Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal asy-Syaibani. Biasa disebut Imam Ahmad atau Imam Hambali. Beliau lahir di Kota Baghdad pada Rabi’ul Awwal tahun 164 H (780 M), pada masa Khalifah Muhammad al-Mahdi dari Bani Abbasiyyah.
Sejak kecil Imam Hambali yatim dan miskin. Namun, berkat bimbingan ibunya yang shalihah beliau mampu menjadi orang yang amat mencintai ilmu, kebaikan dan kebenaran.
Imam Hambali termasuk ulama yang sangat kuat tekadnya dalam menuntut ilmu, sejak masa kanak-kanak. Ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibn al-Jauzi, “Imam Ahmad bin Hanbal tak menikah hingga umur 40 tahun. Ini karena begi-tu kuatnya tekad dan kesungguhan Ahmad bin Hanbal (dalam menuntut ilmu, pen.).” (Abu al-‘Ala Muhammad bin Husain bin Ya’qub as-Salafi al-Mishri, Munthaliqat Thalib al-‘Ilmi, I/146).
Imam Hambali adalah orang yang tak pernah menyia-nyiakan waktu, meski untuk sekadar menghibur diri, seperti tamasya/rekreasi. Terkait ini, beliau berkata, “Tamasya (rekreasi) itu bukan bagian dari Islam; juga bukan bagian dari aktivitas para nabi dan orang-orang shalih. Karena itu seorang murid hendaknya tidak melakukan safar kecuali untuk menuntut ilmu dan menyaksikan kehidupan para ulama agar ia bisa mencontoh perjalanan hidup mereka (Najmuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, I/121).
Ucapan di atas beliau buktikan sendiri. Sejak masih belia, beliau telah berkelana ke berbagai negeri dan penjuru dunia untuk menuntut ilmu. Beliau berlajar hadis dari banyak ulama besar saat itu (Al-Bidayah wa an-Nihayah, XIV/381-383. Lihat pula: Manaqib Imam Ahmad, hlm. 46).
Meski dalam suasana serba kekurangan, safar dalam rangka menuntut ilmu tak pernah surut. Bahkan sekalipun beliau sudah menjadi imam besar, ‘pekerjaan’ menuntut ilmu dan mendatangi guru-guru yang lebih alim tak pernah berhenti.
Tidak aneh, Imam Ahmad memiliki ilmu yang sangat luas. Dalam penguasaan hadis saja, sebagaimana diakui oleh Abu Zur’ah, “Imam Ahmad bin Hanbal hapal satu juta hadis.” Ketinggian keilmuan beliau juga diungkapkan oleh Ahmad bin Said ar-Razi (Lihat: Manaqib Imam Ahmad, hlm. 90).
Ahmad bin Hanbal menulis kitab masterpiece-nya, Al-Musnad al-Kabir. Kitab ini berisi lebih dari 27.000 hadis. Karya-karya beliau yang lain antara lain: At-Tafsir, An-Nasikh wa al-Mansukh, At-Tarikh, Hadits Syu’bah, Al-Muqaddam wa al-Mu’akkhar fi al-Qur’an, Jawabah al-Qur’an, Al-Manasik al-Kabir dan Al-Manasik as-Saghir.
Menurut Imam Nadim, beliau juga menulis beberapa kitab lain seperti: Al-’Ilal, Az-Zuhd, Al-Iman, Al-Masa’il, Al-Asyribah, Al-Fadha’il, Tha’ah ar-Rasul, Al-Fara’idh, Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah, dll.
Sebagai murid, Imam Hambali begitu hormat dan sayang kepada para gurunya. Beliau, misalnya, selalu mendoakan salah satu gurunya, Imam Syafii, sebagaimana pengakuan beliau, “Tidaklah aku menunaikan shalat selama 40 tahun kecuali di dalamnya aku selalu mendoakan Imam Syafii.” (Khalid bin Jum’ah bin Utsman al-Kharaz, Mawsu’ah al-Akhlaq, I/329).
Imam Hambali juga termasuk guru yang amat keras dalam mendidik murid-muridnya. Jika beliau melihat ada muridnya tak melakukan shalat malam, ia akan berhenti mengajar murid tersebut. Dikisahkan, suatu saat Abu ‘Ismah bermalam di rumahnya. Imam Ahmad kemudian menaruh air untuk wudhu di sisinya. Menjelang subuh, Imam Ahmad menghampiri Abu ‘Ismah. Ternyata dia masih tidur, sementara air wudhu di samping dia tetap seperti semula keadaannya. Imam Ahmad lalu membangunkan dia. Saat dia bangun, Imam Ahmad bertanya, “Abu ‘Ishmah, untuk apa engkau datang kemari?” Ia menjawab, “Saya datang ke sini untuk berlajar hadis.” Imam Ahmad berkata lagi, “Bagaimana engkau mau berlajar hadis, sementara engkau tak terbiasa melakukan shalat tahajud? Pergi saja engkau kemana pun engkau mau!” (Abu al-‘Ala Muhammad bin Husain bin Ya’qub as-Salafi al-Mishri, Munthaliqat Thalib al-‘Ilmi, I/176).
Selain keilmuannya yang sangat luas, Imam Hambali juga ulama yang sangat zuhud dan wara’. Tentang ini Abu Ja’far berkata, “Ahmad bin Hanbal adalah manusia yang sangat pemalu, sangat mulia serta sangat baik pergaulan dan adabnya.”
Begitu zuhudnya, Imam Hambali biasa memakai peci yang dijahit sendiri. Ia sering keluar ke tempat kerja membawa kapak untuk bekerja dengan tangannya sendiri.
Tentang zuhud, Imam Hambali berkata, “Zuhud itu ada tiga jenis. Pertama: Meninggalkan keharaman. Ini adalah zuhud orang awam. Kedua: Meninggalkan perkara mubah yang berlebihan (tak bermanfaat, pen.). Ini adalah zuhud orang istimewa. Ketiga: Meninggalkan perkara yang menyibukkan dari upaya mengingat Allah SWT. Ini adalah zuhud orang arif (yang makrifat kepada Allah SWT, pen.).” (Madarik as-Salikin, II/14).
Begitu wara’-nya Imam Hambali, sebagai-mana diriwayatkan oleh Abu Ismail at-Tirmidzi, “Pernah datang seseorang membawa uang sebanyak 10 ribu dirham (sekitar Rp 700 juta) untuk beliau, namun beliau menolaknya.” Ada juga yang mengatakan, “Pernah ada seseorang memberi beliau 500 dinar (lebih dari Rp 1 miliar), namun beliau tak mau menerimanya.”
Imam Hambali juga terkenal karena ke-tawadhu’-annya. Beliau, misalnya, pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memuji beliau, “Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan atas jasa Anda kepada Islam.” Beliau berkata, “Jangan berkata begitu, tetapi katakanlah, ‘Semoga Allah membalas kebaikan Islam atas jasanya kepadaku.’ Memangnya siapa saya dan apa (jasa) saya?!”
Sebagai ulama besar, Imam Hambali tentu tak hanya berkutat dengan ilmu, tetapi juga dengan amal, termasuk amal dakwah. Beliau termasuk orang yang tak akan pernah merasa tenang menyaksikan kemungkaran dan ketidakadilan meski hal itu mungkin dianggap sepele oleh kebanyakan orang. Terkait ini, Harun bin Abdillah Al-Hammal pernah berkisah: Ahmad bin Hanbal pernah mendatangi aku malam-malam. Saat itu aku bertanya, “Apa keperluan Anda datang kemari?” Ahmad bin Hanbal menjawab, “Seharian ini hatiku risau.” Aku bertanya, “Mengapa, wahai Abu Abdullah?” Ahmad bin Hanbal menjawab, “Tadi saya melewati Anda. Saat itu Anda sedang duduk sambil berbicara dengan orang-orang, sementara mereka berdiri. Anda duduk di tempat yang teduh, sementara orang-orang berdiri disengat sinar matahari. Anda saat itu memegang pensil dan daftar. Tolong, jangan pernah lakukan itu lagi. Jika Anda duduk, maka suruh pula orang-orang untuk duduk.” (Abu al-‘Ala Muhammad bin Husain bin Ya’qub as-Salafi al-Mishri, Al-Akhawah Ayuha al-Ikhwah, I/158).
Imam Hambali wafat hari Jumat, 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241 H, dalam usia 80 tahun. Banyak sekali orang yang turut mengantar jenazah beliau; ada yang mengatakan lebih dari satu juta lebih orang. SubhanalLah! [Arief B. Iskandar]