HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Bahaya Investasi Cina

Pada tanggal 16 September 2015 lalu, tiga bank milik negara yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI, mendapatkan pinjaman senilai total 3 miliar dolar AS dari China Development Bank (CDB). Masing-masing bank BUMN tersebut, menerima pinjaman sebesar satu miliar dolar AS yang tiga puluh persennya dalam mata uang Renminbi dengan jangka waktu 10 tahun. Tingkat bunga pinjaman tersebut sebesar 3,4% untuk mata uang dolar AS dan 6,7% untuk mata uang Renminbi. Sebagian besar utang tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai infrastruktur.

Selain CDB, bank Cina lainnya, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), juga memberikan pinjaman kepada BTN senilai 5 miliar yuan atau sekitar Rp 10 triliun untuk membiayai perumahan dan infrastruktur. ICBC juga memberikan utang senilai 500 juta dolar AS kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Eximbank), untuk mendorong perdagangan luar negeri dan pembangunan infrastruktur di Indonesia (Chinadaily , 25/9/15). Sebelumnya, pada bulan Juni, tujuh BUMN yaitu: Wijaya Karya, Adhi Karya, Pelindo I & II, Angkasa Pura, Bukit Asam dan Aneka Tambang juga telah mendapatkan komitmen utang dari CDB.

Pemberian utang tersebut sejatinya merupakan realisasi komitmen Cina untuk memberikan utang kepada Indonesia. Di sela-sela pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta (24/4/15), Pemerintah yang diwakili oleh Menteri BUMN, Rini Sumarno, telah menandatangai MoU dengan Pemerintah Cina melalui CDB dan ICBC. Kedua bank Cina tersebut akan memberikan pinjaman senilai 50 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 700 triliun dengan kurs 14 ribu. Utang tersebut akan digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur nasional seperti pembangkit listrik, bandara, kereta cepat dan kereta api ringan (light rail transit).

Strategi Cina

Setelah melakukan transformasi dari ekonomi sosialisme ke ekonomi kapitalisme, Cina mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Sejak tahun 1990-2013, negara tersebut tumbuh rata-rata 10%. Pendorong utama petumbuhan tersebut adalah investasi dan ekspor yang tumbuh sangat pesat. Daya tarik investasi yang tinggi dan keunggulan dalam perdagangan luar negeri membuat Cina meraup surplus devisa yang sangat besar tiap tahunnya. Hingga September 2015, cadangan devisa negara itu mencapai US$3,5 triliun. Bandingkan dengan cadangan Indonesia yang pada periode yang sama hanya sebesar US$101 miliar.

Total cadangan devisa tersebut menjadi modal yang cukup besar untuk membangun kekuatan politik dan ekonomi negara itu. Salah satu strategi yang dilakukan oleh negeri Panda itu adalah melakukan ekspansi investasi di berbagai negara. Tujuannya antara lain agar pasokan bahan baku dan energi negara itu tetap terjamin dalam jangka panjang dan pasar ekspornya terus berkembang.

Oleh karena itu, Cina secara aktif melakukan investasi dan memberikan pinjaman terutama di negara-negara berkembang yang kaya sumberdaya alam seperti di Afrika, Amerika Latin dan Asia. Salah satu strategi yang ditempuh Cina untuk memperluas sayap bisnisnya adalah mencontek strategi negara-negara maju seperti AS dan Jepang yang memberikan bantuan hibah dan utang secara bilateral dan melalui lembaga-lembaga multilateral yang mereka kuasai, seperti World Bank dan Asia Development Bank.

Saat ini bentuk bantuan yang diberikan Cina kepada negara mitranya yaitu: hibah, pinjaman tanpa bunga dan pinjaman konsesi atau kredit ‘lunak’. Sebagian besar dari bantuan tersebut dalam bentuk bantuan proyek. Jika hibah dan utang tanpa bunga berasal dari budget pemerintah, maka utang dengan bunga dan konsesi berasal dari bank-bank BUMN seperti CDB, ICBC dan Export-Import Bank of China. Meskipun demikian, bank-bank tersebut sejatinya merupakan kendaraan pemerintah dalam hal ini Partai Komunis Cina dalam menjalankan strategi politik dan ekonominya. Adapun secara teknis proyek-proyek di negara pengutang ditopang oleh BUMN Cina lainnya. Dalam hal pertambangan di Afrika, misalnya, China’s National Overseas Oil Company (CNOOC), China National Petroleum Corporation (CNPC), and the China Petrochemical Company (SINOPEC) menjadi pemain utama.

Pepatah ‘tidak ada makan siang gratis’ tentu berlaku pada utang-utang yang diberikan Cina. Pinjaman yang diberikan diikat dengan berbagai syarat seperti adanya jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa teknis harus diimpor dari Cina. Mengutip riset yang diterbitkan oleh Rand Corporation, China’s Foreign Aid and Government-Sponsored Investment Activities, disebutkan bahwa utang yang diberikan oleh Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina.

Salah satu contoh nyata dari hal itu adalah klausul pemberian utang oleh Cina untuk pembangunan proyek infrastruktur di negara-negara Amerika Latin dan Karibia. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa utang yang diberikan akan digunakan untuk mendukung pelaku usaha Cina dalam membangun infrastuktur seperti energi, jalan, telekomunikasi, pelabuhan, tambang dan lain-lain. Proyek yang memenuhi syarat adalah yang memiliki “elemen Cina”, yakni peralatan atau jasa yang diberikan oleh pihak Cina tidak boleh kurang dari 60% dari total investasi. Adapun jumlah kredit yang diberikan Cina untuk setiap proyek, maksimal 70% dari total kebutuhan investasi. Selain itu, organisasi dan perusahaan Cina didorong untuk berinvestasi pada proyek-proyek tersebut.1

Dalam kasus pembangunan telekomunikasi di Afrika, pinjaman yang diberikan oleh China Exim Bank, CDB dan China-Afrika Development Fund kepada Pemerintah Afrika disertai syarat agar peralatan telekomunikasi dan infrastrukturnya berasal dari Cina. Hal serupa terjadi di sektor energi; kredit yang ditawarkan oleh Cina untuk pembangunan infrastruktur ditukar dengan minyak.2

Hal yang sama juga berlaku bagi Indonesia. Selain harus membayar bunga yang relatif tinggi, juga disyaratkan agar BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek tersebut yang dibiayai oleh utang dari Cina harus bekerjasama dengan BUMN negara itu (thejakartapost, 3/7/2015). Dalam kasus pinjaman dari CDB kepada tiga bank BUMN di atas, diakui oleh Dirut BRI dan Mandiri bahwa utang yang mereka tandatangani baru akan cair jika proyek-poyek yang akan didanai oleh bank-bank tersebut mendapat persetujuan CDB (Bisnis Indonesia, 29/9/15). Dengan kata lain, penggunaan utang itu harus sesuai dengan kepentingan Cina.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (engineering, procurement, construction[EPC]). Membanjirnya barang-barang yang terkait dengan konstruksi infrastruktur seperti mesin-mesin dan baja serta pekerja ahli hingga buruh kasar dari Cina merupakan konsekuensi dari pemberian utang tersebut. Padahal sebagian besar dari barang dan jasa tersebut sejatinya amat melimpah di negara ini.

Pada saat yang sama, Cina saat ini juga menjadi eksportir terbesar di Indonesia dengan nilai US$30 miliar (2014). Bahkan sejak tahun 2008 transaksi perdagangan barang Indonesia dengan Cina terus mengalami defisit. Jika pada tahun 2008, defisit tersebut hanya US$ 3,6 miliar, maka tahun 2014, nilainya membengkak ke angka US$ 13 miliar.

Mental Terjajah

Selain oleh tingginya motif politik dan ekonomi dari Cina, faktor penarik datangnya investasi Cina ke negara ini adalah mentalitas Pemerintah Indonesia yang hingga saat ini tidak berubah: bergantung pada kekuatan asing untuk membangun negara ini.

Ihwal kesepakatan Indonesia dengan Cina terjadi ketika Presiden Jokowi menandatangani Kerjasama Strategis Menyeluruh (Comprehensive Strategic Partnership) antara Indonesia dan Cina di Beijing (26/3/15). Dalam perjanjian tersebut, berbagai hal disepakati, termasuk dalam bidang ekonomi. Salah satu butir kesepakatan tersebut menyatakan bahwa kedua negara mendorong kerjasama antar BUMN dalam pembangunan infrastruktur. Pemerintah Cina juga dilibatkan dalam pembangunan proyek 35 ribu MW mulai dari perencanaan, konstruksi, operasi hingga perawatan. Pada butir lainnya disebutkan bahwa kedua negara akan bekerjasama membangun kawasan industri yang terintegrasi. Nantinya Pemerintah Indonesia akan memberikan prioritas kepada investor Cina untuk memanfaatkan kawasan tersebut.

Dalam pertemuan lainnya, Pemerintah juga secara tegas menyatakan dukungan atas berbagai kepentingan Cina di Indonesia. Ketika bertemu dengan Xi Jinping di Jakarta (22/4/15), Jokowi juga mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia siap memperluas kerjasama dengan Cina di berbagai bidang. Salah satunya adalah mengkolaborasikan rencana Cina “21st Century Maritime Silk Road” dengan strategi pembangunan pemerintahan Jokowi.3 Proyek Cina tersebut merupakan bagian dari ‘one road, one belt’ yang digagas Pemerintah Cina untuk membangunan infrastruktur laut dan darat yang menghubungkan Cina dengan kawasan-kawasan di Asia hingga Eropa. Tujuannya tidak lain adalah meningkatkan pengaruh politik dan ekonomi negara Tirai Bambu di kawasan tersebut.

Mengakhiri Ketergantungan Utang

Strategi pembangunan yang ditempuh Pemerintah saat ini secara substansial tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Dengan berkedok mendorong investasi, Pemerintah justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian alokasi APBN terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya dalam jangka waktu yang panjang.

Selain itu, kemandirian negara ini juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang, namun merugikan negara ini, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan.

Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik oleh Pemerintah dan BUMN di atas merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh penduduk negeri ini untuk membebaskan negara ini dari utang dan cengkeraman kepentingan negara dan lembaga donor kecuali dengan kembali menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah Islam. Sistem tersebut nantinya akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam termasuk utang piutang ribawi. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

1       http://www.chinacelacforum.org/eng/ltdt_1/t1269472.htm

2       http://iveybusinessjournal.com/publication/chinese-state-owned-enterprises-in-africa-entrepreneurs-or-the-long-arm-of-the-state/

3       http://news.xinhuanet.com/english/2015-04/22/c_134175006.htm

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*