(Tafsir QS al-Infithar [82]: 9-12)
كَلَّا بَلۡ تُكَذِّبُونَ بِٱلدِّينِ، وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَٰفِظِينَ, كِرَامٗا كَٰتِبِينَ, يَعۡلَمُونَ مَا تَفۡعَلُونَ
Bukan hanya durhaka, bahkan kalian mendustakan Hari Pembalasan. Padahal sesungguhnya bagi kalian ada para malaikat yang mengawasi (pekerjaan kalian); yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaan kalian itu). Mereka mengetahui apa saja yang kalian kerjakan (QS al-Infithar [82]: 9-12).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kallâ bal tukadzdzibûna bi ad-dîn (Bukan hanya durhaka, bahkan kalian mendustakan Hari Pembalasan). Kata kallâ di sini bisa bermakna haqq[an] (sungguh),1 yakni membenarkan kalimat yang akan dikatakan; bisa juga berarti: urusannya tidak seperti yang mereka katakan bahwa kalian dibenarkan menyembah selain Allah SWT.
Kesimpulan ini ditunjukkan oleh firman Allah SWT dalam ayat sebelumnya: Mâ gharraka bi Rabbika al-Karîm (Apakah yang telah memperdayakan kamu [durhaka] terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah).2
Ibnu Jarir al-Thabari juga memaknai kata tersebut dengan ungkapan, “Urusannya tidak seperti yang kalian katakan, wahai orang-orang kafir, bahwa kalian berada dalam kebenaran dalam penyembahan kepada selain Allah SWT. Akan tetapi, karena kalian mendustakan pahala dan dosa serta pembalasan.”3
Adapun kata bal di sini berguna untuk menafikan frasa sebelumnya dan memastikan yang lainnya.4 Dalam ayat sebelumnya terdapat celaan dan peringatan keras kepada manusia yang terpedaya sehingga berbuat durhaka kepada Tuhan mereka Yang Maha Pemurah. Tuhan mereka inilah yang menciptakan, menyempurnakan kejadian mereka, dan menjadikan tubuhnya seimbang. Semestinya mereka mensyukuri semua kenikmatan tersebut dengan beriman dan taat kepada Allah SWT. Namun, itu tidak mereka lakukan.
Kemudian disebutkan tukadzdzibûna bi ad-dîn (kalian mendustakan Hari Pembalasan). Dalam ayat ini khithâb-nya bersifat umum. Akan tetapi, maknanya khusus hanya untuk orang-orang kafir.5 Faktanya, tidak semua orang mendustakan ad-dîn. Ada sebagian yang meyakini dan mengimani Hari Pembalasan, ada pula yang mengingkari dan mendustakan Hari Pembalasan. Mereka yang mendustakan itu adalah orang-orang kafir.
Tentang makna ad-dîn dalam ayat ini, sebagian besar mufassir memaknainya sebagai adalah Hari Kiamat, yakni Hari Perhitungan dan Hari Pembalasan. Imam al-Qurthubi berkata, “Yakni al-hisâb (perhitungan).”6 Al-Khazin juga berkata, “Yawm al-hisâb wa al-jazâ` (Hari Perhitungan dan Pembalasan).”7 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid dan Qatadah.8
Ada juga yang menafsirkan kata itu sebagai Al-Islam. Az-Zamakhsyari, ketika menafsirkan ad-dîn, berkata, “Makna asalnya adalah al-jazâ` (pembalasan); bisa juga bermakna Dîn al-Islâm.9
Ibnu Athiyah juga berkata, “Ad-Dîn di sini bisa bermakna asy-syar’ (syariah), bisa juga bermakna al-jazâ` wa al-hisâb (pembalasan dan perhitungan).”10
Al-Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan ad-dîn adalah pembalasan atau Islam.”11
Fakhruddin ar-Razi berkata: Penafsiran al-dîn sebagai al-Islam artinya: Sesungguhnya kalian mendustakan pembalasan atas ad-dîn wa al-Islâm. Adapun penafsiran ad-dîn sebagai al-hisâb artinya: Sesungguhnya kalian mendustkan yawm al-hisâb (hari Pembalasan).12
Jika ayat ini dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya, ayat ini memberikan penjelasan tentang penyebab adanya sebagian manusia yang terpedaya sehingga berbuat durhaka kepada Allah SWT, bahwa itu terjadi karena mereka mendustakan dan mengingkari Hari Kiamat. Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya yang membuat kalian berani melawan dan menantang Zat Yang Maha Pemurah dengan mengerjakan perbuatan maksiat adalah pengingkaran dalam hati kalian terhadap Hari Kebangkitan, Pembalasan dan Perhitungan.”13
Al-Baidhawi juga berkata, “Ini merupakan idhrâb (kalimat yang mengalihkan dari kalimat sebelumnya) ke penjelasan tentang sebab yang pokok keterpedayaan mereka.”14
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa inna ‘alaykum lahâfizhîn (Padahal sesungguhnya bagi kalian ada [para malaikat] yang mengawasi [pekerjaan kalian]). Ayat ini seolah menegaskan tentang kesalahan besar mereka. Bagaimana mungkin mereka mendustakan Hari Kiamat, sementara pada diri mereka ada hâfizhîn (penjaga, pengawas). Menurut az-Zamaksyari, ini memastikan adanya balasan yang mereka dustakan. Artinya, “Sesungguhnya kalian mendustakan pembalasan, sementara para pencatat (malaikat, pen.) mencatat semua amal perbuatan kalian untuk diberikan balasan.”15
Yang dimaksud dengan hâfizhîn itu adalah para malaikat. Demikian penjelasan para mufassir seperti al-Qurthubi, al-Khazin, Ibnu Katsir, as-Sa’di dan lain-lain.16
Para malaikat itu disebut hâfizhîn karena mereka memang ditugaskan untuk mengawasi perbuatan manusia. Penyebutan malaikat sebagai hafazhah, bentuk jamak dari kata hâfizh, ada dalam firman-Nya:
وَهُوَ ٱلۡقَاهِرُ فَوۡقَ عِبَادِهِۦۖ وَيُرۡسِلُ عَلَيۡكُمۡ حَفَظَةً
Dialah Yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya dan Dia mengutus kepada kalian para malaikat penjaga (QS al-An’am [6]: 61).
Kemudian Allah SWT menyebut sifat lain dari para malaikat tersebut dengan firman-Nya: Kirâm[an[ kâtibîn] (Yang mulia [di sisi Allah] dan mencatat [pekerjaan-pekerjaan kalian itu]). Mereka digambarkan sebagai makhluk kirâm. Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kata karîm (yang mulia). Yang dimaksud mulia di sini adalah mulia di sisi Allah SWT. Demikian penjelasan Ibnu Jarir ath-Thabari.17
Tentang kemulian malaikat juga diberitakan dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat: QS Abasa [80]: 16; QS al-Anbiya‘ [21]: 26).
Selain itu mereka juga kâtibîn (pencatat). Artinya, mereka menulis perkataan dan perbuatan kalian. Demikian penjelasan al-Khazin.18
Ibnu Katsir berkata, “Karena sesungguhnya mereka mencatat atas kalian semua amal perbuatan kalian.”19
Mengenai tugas malaikat mencatat amal perbuatan manusia juga diberitakan dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat: QS az-Zukhruf [43]: 80).
Kemudian Allah SWT berfirman: Ya’lamûna mâ taf’alûna (Mereka mengetahui apa saja yang kalian kerjakan). Artinya, para malaikat pengawas itu mengetahui apa saja yang kalian kerjakan, yang baik maupun yang buruk. Mereka mencatat semuanya.20 Malaikat tersebut senantiasa berada di sisi mereka, di kanan dan di kiri mereka, sehingga mengetahui semua perbuatan dan perkataan manusia (Lihat juga: QS Qaf [50]: 17-18).
Beberapa Pelajaran Penting
Banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat ini. Di antaranya adalah: Pertama, penyebab manusia terpedaya sehingga berbuat durhaka terhadap Tuhannya. Penyebabnya tak lain adalah pengingkaran terhadap keberadaan Hari Pembalasan. Ini dapat dipahami dari ayat ini: Kallâ bal tukadzdzibûn bi ad-dîn. Menurut para mufassir, ayat ini memberikan penjelasan tentang pangkal penyebab manusia terpedaya.
Ketika seseorang mendustakan Hari Pembalasan, jelas akan sangat mudah mengerjakan kemaksiatan dan kemungkaran. Jika tidak beriman terhadap dosa dan neraka, lantas apa yang membuat seseorang takut berbuat jahat dan durhaka kepada Tuhannya? Jika mendustakan pahala dan surga, lalu apa yang dapat membuat seseorang terdorong mengerjakan shalat, puasa, haji dan berbagai amal shalih lainnya? Jelas tidak ada. Oleh karena itu, orang yang mengingkari Hari Pembalasan dipastikan akan terpedaya dengan kehidupan dunia dan mudah berbuat durhaka terhadap Tuhannya.
Kedua, ayat ini memastikan kejadian yawm al-ajzâ‘ atau Hari Pembalasan itu. Jika ada sebagian orang mengingkari dan mendustakan Hari Pembalasan, ayat ini justru memastikan akan kedatangan Hari Pembalasan. Sebagai pembalasan, ketika itu manusia benar-benar diberikan balasan atas semua perbuatan yang dilakukan. Dipastikan tidak ada seorang yang terzalimi dan diperlakukan tidak adil (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 281).
Dengan demikian, balasan yang diberikan kepada manusia didasarkan pada perbuatan yang mereka lakukan. Maka dari itu, semua amal perbuatan yang dikejakan manusia pun dicatat. Tidak ada yang terlewat sedikit pun. Baik yang kecil maupun yang besar, semuanya dicatat (Lihat: QS al-Kahfi [18]: 49). Untuk itu, Allah SWT menugasi malaikat yang secara khusus mencatat perbuatan mereka. Menjelaskan ayat ini, az-Zamakhsyari berkata, “Ayat ini memastikan adanya pembalasan yang mereka dustakan. Artinya, sesungguhnya kalian mendustakan adanya pembalasan, padahal penulis (malaikat, pen.) sedang menulis semua amal perbuatan kalian agar kalian dibalas dengan perbuatan tersebut.”21
Dengan demikian, ketika seseorang dimasukkan ke dalam neraka, sesungguhnya itu merupakan balasan atas amal perbuatan yang mereka kerjakan. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan mereka. Mereka sama sekali tidak dizalimi (Lihat: QS at-Tahrim [66]: 7).
Ketiga, beriman terhadap malaikat pencatat amal, sifat-sifatnya dan tugas-tugasnya beserta pengaruhnya kepada orang yang mengimaninya. Ayat-ayat ini memberitakan keberadaan malaikat pencatat amal. Di antara sifat yang menonjol pada diri mereka adalah makhluk yang mulia di sisi Allah SWT. Dalam ayat ini mereka disebut kirâm[an] (yang mulia [di sisi Allah]).
Tugas utama mereka adalah mencatat semua amal yang dikerjakan manusia. Mereka pun mengetahui semua perbuatan yang dikerjakan manusia. Dengan jelas ayat ini menyebut mereka kâtibîn, ya’lamûna mâ taf’alûna (mencatat [perbuatan-perbuatan kalian]; Mereka mengetahui apa saja yang kalian kerjakan).
Keimanan terhadap perkara tersebut tentu memberikan pengaruh besar dalam kehidupan orang yang mengimaninya. Keimanan itu akan membuat pelakunya waspada dan berhati-hati dalam berbuat. Dia juga tidak akan mudah tergoda melakukan kemaksiatan dan kejahatan sekalipun tidak ada orang yang melihat dia. Dia juga akan tetap semangat melakukan amal shalih dengan sebaik-baiknya sekalipun tidak ada disaksikan orang lain. Sebab, dia yakin selalu ada malaikat yang hadir serta mengawasi dirinya dan mencatat semua perbuatannya. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin senantiasa terjaga dari kemaksiatan dan semangat mengerjakan amal shalih, maka keyakinan adanya malaikat pencatat amal ini harus senantiasa dihidupkan di dalam hati.
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmni’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 247.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmni’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19/247.
3 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qura‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 274; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qura‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 270.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmni’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19/247.
5 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 447.
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmni’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19/247.
7 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Birut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 402.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qura‘ân, vol. 24/274.
9 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 716.
10 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5/447.
11 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiy, 1998), 292.
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 1 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 77.
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 344.
14 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5/292.
15 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4/716.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmni’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19/247; al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 402; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 344; as-Sa’di, Taysîr l-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 914.
17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qura‘ân, vol. 24/271.
18 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4/402.
19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8/344.
20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qura‘ân, vol. 24/271.
21 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4/716.