Dingin, membeku, wajah pucat pasi, dengan posisi badan telungkup seperti tertidur tenang. Aylan Kurdi terdampar di pantai Turki. Upaya orangtuanya untuk menyelamatkan dari keganasan laut Mediterania gagal. Tak hanya Aylan, saudaranya dan ibunya turut menjadi korban. Foto Aylan menjadi headline di berbagai media massa.
Dunia pun guncang. Foto tubuh kecil itu menjadi penggugat nurani kemanusiaan negara-negara Barat, menjadi pemukul hati beku ketidakpedulian para penguasa negeri Islam, menjadi saksi kekejaman rezim bengis Bashar Assad dan menjadi pisau yang mengiris hati 1,5 miliar kaum Muslim. Demikianlah lemahkah kita sehingga tidak bisa menyelamatkan Aylan Kurdi?
0Aylan Kurdi tak sendiri. Sebelumnya tujuh puluh pengungsi yang diperkirakan dari Suriah itu terdiri dari 59 orang laki-laki, delapan wanita dan termasuk empat orang anak. Mereka meninggal diduga karena sesak napas di dalam sebuah truk.
Yang menyedihkan, truk itu dibiarkan begitu saja di jalan tol. Para pengungsi ini meninggal di dalam kendaraan pendingin yang dirancang untuk membawa makanan beku. Mayat-mayat itu dikemas dengan begitu ketat dan membusuk sehingga polisi pada awalnya tidak dapat menghitungnya secara akurat. Truk itu ditemukan di dekat perbatasan timur Austria dengan Hungaria.
Hal ini menunjukkan betapa berbahaya perjalanan para pengungsi lewat Eropa timur dan tenggara setelah mereka berhasil menyeberangi Laut Tengah. Tahun ini saja lebih dari 2.300 orang pria, wanita dan anak-anak telah tenggelam di Laut Tengah setelah kapal bobrok yang disediakan penyelundup manusia karam.
Ratusan ribu pengungsi dari kawasan krisis seperti Suriah, Afganistan, Pakistan atau Eritrea berbondong menuju Eropa untuk memohon perlindungan. Tak semua berhasil mencapai Tanah Eropa. Ribuan meregang nyawa tenggelam di Laut Tengah atau ketika berusaha mencapai perbatasan darat Eropa.
Para pengungsi yang sebagian besar dari negeri Muslim ini bukan hanya menempuh perjalanan yang berbahaya. Mereka juga kerap mendapatkan perlakuan yang buruk dari dari negara-negara yang mereka lewati, baik aparat maupun penduduknya.
Di Serbia mereka ditangkap polisi dan diperintahkan meninggalkan negara itu dalam waktu 72 tahun. Saat memohon untuk dilepaskan, Pasha ditampar. “Sangat memalukan. Saya ingat kelakuan mereka sama seperti tentara Suriah,” kenang Pasha.
Pemerintah Hungaria punya kebijakan, yang diadopsi oleh para warganya, bahwa pengungsi tidak diterima di negara ini. Ada papan iklan besar di negara itu, bertuliskan: “Jika kalian datang ke Hungaria, jangan mencuri pekerjaan warga.”
Kebijakan ini mendorong warga Hungaria bertindak kasar terhadap pengungsi, mengusir mereka dan melempari mereka dengan batu. Pasha dan rombongannya sempat tersesat di hutan Hungaria selama dua hari tanpa air dan makanan. Tidur pun beralaskan tanah. Di tengah kegelapan malam hutan, tidak ada yang berani menyalakan api atau senter, khawatir tertangkap. Mereka berhasil keluar dari hutan tersebut, namun tertangkap polisi di Kota Szeged.
Salah Siapa?
Meledaknya jumlah pengungsi menuju Eropa sebagian besar akibat konflik yang terjadi di negeri mereka. Hingga Juni 2014, jumlah pengungsi paling banyak berasal dari Afganistan, Suriah dan Somalia. Jika disatukan, jumlah pengungsi dari tiga negara itu lebih dari 50% jumlah pengungsi di seluruh dunia.
Kalau ditanya, salah siapa? Tentu penyebab konflik yang mendorong mengalirnya pengungsilah yang paling bertanggung jawab. Itu berarti negara-negara Barat dengan kebijakan kolonialismenya. Penjajahan Barat di Afganistan, yang menyebabkan konflik yang berkepanjangan, telah menyebabkan derita penduduk negeri itu.
Kegagalan Kapitalisme global untuk mensejahterakan rakyat Afrika terutama daerah-daerah miskin seperti Somalia, Ethopia dan Eritrea telah mendorong mereka mencari penghidupan yang lebih layak. Kebijakan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang melakukan pembiaran dan dukungan tersembunyi terhadap rezim Bashar menyebabkan konflik Suriah berlarut-larut hingga kini. Secara umum, kebijakan Barat yang mengulur-ulur waktu untuk mempertahankan Bashar, akibat belum adanya pengganti yang pro Amerika, telah memperpanjang kebrutalan Bashar Assad.
Bashar Assad tahu persis politik bumi hangus yang dilakukan rezimnya tak akan direspon Barat dengan serius hingga membuat kekuasannya jatuh. Inilah yang membuat Bashar demikian berani dengan tindakan brutalnya.
Bashar juga tahu, para penguasa negeri Islam lainnya seperti Saudi, Negara Teluk, Mesir dan Turki tidak benar-benar serius untuk menjatuhkannya. Bashar tahu, para penguasa itu hanya beretorika. Bashar paham, negara-negara Barat tidak menyoal secara serius kehadiran pasukan Iran dan partai pendukungnya dari Libanon, bantuan Rusia. Alasannya untuk mempertahankan rezim Assad.
Politik bumi hangus Assad juga diam-diam dibiarkan oleh negara-negara Barat, berharap timbul keputusasan di tengah-tengah rakyat Suriah. Pada akhirnya, rakyat Suriah akan frustasi dan berujung pada dukungan kebijakan-kebijakan Amerika Serikat di Suriah, sekaligus menyalahkan kelompok-kelompok Mujahidin yang selama ini mereka dukung.
Mengapa Memilih Eropa?
Meledaknya pengungsi wilayah konflik ke Eropa menimbulkan pertanyaan, mengapa mereka memilih Eropa? Para pengungi tentu paham, lari ke Eropa bukanlah pilihan yang terbaik. Mereka tahu konsekuensi kematian dalam perjalanan panjang menuju Eropa. Belum lagi kebijakan negara-negara Eropa yang tarik ulur terkait pengungsi. Ditambah perlakuan brutal negara-negara eks komunis seperti Hongaria dan Serbia terhadap pengungsi Muslim.
Mereka tentu paham, saat ini di Eropa menguat islamophobia dan xenophobia (anti orang asing). Kondisi ini membuat Muslim di Eropa harus berhadapan dengan berbagai penghinaan, pelecahan hingga tindakan kekerasan. Belum lagi kebijakan beberapa Negara, seperti Prancis, yang menganggap ketaatan pada hukum Allah SWT seperti menutup aurat (berhijab), berjenggot dan shalat berjamaah sebagai ancaman terhadap sekularisme. Kebijakan preventif Inggris juga menargetkan umat Islam atas nama mencegah terorisme.
Masalahnya, mereka tidak punya pilihan lain. Kamp-kamp pengungsi di Turki, Libanon, Mesir dan Sudan, jauh dari kelayakan. Mereka juga tidak tahu sampai kapan hidup di kamp-kamp pengungsi. Padahal tentu saja sebagai manusia mereka ingin hidup normal layaknya manusia yang lain.
Kebijakan negara-negara Teluk yang kaya-raya seperti Saudi, Kuwait dan Qatar juga dianggap tidak bersahabat menerima pengungsi. Amira Fathalla menulis dalam BBC Monitoring (2/9), mengapa pengungsi tidak memilih negara-negara Teluk. Menurut dia, secara resmi, Suriah dapat mengajukan permohonan visa turis atau izin kerja untuk masuk ke negara-negara Teluk. Namun, proses itu mahal. Apalagi ada persepsi yang luas bahwa banyak negara Teluk memiliki batasan yang tidak tertulis yang menyulitkan bagi penduduk Suriah untuk mendapatkan visa dalam praktiknya. Kebanyakan kasus yang berhasil adalah orang-orang Suriah yang sudah ada di negara-negara Teluk dan memperpanjang tinggal mereka, atau mereka yang memasuki negara-negara itu karena mereka memiliki keluarga di sana.
Saudi sendiri membantah tidak memberikan bantuan dan penampungan bagi pengungsi Suriah. Pejabat Kementrian Luar Negeri Saudi mengatakan telah menerima hampir 2,5 juta warga Suriah sejak tahun 2011. Negara itu telah menyediakan dana US$ 700 Juta dalam bentuk bantuan kemanusiaan.
Hentikan Sumber Masalahnya!
Persoalan pengungsi Suriah bukanlah semata bagaimana mengurus mereka dengan baik. Yang terpenting adalah menghentikan akar persoalannya, yaitu keberadaan para penguasa negeri Islam yang represif yang menjadi kaki tangan kepentingan penjajahan Barat, termasuk menghentikan berbagai bentuk intervensi negara-negara imperialis Barat yang rakus di Dunia Islam.
Di sinilah relevansi perjuangan global umat Islam menegakkan Khilafah. Negara adidaya ini akan mengenyahkan para penguasa bengis di Dunia Islam serta menghentikan penjajahan Barat secara nyata. Khilafah akan menjadi pengurus dan pelindung umat Islam.
Dipastikan, para pengungsi akan berbondong-bondong menuju negara Khilafah yang melindungi dan mengurus mereka dengan baik. Negara Khilafah juga akan bergerak untuk menghentikan kezaliman para penguasa yang menzalimi umat Islam.
Sekali lagi, masalah pengungsi tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyumbangkan uang, atau menciptakan kegaduhan di media sosial. Bukan itu. Diperlukan upaya bersama untuk membangun kembali Khilafah yang berjalan di atas jalan kenabian. Semua Muslim yang telah tersentuh oleh tragedi ini harus menyadari bahwa tidak ada jalan pintas untuk menghentikan bencana ini dan yang bencana lain, kecuali bekerja tanpa lelah untuk men-dirikan kembali otoritas bagi Dinul Islam lagi.
Semoga Allah SWT membantu kita membawa pada Khilafah yang tegak di atas jalan kenabian yang akan mengerahkan segala sumberdaya apapun untuk melindungi dan menghormati umat Islam. Amin! [Farid Wadjdi]