HTI

Ibrah (Al Waie)

Al-Hasan al-Bashri

Imam al-Hasan al-Bashri, lahir pada Tahun 30 H, adalah putra seorang sahaya wanita Ummu Salamah ra., istri Rasulullah saw. Nama sahaya wanita itu adalah Hindun binti Hudzaifah. Ia bersuamikan mantan hamba sahaya Zaid bin Tsabit ra., salah seorang penulis al-Quran pada zaman Nabi Muhammad saw. Imam al-Hasan al-Bashri hidup saat Nabi Muhammad saw. telah wafat.

Saat kecil ia pernah diasuh oleh Sayidah Ummu Salamah ra. Berkat asuhannya, ia bisa menjadi tokoh besar. Wajar saja karena Ummu Salamah ra. adalah wanita bertakwa dan cerdas. Selain itu, meski Nabi Muhammad saw. telah wafat, Hasan kecil hidup dan dibesarkan dalam pangkuan keluarga yang kental dengan suasana kenabian.

Selama hidupnya Imam al-Hasan banyak belajar dari para Sahabat besar seperti Utsman ra., Ali ra., Ibnu Abbas ra., Abu Musa al-Asy’ari ra., Ibnu Umar ra, dan lain-lain.

Setelah usia 14 tahun ia pindah ke Bashrah bersama keluarganya. Saat di Bashrah Imam al-Hasan banyak mengikuti kuliah tafsir, hadis, qira’at al-Quran, fikih, lughah, adab, dan lain-lain.

Ia dikenal konsisten, lugas dan berani. Saat al-Hajjaj, penguasa di Bashrah saat itu, berbuat sewenang-wenang, hanya Imam al-Hasan yang berani mengingatkan dan menasihati dia dengan terang-terangan.

Saat itu Hajjaj membangun rumah mewah antara Kufah dan Bashrah. Lalu dia mengundang rakyatnya untuk mendoakan dirinya. Imam al-Hasan datang. Ia lalu berkata, “Kita telah menyaksikan di sini sebuah rumah yang didirikan oleh orang yang terburuk di zaman kita ini. Sungguh, Fir’aun dulu pun telah membangun bangunan yang lebih besar dari ini. Namun kemudian, dia dibinasakan oleh Allah SWT. Semoga Hajjaj mengetahui bahwa penduduk langit telah mengutuk dia atas perbuatannya ini dan penduduk bumi telah menipu dia dengan meridhai perbuatannya ini!”

Mendengar itu orang-orang sampai berkata, “Cukup! Cukup, wahai Abu Said!”

Namun, Imam al-Hasan malah menukas dengan tajam, “Demi Allah, Allah SWT telah mengambil janji dari kami, ahli ilmu, untuk menyampaikan kebenaran dan tidak menyembunyikannya!”

Kata-kata Imam al-Hasan ini kontan membuat gusar al-Hajjaj. Lalu dipanggillah 100 orang algojo dengan pedang terhunus. Namun demikian, Imam al-Hasan tak gentar sedikit pun.

Imam al-Hasan terkenal sebagai ulama yang satu antara kata dan perbuatannya. Tentang ini, Abdul Wahid bin Zaid bertutur, “Hasan al-Bashri, jika memerintahkan suatu perkara, adalah orang yang paling pertama dan utama dalam melakukan perkara yang ia perintahkan itu. Jika melarang suatu perkara, ia adalah orang yang paling pertama dan utama meninggalkan perkara yang ia larang itu (Abu al-‘Ala al-Mishri, Ushûl al-Wushûl ilâ AlLâh, 1/130).

Imam al-Hasan sering menasihati orang-orang dengan kata-katanya, “Hati-hatilah kalian. Dunia ini awalnya fana’ dan kesusahan serta akan berakhir dengan fana’ dan kesusahan pula. Ingatlah, dunia ini halalnya akan dihisab dan haramnya akan menjadi azab.”

Sebetulnya, banyak sekali nasihat berharga yang terlontar dari lisan mulia Imam al-Hasan. Ia, misalnya, pernah berkata, “Seorang Mukmin adalah cermin bagi suadaranya. Jika ia melihat pada diri saudaranya hal yang tidak baik, hendaknya ia mengingatkan dan meluruskan saudaranya itu, baik secara diam-diam maupun secara terang-terangan.” (HR Ibn Abi ad-Dunya’).

Ia juga pernah berkata, “Lisan orang bijak itu ada di belakang akalnya. Jika dia ingin berkata-kata, ia akan berpikir dulu dengan akalnya. Jika menurut akalnya baik, akan ia katakan. Jika menurut akalnya tidak baik, tidak akan ia katakan. Sebaliknya, akal orang bodoh ada di belakang lisannya. Ia tidak pernah merujuk pada akalnya. Apa saja yang ada dalam lisannya akan ia lontarkan (tanpa dipikir lebih dulu) (Abu al-Layts as-Samarqandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, 1/216).

Umar bin Abdul Aziz pernah berkirim surat kepada Imam al-Hasan untuk meminta nasihat. Dalam balasan suratnya, Imam al-Hasan menulis, “Sungguh, dunia itu menyibukkan kalbu dan badan. Sebaliknya, sikap zuhud itu menenangkan kalbu dan badan. Sungguh, Allah SWT pasti menanyai kita tentang perkara halal yang kita nikmati. Lalu bagaimana dengan perkara haram yang kita nikmati?” (Abu Bakr al-Baihaqi, Kitâb az-Zuhd al-Kabîr, 1/68).

Imam al-Hasan juga pernah berkata, “Sikap wara’, meski hanya seberat biji sawi, adalah jauh lebih baik daripada shaum dan shalat meski beratnya seribu kali lipat.” (Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyayriyyah, 1/236).

Ia juga pernah berkata terkait shalat, “Setiap shalat yang tidak menghadirkan hati di dalamnya akan mempercepat datangnya azab kepada pelakunya.” (Al-Ghazali, Bidâyah al-Hidâyah, 1/47).

Karena itu orang shalat harus berusaha keras untuk khusyuk. Dalam pandangan Imam al-Hasan al-Bashri, “Khusyuk itu adalah rasa takut (kepada Allah SWT) yang terus-menerus merasuk di dalam kalbu.” (Al-Qusyairi, Risâlah al-Qusyayriyyah, 1/272).

Imam al-Hasan juga menasihati kita terkait ilmu dan amal. Ia pernah berkata, “Fokus perhatian para ulama adalah ri’âyah (mengamalkan ilmu dengan memperhatikan urusan umat). Fokus perhatian orang-orang bodoh adalah riwâyah’ (hanya ilmu/teori saja, pen.).” (Abu al-‘Ala al-Mishri, Munthaliqât Thâlib al-‘Ilmi, 1/96).

Ia juga berkata, “Sesungguhnya orang faqih itu adalah orang yang zuhud di dunia, merindukan akhirat (surga), memahami agamanya, mendawamkan ibadah kepada Tuhannya; tidak mencederai kehormatan kaum Muslim, menjaga diri (‘iffah) terhadap harta mereka, dan biasa menasihati mereka (Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn, 1/18).

Imam al-Hasan terkenal zuhud dan wara’. Terkait ini, ia pernah berkata, “Siapa saja yang mengenal Tuhannya, dia akan mencintai-Nya. Siapa saja yang mengenal dunia, dia akan zuhud terhadapnya.” (Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn, 1/339).

Meski ulama besar yang amat zuhud dan wara’, Imam al-Hasan sering mencela dan mengejek dirinya sendiri dengan mengatakan, “Kamu ini sering berkata-kata dengan perkataan orang-orang shalih, taat dan ahli ibadah; tetapi berperilaku dengan kelakuan orang-orang fasik, munafik dan riya’. Demi Allah, ini bukanlah sifat orang ikhlas (Abu al-‘Ala al-Mishri, Munthaliqât Thâlib al-‘Ilmi, 1/100).

Imam al-Hasan wafat pada Hari Jumat tahun 110 H dalam usia 80 tahun di Bashrah. Saat itu ribuan orang datang melayat. Akibatnya, baru terjadi dalam sejarah Islam saat itu shalat Ashar tertunda di Bashrah karena ramainya orang yang ikut mengantar jenazah dan menguburkan jasadnya. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*