Istilah al-hâkim setidaknya bisa ditemukan dalam tiga ‘urf (konvensi). Dalam ‘urf al-qadhâ’ (peradilan), dalam ‘urf siyâsah syar’iyyah dan dalam ‘urf ushûl fiqh.
Di dalam Qamûs al-Muhîth dan Mukhtâr ash-Shihâh dikatakan: al-hukmu artinya al-qadhâ’ sehingga al-hâkim adalah al-qâdhi. Jadi, dalam peradilan, istilah al-hâkim maknanya adalah al-qâdhî meski yang lebih populer digunakan adalah istilah al-qâdhi.
Murtadha az-Zubaidi di dalam Tâj al-Arûsy menyebutkan, “…al-hâkim (jamaknya al-hukkâm) adalah munaffidzu al-hukmi bayna an-nâs (pelaksana hukum di tengah-tengah manusia).” Inilah makna al-hâkim dalam ‘urf siyâsah syar’iyyah.
Namun, yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan istilah al-hâkim dalam dua makna itu, melainkan istilah al-hâkim dalam ‘urf (konvensi) para ulama ushul fikih.
Pembahasan istilah al-hâkim dalam konvensi ushul fikih ini merupakan pembahasan yang paling penting berkaitan dengan hukum sekaligus merupakan pembahasan yang pertama dan paling perlu. Pasalnya, pembahasan ini menentukan untuk mengetahui hukum dan jenis-jenisnya. Yang dimaksud al-hâkim dalam konvensi ushul fikih ini adalah pihak yang memiliki kekuasaan mengeluarkan hukum atas perbuatan dan benda (sesuatu). Ini karena segala yang terindera itu bisa berupa perbuatan atau sesuatu (benda) yakni selain perbuatan manusia, tidak ada yang lain. Karena manusia yang hidup di dunia ini merupakan topik pembahasan, maka pengeluaran hukum itu adalah untuk manusia dan apa saja yang terkait dengan manusia. Oleh karena itu harus ada hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatannya.
Obyek pembahasan hukum atas perbuatan dan benda itu adalah penilaian al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela) atas perbuatan dan benda. Sebab, maksud pengeluaran hukum atas perbuatan itu adalah menentukan sikap manusia terhadap suatu perbuatan, apakah dia lakukan atau tidak di lakukan, atau dia berhak memilih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan itu. Maksud pengeluaran hukum atas sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia itu adalah apakah manusia itu mengambil atau meninggalkan sesuatu itu, atau dia boleh memilih untuk mengambil atau meninggalkan sesuatu itu. Jadi hukum itu maknanya adalah penilaian atas suatu perbuatan atau sesuatu apakah al-hasan (terpuji) atau al-qabîh (tercela), atau tidak terpuji sekaligus tidak tercela (laysa bi al-hasan wa laysa bi al-qabîh). Pertanyaannya, kekuasaan mengeluarkan penilaian al-hasan dan al-qabîh itu milik siapa, akal atau syariah, sebab tidak ada yang ketiga? Dengan kata lain, apakah al-hâkim itu akal atau syariah?
Penilaian al-hasan dan al-qabîh atas perbuatan dan benda itu, sebagaimana dideskripsikan oleh para ulama ushul, bisa dibagi dari tiga aspek: Pertama, dari sisi realitanya. Kedua, dari sisi kesesuaian dan ketidaksesuaiannya dengan tabiat manusia dan kecenderungan fitriyahnya. Ketiga, dari sisi pujian dan celaan pelakunya atau tidak ada pujian sekaligus celaan; yakni dari sisi adanya pahala atau siksa atas pelakunya atau tidak ada pahala dan tidak ada siksa atasnya.
Penilaian al-hasan dan al-qabîh dari sisi pertama dan kedua, tak diragukan lagi, itu milik manusia, yakni akal. Syariah tidak menghukumi dari dua sisi ini. Sebab, realita perbuatan dan benda itu tampak jelas dari sisi kelebihan dan kekurangannya. Contoh: berpengetahuan adalah terpuji dan kebodohan adalah tercela; kaya itu terpuji dan miskin itu tercela; sehat itu terpuji dan sakit itu tercela. Begitu juga tampak jelas bagi akal, apakah kecenderungan fitri manusia menyukai atau sebaliknya menjauhi. Menolong orang yang kesulitan adalah terpuji dan menyakiti orang lain adalah tercela; memberi orang lain adalah terpuji dan mengambil harta orang lain secara paksa adalah tercela. Jelas, manusia itu cenderung pada perbuatan menolong orang kesulitan dan menjauhi dari menyakiti orang lain sebab tabiat manusia itu menjauhi kezaliman.
Bahwa al-hâkim dalam dua sisi ini adalah akal disepakati oleh para ulama ushul. Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl menyatakan, “Asy’ariyah dan Muktazilah sepakat bahwa akal memahami al-hasan dan al-qabîh dalam dua sisi pertama. Kecocokan tujuan dengan tabiat dan ketidakcocokannya dengan tabiat manusia. Keharmonisan adalah hasan (terpuji) menurut akal dan ketidaksesuaian atau disharmoni adalah tercela menurut akal. Lalu terkait sifat kesempurnaan dan kekurangan. Sifat kesempurnaan adalah terpuji menurut akal dan sifat-sifat kekurangan adalah tercela menurut akal.”
Akal menjadi al-hâkim dalam dua aspek itu. Sebab, hal itu kembali pada realita sesuatu yang bisa diindera oleh manusia dan dipahami oleh akalnya, atau kembali pada tabiat dan fitrah manusia. Manusia bisa merasakannya dan akalnya bisa memahaminya.
Adapun penilaian terpuji dan tercela dari sisi ketiga, yakni dari sisi pujian dan celaan atau dari sisi pahala dan siksa di akhirat, maka al-hâkim terhadap perbuatan dan sesuatu dari sisi ini adalah syariah, bukan akal. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyatakan, “Pokok pertama tentang al-hâkim, ketahuilah bahwa tidak ada hâkim kecuali Allah dan tidak ada hukum kecuali apa yang Allah putuskan.”
As-Subki di dalam Al-Ibhâj menyatakan, “Pertama, tentang al-hâkim, dan dia (al-hâkim) adalah syariah, bukan akal karena apa yang telah kami jelaskan berupa rusaknya al-hasan dan al-qabîh secara akal dalam kitab Al-Mishbâh.”
Bahwa al-hâkim dalam sisi ketiga ini adalah syariah semata tanpa akal, hal itu berdasarkan argumentasi secara ‘aqli dan naqli. Argumentasi secara ‘aqli: Pertama, akal itu realitanya tersusun dari penginderaan (ihsâs), realita (wâqi’), informasi awal (ma’lûmat sâbiqât) dan otak (dimâgh). Penginderaan menjadi bagian substansial dari akal. Jika manusia tak bisa mengindera sesuatu maka tak mungkin akalnya mengeluarkan hukum atas sesuatu itu, sebab akal itu terbatas hukumnya pada sesuatu yang terindera saja. Akal mustahil mengeluarkan hukum atas sesuatu yang tak bisa diindera. Keberadaan pujian dan celaan atas perbuatan dan sesuatu atau pahala dan siksa atas perbuatan atau sesuatu jelas tidak bisa diindera oleh akal. Karena itu mustahil akal bisa mengeluarkan status terpuji dan tercela atas perbuatan dan sesuatu. Itu artinya akal mustahil menjadi al-hâkim. Al-Hâkim dalam hal ini hanya syariah semata.
Kedua, status terpuji dan tercela itu tidak boleh diserahkan pada kecenderungan fitri manusia. Sebab, kecenderungan manusia itu menilai terpuji atas apa yang sesuai dengan kecenderungan itu, dan menilai tercela apa yang tidak sesuai. Tak jarang, kecenderungan manusia sesuai dengan apa yang justru tercela seperti zina, riba, menampakkan kecantikan di muka umum, dsb. Sebaliknya, tak jarang kecenderungan manusia mencela sesuatu yang justru terpuji, seperti memerangi musuh, amar makruf nahi mungkar, berinfak, dsb. Menyerahkan penilaian status terpuji dan tercela pada akal artinya menyerahkan status hukum pada kecenderungan manusia atau hawa nafsu manusia. Akibatnya, akan banyak penilaian terpuji dan tercela yang salah karena mengikuti kecenderungan, dan bukan sesuai apa yang seharusnya. Ini justru akan mendatangkan bahaya (dharar) bagi umat manusia.
Ketiga, penilaian akal dan kecenderungan manusia itu dipengaruhi oleh kepentingan, situasi, lingkungan dan waktu. Akibatnya, penilaian manusia akan berubah-ubah. Ini berbahaya dalam hal penilaian terpuji dan tercela; menyebabkan status hukum yang salah dan berubah-ubah.
Dengan demikian penilaian terpuji dan tercela atas perbuatan dan sesuatu itu tidak boleh diserahkan pada akal. Jadi al-hâkim bukan akal, melainkan syariah. Sebab, syariahlah yang mengetahui hakikat terpuji dan tercela, pahala dan siksa atas perbuatan dan sesuatu. Ini argumentasi secara ‘aqli.
Adapun argumentasi secara naqli atau secara syar’i, syariah telah mengaitkan penilaian terpuji dan tercela dengan perintah untuk mengikuti Rasul saw. dan mencela hawa nafsu. Banyak ayat al-Quran yang mengaitkan pahala dan surga atas apa yang diperintahkan atau dihalalkan oleh syariah, sebaliknya mengaitkan siksa dan neraka dengan apa yang dilarang atau diharamkan. Karena itu, sesuatu yang dipastikan secara syar’i bahwa al-hasan adalah apa yang dipuji oleh syariah dan al-qabîh adalah apa yang dicela oleh syariah.
Imam al-Ghazali di dalam al-Mankhûl menyatakan, “Al-Hasan menurut kami adalah apa yang dinilai terpuji oleh syariah dengan mendorongnya dan al-qabîh adalah apa yang dinilai tercela oleh syariah dengan melarang dan mencelanya.”
Imam as-Sarakhsi dalam Ushûl as-Sarakhsi dan Imam az-Zarkasyi dalam Bahru al-Muhîth menyatakan, “Al-Hasan mâ hassanahu asy-syar’u wa al-qabîh mâ qabbahahu asy-syar’u (Al-Hasan adalah apa yang dinilai terpuji oleh syariah dan al-qabîh adalah apa yang dinilai tercela oleh syariah).”
Dengan demikian, al-hâkim atas perbuatan dan sesuatu hanyalah syariah. Artinya, yang berhak menetapkan hukum atas perbuatan dan sesuatu hanyalah syariah, bukan akal. Inilah perbedaan dan kontradiksi paling mendasar antara Islam dan demokrasi.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]