HTI

Analisis (Al Waie)

Revolusi Suriah: Tantangan Berat dan Solusinya

Revolusi Suriah sudah berlangsung selama empat tahun lebih, sejak awal Maret 2011 hingga kini belum ada tanda-tanda berakhir. Menyisakan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi di sana? Korban sipil berjatuhan sudah sekian banyak. Pengungsian sudah menjadi pembahasan dunia internasional dan masalah pelik yang membawa dampak ikutan. Berbagai konferensi dan perundingan internasional sudah dilakukan. Namun hingga kini, masalah Suriah seolah tidak menemukan solusi yang berarti.

Tantangan Berat

Secara faktual, lamanya revolusi di Suriah ini menunjukkan adanya tantangan yang berat, yang menurut beberapa kalangan dianggap sebagai kelanjutan dari Arab Spring.

Dugaan beratnya revolusi di jantung fertile cresent ini adalah, karena lokasi revolusi berada di pertemuan dua konflik besar di Timur Tengah: Arab Spring dan invasi Amerika Serikat di Irak. Upaya menggulingkan rezim Bashar Assad oleh para kelompok bersenjata di Suriah berkelindan dengan perjuangan melawan hegemoni Amerika Serikat yang salah satunya melahirkan kelompok ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) atau Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL).

Kelompok Bersenjata Suriah Sulit Bersatu

Dengan medan konflik yang meluas, tak hanya persoalan Suriah, namun juga beririsan dengan kepentingan-kepentingan lainnya, maka inilah yang menjadikan kelompok-kelompok revolusioner di Suriah, termasuk faksi-faksi bersenjatanya, sulit untuk bersatu.

Awalnya, pihak yang melawan rezim Bashar Assad bersatu di bawah naungan Suriah National Council (SNC). Sayap bersenjata terhimpun dalam Tentara Pembebasan Suriah Free Syrian Army (FSA), yang anggotanya berasal kelompok-kelompok bersenjata dan tentara rezim yang membelot terhadap pemerintah Suriah.

Kemudian muncul kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Supreme Military Council (SMC) yang didukung Barat. Juga terdapat Syrian Revolutionary Front (SRF), yang komandan utamanya, Jamal Maarouf, bersekutu dengan Arab Saudi. Selain mereka, ada Tentara Islam/Jaisy al-Islam, sebuah koalisi baru dari faksi moderat yang disponsori oleh Qatar. Mereka terus bekerja sama dengan CIA dan intelijen Saudi serta Qatar. Jaysh al-Islam ini dibiayai Arab Saudi dan menggunakan personel militer Pakistan untuk melatih anggotanya. Milisi bersenjata ini terdiri atas 60 kelompok bersenjata dan diklaim memiliki 25.000 anggota yang dibentuk untuk melawan ISIS serta Pemerintah Suriah. Kelompok-kelompok ini lebih memfokuskan diri pada wilayah sekitar Ibukota Damaskus dan memiliki pengaruh di wilayah utara Suriah.

Dari kelompok yang menghendaki Revolusi Islam, lahirlah kelompok Jabhah al-Nushrah/Front Nusra, yang memiliki afiliasi dengan Al-Qaeda. Kelompok ini menguasai pedesaan di Aleppo, Idlib dan Hama’ di wilayah barat laut Suriah. Kemudian ada kelompok ISIS. ISIS menguasai wilayah utara dan timur Suriah, khususnya yang berbatasan dengan Irak dan Turki.

Konflik Internal

Keberadaan berbagai kelompok bersenjata ini, apalagi belum kuatnya persatuan di antara mereka, menjadikan secara internal rawan konflik. Sebagai contoh, saat ISIS mendeklarasikan negara Islam pada 29 Juni 2014, perselisihan ISIS dengan beberapa faksi bersenjata di Suriah terlihat makin tajam dari sebelumnya. Konflik baru pun bermunculan. Melansir Al-Arabiya, sebelumnya ada 11 kelompok, yang terdiri dari Liwa al-Jihad fi Sabilillah, Liwa’ ats-Tsuwar ar-Raqqah, Tajammu’ Kataib Manbaj, Al-Jabhah asy-Syarqiyah Ahrar Suriah, dan lainnya. Mereka mengultimatum pihak I’tilaf al-Wathani as-Suri (Oposisi Nasional Suriah) untuk memperoleh senjata untuk melawan ISIS. Kemudian terjadi konflik ISIS dengan Jabhah an-Nushrah. Saat itu ISIS mendapatkan rampasan besar dari pihak Jabhah an-Nushrah dengan melakukan sergapan terhadap konvoi Jabhah an-Nushrah, saat mereka meninggalkan Deir Zour menuju pinggiran Provinsi Himsh. Selain itu, Jaisy al-Islam dari Jabhah al-Islamiyah, yang mendominasi wilayah Ghouthah Timur yang terletak di pinggiran Damaskus, telah melancarkan serangan terhadap pasukan ISIS di wilayah Maida’a. Serangan itu berhasil membuat ISIS keluar dari wilayah tersebut.

Human Rights Watch Suriah menyinggung peningkatan konflik internal di antara kelompok-kelompok bersenjata tersebut, termasuk ISIS, Front Nusra dan FSA (Free Syrian Army). Lembaga pemantau HAM tersebut mengumumkan bahwa bentrokan antarkelompok di berbagai wilayah utara Suriah telah merenggut nyawa sekitar 7.000 orang; 5.641 dari mereka tercatat sebagai bagian dari kelompok bersenjata tersebut.

Konflik antarkelompok bersenjata di Suriah ini mengindikasikan belum satunya visi perjuangan dari faksi-faksi yang ada.

Bergantung pada External Support

Kelompok-kelompok revolusioner di Suriah ternyata juga mendapatkan external support dari pihak luar yang berbeda-beda. Ini   memungkinkan adanya kebergantungan mereka pada pihak luar yang bisa jadi memiliki agenda dan kepentingan tersendiri di Suriah.

Amerika Serikat, Turki, Qatar dan Arab Saudi adalah kekuatan negara asing yang mendukung pihak pelawan rezim. Sebaliknya, Rusia, Iran dan Hizbullah dari Libanon adalah kekuatan asing yang mendukung pemerintahan rezim Bashar Assad. Dukungan mereka dapat berupa bantuan diplomatik, logistik, persediaan senjata hingga kehadiran personel militer di lapangan.

Rusia membantu rezim Assad dengan bentuk mengirim persenjataan militer terbaru. Iran membantu rezim Assad mengirim bantuan dalam bentuk kehadiran tentara rahasia di Suriah. Rusia secara aktif terlibat membantu tentara Suriah. Rusia menyediakan teknologi pengumpulan intelijen, mengirim senjata kepada pasukan Assad dan mempertimbangkan pengiriman s-300 sistem pertahanan udara canggih ke Suriah. Bahkan dalam bantuan serangan terbarunya 2015 ini, prioritas utama Rusia adalah menyerang kelompok Al-Qaeda yang bersekutu dengan Al-Nusra. Rusia menganggap Al-Qaeda lebih berbahaya ketimbang ISIS. Serangan udara Rusia diyakini telah menghancurkan 40 persen infrastruktur kelompok bersenjata di Suriah. Sejak 30 September 2015, atas permintaan Presiden Suriah Bashar al-Assad, Rusia telah melakukan serangan udara ke basis ISIS di Suriah. Dalam melancarkan serangan udara, Rusia mengerahkan pengebom garis depan Su-25, Su-24M, Su-34, dan Su-30 CM. Rusia juga mengerahkan kapal perang yang ditempatkan di Laut Persia. Kepala Direktorat Utama Operasi Angkatan Bersenjata Rusia, Andrey Kartapolov, mengatakan bahwa pasukan Rusia menggunakan amunisi presisi tinggi dalam serangan udara, yang memiliki deviasi maksimum terhadap target kurang dari lima meter. “Semua target sedang diteliti secara mendalam, menggunakan data dari ruang dan intelijen radio-elektronik, footages drone dan informasi dari penyadapan radio. Kami juga menggunakan data dari intelijen Suriah, Iran dan Irak, termasuk sumber yang menyamar,” kata Kartapolov, seperti dikutip Russia Today.

Arab Saudi dan Amerika Serikat juga memberi support berupa persenjataan dan bantuan pelatihan kemiliteran terhadap personel anti-rezim. Presiden Barack Obama, misalnya, menjanjikan akan menggelontorkan dana sebesar US$500 juta atau sekitar 6 triliun rupiah lebih untuk melatih dan mempersenjatai faksi-faksi bersenjata oposisi Suriah yang dianggap ‘moderat’. Amerika menargetkan akan merekrut 5.000 pejuang “moderat” pro-Amerika, namun di lapangan hanya berhasil melatih dan mempersenjatai 54 orang saja. Kemudian, Jenderal Lloyd Austin, komandan militer AS di Timur Tengah, melaporkan bahwa saat ini hanya tersisa empat atau lima saja pejuang oposisi Suriah yang telah dilatih dan dipersenjatai AS, mengingat kelompok Jabhah Nushrah telah menyerang mereka saat 50-an orang pejuang tersebut mencoba kembali ke Suriah. Alhasil, sebagaimana pernyataan sejumlah pejabat AS, program tersebut dinilai gagal total.

Washington juga secara diam-diam telah mendukung langkah Arab Saudi dan Qatar untuk memberikan senjata dan uang tunai kepada kelompok bersenjata untuk melawan ISIS di Suriah. Arab Saudi telah meningkatkan pasokan senjata untuk tiga kelompok pemberontak musuh rezim Presiden Suriah Bashar Assad. Peningkatan pasokan senjata itu terjadi setelah serangan Rusia di Suriah semakin gencar. Pasokan senjata-senjata modern dari Saudi salah satunya senjata anti-tank. Ada tiga kelompok pemberontak Suriah yang menerima pasokan senjata modern dari Saudi yakni, Jaish al-Fatah (Tentara Penaklukan), Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dan Front Selatan. Sebaliknya, kelompok ISIS dan al-Nusra depan tidak menerima pasokan senjata Saudi.

Dengan beragamnya agenda para kelompok revolusioner ini, mereka belum fokus dalam menghancurkan kekuatan Bashar Assad. Justru kondisi yang terjadi pada kelompok-kelompok perjuangan di Suriah ini memberikan peluang bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Revolusi Suriah terutama yang mengarahkan perjuangannya ke Revolusi Islam.

Sedari awal, para pemimpin negara-negara Barat secara terbuka mendorong rezim Suriah dan oposisi menuju Konferensi Perdamaian Jenewa II yang dirancang oleh mereka. Mereka juga membentuk kelompok Friends of Syria dan menyelenggarakan konferensi di Istanbul, Turki. Konferensi Friends of Syria itu meminta NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mendukung paramiliter dengan menyerang pangkalan rudal militer Suriah.

Akar Masalah

Pangkal dari berlarut-larutnya revolusi di Suriah bermuara pada dua: adanya campur tangan negara-negara Barat dalam revolusi ini; adanya perbedaan visi perjuangan dari kelompok-kelompok revolusioner di Suriah.

Pertama: campur tangan negara-negara Barat ini menunjukkan bahwa mereka memiliki agenda masing-masing dalam konflik di negeri tersubur di Timur Tengah ini. Suriah adalah “lahan” kepentingan politis negara-negara Barat di kawasan Timur Tengah. Banyak pihak yang terlibat di sana. Ada Iran, Rusia, Amerika Serikat dan Israel serta tentu saja PBB. Jika dipetakan secara umum, kekuatan di atas terbagi menjadi dua kekuatan utama: (1) Rezim yang berkuasa di Suriah, pimpinan Presiden Bashar al-Assad, yang didukung oleh Iran dan Rusia; (2) Kekuatan oposisi yang ingin menjatuhkan Assad, yang didukung Amerika Serikat, Israel, sejumlah negara Eropa Barat, beberapa negara Islam di Timur Tengah (Arab Saudi dan Qatar) serta negara Islam dari Persia (Turki). PBB melibatkan diri dalam upaya mendamaikan perang saudara di Suriah. Namun, sebagaimana biasa, keberpihakan PBB adalah ke rezim yang berkuasa, atau ke pihak Amerika Serikat.

Kedua: Perbedaan visi perjuangan dari para kelompok revolusioner ini juga tidak bisa ditutup-tutupi. Namun demikian, perbedaan ini berupaya diselesaikan. Salah satunya adalah ketika beberapa faksi Islam yang ikut berjuang di Suriah menandatangani “Piagam Kehormatan Revolusioner”. Piagam yang terdiri dari 11 poin itu menetapkan pengawasan kerja revolusi agar tetap bertujuan untuk menggulingkan rezim Assad. Piagam tersebut ditandatangani oleh beberapa faksi Islam di antaranya, Persatuan Islam Tentara Syam, Tentara Mujahidin, Korps Syam, Front Islam dan Brigade al-Furqon. Isinya menegaskan bahwa tujuan dari revolusi bersenjata di Suriah adalah untuk menggulingkan Rezim Assad. Piagam yang diterbitkan dalam bahasa Arab dan Inggris tersebut menekankan untuk mempertahankan integritas wilayah Suriah, mencegah upaya perpecahan dengan segala cara yang tersedia. Ditegaskan pula, kekuatan revolusi percaya bahwa itu harus menjadi keputusan politik dan militer dalam revolusi. Faksi-faksi Islam tersebut juga menyeru semua kekuatan yang berjuang di Tanah Suriah untuk ikut menandatangani piagam itu agar menjadi satu tangan dalam upaya menggulingkan Rezim Assad yang tiranik.

Menuju Revolusi Islam

Untuk menjadikan Revolusi Suriah menjadi sebagai Revolusi Islam maka mutlak untuk menolak segala bentuk campur tangan negara-negara Barat dalam revolusi rakyat ini. Negara-negara Barat penuh dengan agenda dan kepen-tingan masing-masing di Suriah. Mereka mengerahkan segenap cara untuk dapat me-wujudkan agenda dan kepentingan mereka itu.

Para pejuang revolusi Suriah juga mesti waspada terhadap para penguasa negeri kaum Muslim yang menjadi antek dari negara-negara Barat. Mereka adalah kaki tangan negara-negara Barat untuk dapat mewujudkan kepentingan mereka itu. Revolusi Suriah ibarat proxy war; kadang negara-negara Barat tidak turun langsung untuk memperjuangkan kepentingan mereka, namun menggunakan pihak ketiga.

Kelompok-kelompok revolusioner di Suriah semestinya menyadari bahwa keterpecah-belahan mereka menjadi makanan empuk negara-negara Barat untuk melakukan politik devide et impera. Karena itu persatuan di antara mereka adalah mutlak. Fokus dan bekerjasama dalam satu visi yang sama, kembali pada alasan awal Revolusi Suriah digulirkan, yakni bagaimana rezim yang sewenang-wenang terhadap rakyat dapat ditumbangkan.

Apa yang dilakukan oleh 22 tanzhim jihad dan kelompok revolusioner bersenjata Suriah untuk membentuk “Koalisi Qalamun Barat” di pedesaan Damaskus merupakan hal yang positif untuk menyatukan perjuangan. Wilayah Qalamun merupakan wilayah strategis bagi rezim Suriah. Wilayah itu berada di perbatasan yang menghubungkan Ibukota Damaskus dan Libanon. Koalisi ini berupaya melakukan koordinasi dan merencanakan operasi militer serta meminimalisasi segala kemungkinan buruk bagi mujahidin dalam melancarkan operasi. Tanzhim Jihad dan kelompok revolusioner bersenjata yang tergabung dalam koalisi itu meliputi brigade 11 pasukan khusus yaitu Brigade Mutahabbin Billah, Brigade Ahrar Qalamun, Brigade Usudus Sunnah, Liwa Tahrir Syam, Liwa Tahrir Kalamoon, Liwa Habib Mushtafa dan brigade-brigade lainnya.

Ketika negara-negara Barat penuh dengan agenda dan kepentingannya, maka upaya ikut campur mereka dalam penyelesaian konflik di Suriah tentu tidak terlepas dari agenda dan kepentingannya itu. Apapun bentuknya. Alasan humanitarian, alasan stabilitas kawasan, alasan terrorism, atau alasan lainnya tidak lain hanyalah kedok dari kepentingannya yang tersembunyi.

Karena itu penyelesaian dari konflik Suriah ini, bila arahnya adalah menuju Revolusi Islam, harus difokuskan bukan hanya untuk menumbangkan rezim yang ada, namun harus didorong menuju tegaknya Islam secara kaffah melalui dukungan penuh dari umat Islam yang tak lain adalah kembali tegaknya Khilafah Rasyidah. Insya Allah. Amin. [Dari berbagai sumber]. [Budi Mulyana, S.IP., M.Si.; Dosen Hubungan Internasional UNIKOM Bandung – Mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional UNPAD – LKI DPP HTI]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*