HTI

Fokus (Al Waie)

Di Balik Gejolak Rupiah

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali terpuruk hingga menembus angka Rp 14.200 perdolar AS pada awal perdagangan di pasar spot Senin 7 September 2015. Berdasarkan data Bloomberg, pukul 08.45 mata uang rupiah kembali melorot ke posisi 14.230 perdolar AS. Ini merupakan level terendah sejak krisis 1998 silam (Kompas.com, 7/09/2015). Sejak Jokowi dilantik rupiah terus merosot. Saat Jokowi dilantik nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada posisi Rp 12.032, sempat menguat sehari setelah pelantikan hingga menyentuh angka Rp 11.974. Namun, dalam 11 bulan Jokowi memerintah, rupiah tidak mampu menembus angka Rp 10.000 perdolar AS seperti yang diramalkan dan dijanjikan saat kampanye. Bahkan sebaliknya, nilai tukar rupiah terus mengalami penurunan hingga menembus angka psikologis di atas Rp 14.000.

Faktor Penyebab

Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan uang sebagai komoditas. Akibatnya, nilai mata uang naik-turun mengikuti hukum permintaan dan penawaran.   Pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS adalah karena permintaan atau kebutuhan akan dolar AS di dalam negeri meningkat, sementara supply-nya tetap bahkan turun. Akibatnya, nilai tukar rupiah semakin turun.

Permintaan terhadap dolar AS yang tinggi secara internal disebabkan oleh beberapa faktor.

  1. Defisit transaksi berjalan; impor lebih banyak dari ekspor.

Kondisi ini terjadi sejak tahun 2012 sampai kwartal kedua 2015. Salah satu penyumbang terbesar terjadinya defisit transaksi berjalan adalah impor yang dilakukan Pertamina untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang nilainya antara 70- 80 juta dolar AS perhari. Tentu ini ironis. Indonesia, yang dulu dikenal sebagai negara pengekspor minyak akibat liberaisasi migas, sekarang harus menjadi importir. Akibat liberalisasi perdagangan juga, serbuan barang barang impor yang masuk ke Indonesia sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Barang-barang elektronik, tekstil bahkan urusan pangan pun Indonesia sudah lama bergantung pada hasil impor. Artinya, dari sisi pangan pun kita menghadapi darurat impor karena hampir semua kebutuhan pangan sangat bergantung pada pasokan dari luar negeri. Kedelai, misalnya, 70% dihasilkan dari impor. Impor susu 90% dari kebutuhan nasional. Impor gula 40% dari kebutuhan nasional. Indonesia juga mengimpor beras, ketela pohon, daging dan sapi. Bahkan lebih ironis lagi, kebutuhan garam pun harus dipenuhi 50%-nya dari hasil impor. Padahal Indonesia adalah negara dengan pantai terpanjang di dunia, tentu bisa memproduksi garam yang melimpah sehingga sebenarnya tidak diperlukan impor. Namun, kepentingan sekelompok orang yang mengambil keuntungan dari impor atau mafia impor telah menghancurkan semua potensi yang ada.

Sebaliknya, dari sisi ekspor, komoditas barang-barang yang diekspor sangat minim nilai tambahnya karena pengusaha lebih suka mengekspor dalam bentuk bahan baku, bukan dalam bentuk barang jadi atau setengah jadi. Rotan dan hasil hutan lainnya, misalnya, diekspor langsung sehingga nilainya sangat kecil. Lebih dari itu, ekspor bahan baku mengakibatkan bangkrutnya industri dalam negeri seperti industri kecil menengah yang menggunakan bahan baku rotan. Hal yang sama juga terkait ekspor barang hasil tambang seperti tembaga, nikel dan lainnya. Bahkan upaya Pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dari produksi tambang dengan mewajibkan membangun smelter bagi perusahaan tambang begitu mudahnya diabaikan bahkan ditolak oleh perusahaan tambang seperti PT Freeport tanpa ada tindakan yang tegas. Pada saat yang sama harga jual barang-barang yang selama ini menjadi komoditas andalan untuk menghasilkan devisa seperti batubara, minyak sawit dan karet terjadi penurunan harga yang signifikan. Batubara, misalnya, turun dari Rp 1,2 juta/ton menjadi Rp 776.000/ton, Minyak sawit turun dari Rp 11.000 perkg menjadi Rp 8 ribu. Karet turun dari Rp 57.000 menjadi Rp 16.000. Inilah penyebab terjadinya defisit neraca perdagangan atau transaksi berjalan. Indonesia sejak 2012 mengalami defist perdagangan sebesar 24.4 miliar US$. Tahun 2013 defisit naik sebesar 63,1 miliar US$. Tahun 2014 defisit sebesar 25,5 miliar US$. Sampai kuartal kedua 2015 kita masih mengalami defisit transaksi berjalan sebesar Rp. 4,47 miliar US$.

  1. Capital outflow.

Maknanya adalah meningkatnya aliran keluar modal asing dari dalam negeri terutama yang berasal dari pasar saham dan dana obligasi. Ini terlihat dengan menurunnya IHSG secara tajam sebesar 172,22 poin (3,97 persen) ke level 4.163,73 per 23 Agustus, bahkan sempat menyentuh posisi terendah pada level 4.111,11, Turunnya IHSG salah satunya disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak kuartal 1 yang diperkirakan hanya tumbuh antara 4,75–4,9%. Sebaliknya, di luar negeri seperti Amerika Serikat diisukan perekonomiannya mulai pulih dan membaik. Karena itulah investor ingin mengamankan portofolio investasinya. Mereka lalu lebih memilih mengalihkan aset-aset mereka ke aset-aset berdenominasi dolar.

  1. Politik anggaran negara (APBN) yang bergantung pada utang luar.

Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada akhir triwulan II-2015 tercatat sebesar US$ 304,3 miliar; terdiri dari Utang Luar Negeri sektor publik sebesar US$ 134,6 miliar (44,2% dari total Utang Luar Negeri) dan Utang Luar Negeri sektor swasta sebesar US$ 169,7 miliar (55,8% dari total Utang Luar Negeri). Sebagian besar utang luar negeri tersebut, yakni sekitar   US$ 217,123 miliar, mesti dibayarkan dalam bentuk dolar AS. Posisi utang ini semakin menambah kebutuhan atau permintaan terhadap dolar.

  1. Kehati-hatian Bank Indonesia dalam melakukan intervensi valas.

Penurunan mata uang sejumlah negara terhadap dolar AS membuat beberapa negara melakukan intervensi valas ke pasar secara besar-besaran seperti yang dilakukan oleh Bank Sentral Rusia. Bank Sentral Rusia menguras cadangan devisanya dengan membeli dolar sampai US$ 68,4 millar. Sebaliknya, Bank Indonesia menahan diri dari intervensi valas sehingga cadangan devisa tak terganggu bahkan mengalami kenaikan. Akibatnya, rupiah terus melemah. Bahkan Gubernur Bank Indonesia mengatakan rupiah melemah tidak perlu dikhawatirkan. Alasannya, karena dolar AS cenderung menguat terhadap semua nilai mata uang sebagai pengaruh dari ekonomi AS yang menguat.

Faktor Luar

Adapun secara ekternal, faktor yang membuat permintaan terhadap dolar tinggi sehingga membuat pelemahan nilai rupiah adalah:

1          Kebijakan devaluasi yuan.

Dalam kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu tiba-tiba Bank Sentral Tiongkok (People’s Bank of China–PBC) melakukan devaluasi Yuan terhadap dolar sehingga mengguncang pasar valuta asing dunia dengan meningkatkan permintaan terhadap dolar. Langkah dramatis itu mengejutkan pasar dan menyebabkan gelombang penjualan di bursa saham Amerika Serikat dan Eropa serta di banyak bursa komoditas. Efek domino dari devaluasi Yuan telah membuat penguatan nilai tukar dolar AS sehingga membuat banyak mata uang negara di Asia melemah, termasuk rupiah. Depresiasi rupiah sekarang sudah mencapai 10% dari posisi awal tahun 2015. Pelemahan juga dialami oleh mata uang negara-negara di Asia lainnya, seperti Ringgit Malaysia yang melemah 13,3%; kemudian peringkat ketiga, Won Korea Selatan, melemah 7,9%; Baht Thailand melemah sebesar 7,4%; dan Yen Jepang melemah 4,8%. Selain di kawasan Asia, sejumlah mata uang lainnya juga melemah seperti Euro (8,9%), Real Brasil melemah 29,4% dan dolar Australia melemah 10,6% (Sumber: www.neraca.co.id).

  1. Isu keberhasilan pemulihan ekonomi Amerika.

Ketika Amerika Serikat dihadapkan pada krisis ekonomi tahun 2008, pemerintahannya melalui FED atau Bank Sentral Amerika melakukan pencetakan dolar untuk membeli obligasi. Akibatnya, dolar mengalir ke pasar modal di beberapa negara termasuk Indonesia. Akibat lanjutannya, jumlah dolar yang beredar di pasar modal bertambah yang menyebabkan penguatan mata uang dunia termasuk rupiah terhadap dolar. Mulai tahun 2013 kondisi ekonomi Amerika Serikat diperkirakan membaik. FED atau Bank Sentral Amerika saat itu merencanakan menaikkan suku bunga FED dan melakukan penjualan obligasi untuk menarik dana dari pasar modal yang ada di dunia. Kondisi ini menyebabkan sebagian dolar kembali ke Amerika. Akhirnya, suplai dolar AS berkurang. Sejak itu mulailah mata uang global, termasuk rupiah, mulai melemah terhadap dolar.

Dampak Penurunan Rupiah

Terpuruknya nilai rupiah akan berimbas pada semua kalangan baik pengusaha, investor, pelaku industri dan kebijakan negara. Pada akhirnya rakyat kecil yang paling menderita akibat penurunan nilai rupiah. Dampak yang akan muncul di antaranya adalah mahalnya barang-barang yang mengandung komponen impor. Di Indonesia, banyak industri yang masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri, termasuk industri kecil-menengah seperti tempe dan tahu. Kondisi ini akan membuat pelaku usaha pusing karena membeli bahan baku dengan mata uang dolar, tetapi dalam penjualannya menggunakan mata uang rupiah. Menaikkan harga jual sulit dilakukan sebab daya beli masyarakat juga melemah. Karena itulah terjadilah gelombang PHK.           Industri tekstil adalah salah satu sektor yang terpukul cukup keras. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, mengatakan bahwa akibat depresiasi rupiah belakangan ini, sebanyak 18 perusahaan industri tekstil tutup. Sampai akhir Agustus lalu, dari data yang dihimpun Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja terkena PHK yang merupakan imbas melemahnya rupiah sudah mencapai 26.506 orang.

Pelemahan nilai rupiah juga akan meningkatkan beban anggaran negara. Pada APBN Perubahan (APBN-P) 2015 rupiah dipatok 12.500 perdolar AS, Pemerintah pernah membuat simulasi, setiap rupiah terdepresiasi sebesar 100 rupiah perdolar AS, beban tambahan kewajiban utang akan bertambah sebesar Rp 4,9 triliun. Jika sekarang  sudah melemah dengan selisih sekitar 1.800, maka tambahan kewajiban utang  adalah 18 dikalikan 4,9 triliun, berarti kewajiban utang bertambah sebesar Rp 88,2 triliun rupiah.  Inilah angka kerugian yang harus ditanggung Pemerintah, yaitu peningkatan jumlah utang yang harus dibayar tanpa sedikitpun yang bisa dinikmati. Adapun target penerimaan pajak dipastikan akan menurun karena banyak pabrik yang gulur tikar dan karyawan yang di PHK. Kondisi ini akan semakin mempersulit pengelolaan keuangan negara.

Pelemahan nilai rupiah pada akhirnya akan menambah jumlah orang miskin baru. Pasalnya, harga-harga barang termasuk harga sembako akan mengalami kenaikan, sementara penghasilan tetap atau berkurang. Bahkan ratusan ribu orang tidak memilik lagi sumber penghasilan sama sekali karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Peningkatan jumlah penganggurann dan angka kemiskinan biasanya akan meningkatkan angka kriminalitas dan problem sosial lainnya.

Penutup

Krisis moneter yang terus berulang bahkan dengan putaran waktu yang lebih singkat menunjukkan sistem moneter dan sistem ekonomi yang diterapkan perlu dirombak total dengan menghilangkan penyebab terjadinya krisis. Penurunan daya beli masyarakat, pelemahan rupiah, inflasi, defisit neraca pembayaran, pelarian modal ke luar negeri atau turunnya indeks harga gabungan sebenarnya bukan penyebab krisis, tetapi hanya sekedar pemicu krisis moneter. Karena itulah solusi pragmatis seperti kewajiban transaksi dalam negeri dengan rupiah atau pembatasaan penggunaan dolar, intervensi pasar valas yang dilakukan Bank Indonesia bahkan dorongan untuk meningkatkan ekspor tidak akan pernah menyelesaikan masalah secara tuntas.

Satu-satunya cara untuk menyelesaikan krisis moneter dan krisis ekonomi secara tuntas adalah dengan menghilangkan penyebab utamanya atau faktor internal substansial yang menyebabkan terjadinya krisis, yaitu sistem ekonomi kapitalis atau neoliberalisme dan neoimperialisme yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan kaum Muslim.

Karena itu jangan biarkan Indonesia dan dunia terus menerus menjadi korban kejahatan neoliberlisme dan neoimperialisme. Saatnya semua komponen umat bersatu untuk menumbangkan sistem yang rusak dan merusak tersebut dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan di bawah naungan Khilafah ar-Rasyidah. WalLahu’alam. [Dr. Arim Nasim, (Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*