammad Thahhan, Model Kepemimpinan dalam Amal Islami, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta : Rabbani Press, 1997), hlm. 108.
6 Muhammad Rajab al-Bayumi, An-Nahdhah al-Islamiyah fi al Mu’âshirin (Beirut : Dar al Fikr, 1980), hlm. 11.
7 Ibid, hlm. 110.
8 Fawzia Bariun, op. cit., hlm. 10.
9 Musthafa M. Thahhan, op. cit., hlm. 112.
10 John O. Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, terj. Rahman Astuti, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 204.