(Tafsir QS al-Infithar [82]: 13-19)
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ * يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ * وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ * ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ * يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ *
Sesungguhnya kaum yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Sesungguhnya orang-orang durhaka benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke dalam neraka itu pada Hari Pembalasan. Mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu. Tahukah kamu apakah Hari Pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah Hari Pembalasan itu? Itulah hari saat seseorang tak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah (QS al-Infithar [82]: 13-19).
Ayat-ayat ini menjelaskan balasan yang akan diterima oleh manusia. Balasan tersebut sesuai dengan amal perbuatan manusia selama hidup di dunia. Kamum beriman lagi berbakti dan taat kepada Allah SWT ditempatkan di dalam surga. Sebaliknya, bagi kaum kafir lagi durhaka, neraka menjadi tempat kembali mereka.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Inna al-abrâr lafî na’îm (Sesungguhnya kaum yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan). Kata al-abrâr merupakan bentuk jamak dari kata al-barr atau al-bârr, yang merupakan ism al-fâ’il dari kata al-birr. Al-Abrâr adalah orang-orang yang mengerjakan al-birr (kebajikan) dan memiliki sifat tersebut.1
Secara bahasa, kata al-birr merupakan dhid al-‘uqûq (kebalikan dari durhaka).2 Di dalam al-Quran, kata al-birr mencakup tiga makna, yakni: interaksi atau hubungan baik (QS al-Baqarah [2]: 224, al-Mumtahanah [68]: 8), ketaatan (QS al-Maidah [5]: 2, Maryam [19]: 14, Abasa [80]: 16, al-Muthaffifn [83]: 18) dan ketakwaan (QS al-Baqarah [2]: 44, 177).3
Dalam konteks ayat ini, al-abrâr berarti kaum yang berbakti dan membenarkan keimanan mereka dengan menunaikan apa yang diwajibkan Allah SWT dan menjauhi kemaksiatan.4 Dengan ungkapan lain, mereka adalah al-mu‘minîn al-muttaqîn al-shâdiqîn (kaum Mukmin yang bertakwa lagi jujur).5
Ayat ini menegaskan bahwa kaum yang berbakti tersebut lafî na’îm (benar-benar di dalam kenikmatan). An-Na’îm adalah al-jannah (surga).6 Dengan demikian, ayat ini memasti-kan bahwa kaum Mukmin yang taat lagi berbakti akan berada di dalam surga.
Kemudian diberitakan tentang kaum yang berperilaku sebaliknya: Wa inna al-fujjâr lafî jahîm (Sesungguhnya orang-orang durhaka benar-benar berada dalam neraka). Kata al-fujjâr merupakan bentuk jamak dari kata al-fâjir, yang merupakan ism al-fâ’il dari kata al-fujûr.
Dalam ayat ini kata tersebut bermakna kaum kafir. Demikian penjelasan para mufassir.7 Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan al-fujjâr berkata, “Kaum yang kufur kepada Tuhan mereka.”8
Al-Qinuji juga mengatakan bahwa kata al-fujjâr kembali kepada kaum kafir yang disebutkan sebelumnya sehingga tidak mencakup pelaku maksiat dari kaum Mukmin. Oleh karena itu, huruf al-alif wa al-lâm memberikan makna li al-‘ahd (menunjuk pada objek yang telah disebutkan sebelumnya), bukan peringatan. Dalilnya adalah firman Allah SWT dalam ayat sebelumnya: Bal tukadzdzdibûna bi ad-dîn (Bahkan kalian mendustakan Hari Pembalasan; ayat 9).9
Ayat ini menegaskan bahwa al-fujjâr atau kaum kafir tersebut berada dalam al-jahîm. Menurut para mufassir, al-jahîm adalah neraka.10 Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa kaum kafir yang berbuat durhaka tersebut ditempatkan di dalam neraka.
Kemudian Allah SWT berfirman: Yashlawnahâ yawm ad-dîn (Mereka masuk ke dalam nereka itu pada Hari Pembalasan). Secara bahasa, makna ash-shalyu adalah al-îqâd bi an-nâr (menyalakan dengan api).11 Itu pula makna yang dikandung dalam ayat ini. Menurut al-Qurthubi, frasa yashlawnahâ bermakna ditimpakan kepada mereka nyala dan panasnya (api neraka).12 Peristiwa itu terjadi pada Hari Kiamat. Itulah yawm al-jazâ‘ wa al-hisâb (Hari Pembalasan dan Perhitungan).13
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâhum ‘anhâ bighâ’ibîn (Mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu). Setelah mereka dimasukkan ke dalam neraka, mereka sama sekali tak dapat keluar dari nereka itu. Ibnu Jarir berkata, “Orang-orang fâjir tersebut tidak keluar dari Neraka Jahim selama-lamanya, sehingga dapat meninggalkannya. Akan tetapi, mereka kekal tinggal di dalamnya. Demikian pula kaum yang berbakti. Mereka kekal di surga. Ini seperti firman Allah SWT dalam ayat lain (Lihat: QS al-Hijr [15]: 48).14
Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa mereka tidak berhenti ditimpa azab walaupun hanya sesaat. Azab atas mereka tidak diperingan. Permintaan mereka untuk mati atau istirahat tidak dipenuhi meskipun hanya sehari.15 Muhammad Abdul Lathif juga berkata, “Mereka tidak keluar dari nereka itu walaupun hanya sekejap.”16
Lalu Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka yawma ad-dîn (Tahukah kamu apakah Hari Pembalasan itu?). Kata mâ merupakan ism al-istifhâm (kata tanya).17 Objek yang ditanyakan adalah pengetahuan mereka tentang Hari Pembalasan. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, makna ayat ini adalah, “Apakah Hari Perhitungan dan Hari Pembalasan itu?” Pertanyaan tersebut berguna untuk mengagungkan urusannya. Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Qatadah.18 Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa ayat ini mengandung makna ta’zhîm li sya’ni yawm al-qiyâmah (untuk mengagungkan urusan Hari Kiamat). Kemudian ditegaskan lagi dalam ayat berikutnya.19
Allah SWT berfirman: Tsumma mâ adrâka yawm ad-dîn (sekali lagi, tahukah kamu apakah Hari Pembalasan itu?) Pengulangan ini berguna li ta’zhîm dzâlika al-yawm wa tafkhîm sya’nihi (mengagungkan hari itu dan memuliakan urusannya).20 Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi. Menurut al-Qurthubi, pengulangan tersebut sebagai ta‘zhîm[an] li sya’nihi (untuk mengagungkan urusanya). Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat lain (Lihat: QS al-Qari’ah [101]: 1-3).21
Kemudian Allah SWT berfirman: Yawma lâ tamliku nafs[un] li nafs[in] syay’[an] (Itulah hari saat seseorang tak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain). Ayat ini merupakan penjelasan tentang sebagian keadaan yang terjadi pada Hari Kiamat. Pada hari itu tak ada seorang pun yang dapat memiliki sesuatu dari orang lain. Menurut Samin al-Halbi, pengertian ayat ini adalah: tidak ada seorang pun yang bermanfaat bagi orang lain.22
Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Pada hari itu seseorang tak berguna bagi orang lain sedikitpun untuk mencegah petaka yang menimpa dirinya; tidak pula bisa mendatangkan manfaat sama sekali. Padahal semasa di dunia dia dapat melindungi dan mencegah keburukan yang akan menimpa dirinya. Pada hari itu semuanya lenyap. Sebab, semua urusan di tangan Allah SWT, tidak ada yang dapat mengalahkan dan memaksa Dia. Semua kerajaan dan kekuasaan lenyap. Kerajaan hanya milik Sang Maharaja Yang Mahaperkasa.”23
Menurut Ibnu Katsir, pada hari itu tidak ada seorang yang mampu memanfaatkan orang lain, dan tidak bisa membebaskan dari keadaannya, kecuali orang yang Allah SWT kehendaki dan ridhai.24
Kemudian ditegaskan lagi: Wa al-amr yawmaidzin lil-Lâh (Segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. Tahukah kamu apakah Hari Pembalasan itu?). Menurut ath-Thabari, segala perkara adalah milik Allah SWT pada hari itu. Pembalasan milik Allah, tidak ada yang berada di tangan semua makhluk-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang bersama Allah SWT memegang perintah dan larangan.25
Menurut ath-Thabari, ini merupakan pendapat para mufassir. Qatadah berkata, “Tidak ada seorang pun pada hari yang bisa memutuskan sesuatu dan mengerjakan sesuatu kecuali Tuhan semesta alam.”
Dalam riwayat lain, Qatadah juga berkata, “Segala urusan, demi Allah, pada hari itu dalam kekuasaan-Nya. Tidak ada seorang pun yang dapat menentang Dia.”26
Asy-Syaukani juga memaknai ayat ini dengan mengatakan bahwa tidak ada satu pun orang yang memiliki pengaruh terhadap orang lain, baik dalam memberikan manfaat maupun menolak madarat. Semua urusan ketika itu milik hanya Allah SWT. Tidak ada siapapun selain Allah SWT yang memiliki sesuatu.
Beberapa Pelajaran Penting
Amat banyak pelajaran penting yang dapat diambil ayat-ayat ini. Di antaranya adalah: Pertama, balasan yang diberikan kepada manusia di akhirat bergantung pada amal mereka di dunia. Ini dengan jelas disebutkan dalam ayat ini. Al-Abrâr atau kaum Mukmin lagi bertakwa dan berbakti ditempatkkan di dalam surga. Sebaliknya, al-fujjâr atau kaum kafir dimasukkan ke dalam neraka. Penyebutan mereka dengan menggunakan kata sifat, yakni al-abrâr dan al-fujjâr, menunjukkan pengertian demikian. Golongan manusia yang dimasukkan ke dalam surga lantaran mereka mengerjakan banyak al-birr dan memiliki sifat tersebut. Golongan yang dijebloskan ke dalam neraka adalah karena sikap al-fujûr atau kekufuran yang mereka lakukan. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin dimasukkan ke dalam surga-Nya dan terhindar dari siksa neraka harus mengerjakan al-birr dan menjauhi al-fujûr. Namun, jika dia justru melakukan sebaliknya, maka neraka adalah balasan yang layak bagi diri. Allah SWT berfirman:
الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Pada hari itu kalian diberi balasan atas apa saja yang telah kalian kerjakan (QS al-Jatsiyah [45]: 28).
Penjelasan yang sama juga disebutkan dalam QS Yunus [10]: 22, an-Naml [27]: 90, Yasin [36]: 54, ash-Shaffat [37]: 39, al-Thur [51]: 16, at-Tahrim [66]: 7, dan lain-lain.
Kedua, kekalnya kaum kafir di dalam neraka. Allah SWT berfirman: Wamâhum ‘anhâ bighâibîn. Ini jelas menunjukkan makna demikian. Menurut para mufassir, ayat tersebut memberitakan bahwa orang-orang yang dimasukkan ke dalam neraka tersebut tidak keluar dari nereka itu walaupun hanya sekejap. Kesimpulan tersebut diperkuat oleh firman Allah SWT:
يُرِيدُونَ أَنْ يَخْرُجُوا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنْهَا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Mereka ingin ke luar dari neraka. Padahal mereka sekali-kali tidak dapat ke luar dari nereka itu. Bagi mereka azab yang kekal (QS al-Maidah [5]: 37).
Hal yang sama juga disebutkan dalam QS al-Hijr [15]: 48, al-Baqarah [2]: 167, as-Sajdah [32]: 20, dan lain-lain.
Ketiga, keagungan, kebesaran dan kedahsyatan peristiwa Hari Kiamat. Ini dapat dipahami dari firman Allah SWT: Wamâ adrâka mâ yawm ad-dîn. Menurut para mufassir, ayat ini memberikan makna li ta’zhîm sya‘nihi (untuk membesarkan/mengagungkan urusannya). Hal itu makin dikokohkan dengan pengulangan kalimat yang sama pada ayat berikutnya.
Tentang besarnya Hari Kiamat juga diberitakan dalam beberapa ayat lain. Dalam QS al-Muthaffifin [83]: 5, hari tersebut disebut dengan yawm ‘azhîm (hari yang besar). Demikian dahsyatnya, hari itu juga disebut sebagai ath-thâmat al-kubrâ atau malapetaka besar (QS an-Naziat [79]: 34). Berita tentang Hari Kiamat pun disebut sebagai naba’[in] ‘azhîm[in] atau berita yang besar (QS aal-Naba’ [78]: 63).
Keempat, tidak bermanfaatnya seseorang bagi orang lain pada Hari Kiamat kecuali yang telah mendapatkan izin dari Allah SWT. Yawma lâ tamliku nafs[un] li nafs[in] syay’[an]. Menurut para mufassir, pada hari ini tidak ada seorang pun yang dapat membantu dalam mendatangkan manfaat, menolak bahaya, atau meringankan derita. Kaum kafir termasuk golongan yang tidak kehendaki Allah SWT mendapatkan syafaat di akhirat. Allah Swt berfirman:
فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
Tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat (QS al-Muddatstsir [74]: 48).
Oleh karena itu, mereka yang semasa di dunia berkuasa dan kaya-raya sehingga bisa memerintahkan orang lain untuk membantu dirinya, di akhirat kelak tidak bisa melakukan itu lagi. Mereka tidak memiliki penolong, pembantu dan pelindung (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 270, Ali Imran [3]: 192, al-Maidah [5]: 72, dan lain-lain). Harta mereka tidak berguna dan kekuasaan mereka juga lenyap (Lihat: QS al-Haqqah [69]: 28-29). Teman pun mereka tidak punya (Lihat: QS al-Haqqah [69]: 35). Bahkan orang-orang yang semasa di dunia menjadi teman-teman dekat mereka akan menjadi musuh bagi mereka (Lihat: QS az-Zukhruf [43]: 67).
Adapun bagi kaum Mukmin, kesempatan untuk mendapatkan syafaat dari orang lain masih terbuka. Sebab, terdapat dalil yang mengecualikan sebagian orang yang dengan seizin-Nya memberikan syafaat kepada orang lain. Pengecualian dengan seizin-Nya itu disebutkan dalam QS Yunus [10]: 3, al-Anbiya‘ [21]: 28 dan an-Najm [53]: 26. Allah SWT berfirman:
يَوْمَئِذٍ لا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلا
Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepada dia, dan Dia telah meridhai perkataannya (QS Thaha [20]: 109).
Mereka termasuk orang-orang yang dikecualikan oleh Allah SWT. Syafaat itu bisa diberikan oleh Rasulullah saw., para nabi dan orang-orang yang diizinkan memberikan syafaat kepada orang lain.
Oleh karena itu, kata nafs[un] dalam ayat ini menunjuk kepada orang kafir. Menafsirkan ayat ini, al-Khazi berkata, “Orang kafir tidak memiliki manfaat sedikit pun bagi orang kafir lain.”27 Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Muqatil.28
Kelima, pada Hari Kiamat semua urusan dan keputusan hanya berada di tangan Allah SWT. Wa al-amr yawmaidzin lil-Lâh. Menurut para mufassir, semua kekuasaan dan urusan saat itu ada di tangan-Nya. Dialah Satu-satunya Pemilik urusan dan keputusan. Allah SWT berfirman:
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
(Lalu Allah SWT berfirman), “Milik siapakah kerajaan pada hari ini?” Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan (QS Ghafir [40]: 16).
Hal yang sama juga disebutkan dalam QS al-Furqan [25]: 26 dan al-Fatihah [1]: 4.
Demikianlah. Semoga kita dimasukkan ke dalam golongan al-abrâr dan dijauhkan dari al-fujjâr sehingga dijadikan sebagai penghuni surga.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Muhammad Abdul Lathif, Awdhâh at-Tafâsïr (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyyah, 1964), 737.
2 Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 32.
3 Husain al-Damighani, Qâmus al-Qur’ân (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1984), 68.
4 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 402; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 220; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah ar-Risalah, 2004), 271.
5 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah; Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 531. Lihat juga as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 555.
6 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 79; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ashriyyah, 1992), 118; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 532; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 611; Muhammad Abdul Lathif, Awdhâh at-Tafâsïr, 737.
7 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 447; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3, 611; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 531; Muhammad Abdul Lathif, Awdhâh at-Tafâsïr, 737; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 555.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 272.
9 Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15, 118.
10 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3, 611
11 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 490.
12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 249.
13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 249; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qu’ân, vol. 24, 272; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 345; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 402; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 531; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 555; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 447.
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 272.
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 345.
16 Muhammad Abdul Lathif, Awdhâh at-Tafâsïr , 737.
27 Mahmud Shafi, Al-Jadwâl fî I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol. 30 (Damskus: Dar ar-Rasyid, 1998), 265.
18 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 272.
39 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 345.
20 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 402.
24 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 249.
22 Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 459.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 272.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 345.
25 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 272-273.
26 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 24, 273.
27 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 402.
28 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 5, 220.