Soal:
Sebagaimana diketahui umum, musibah jatuhnya Crane di Masjidil Haram adalah murni kesalahan kontraktor/pengawas otoritas Saudi sehingga jatuh dan membawa korban. Masing-masing korban pun mendapat santunan dari Kerajaan Arab Saudi [KSA]. Di sini setidaknya ada dua pertanyaan. Pertama: bolehkah diyat diganti dengan santunan? Kedua: Apakah besaran nominal yang diberikan sudah memenuhi jumlah yang semestinya?
Jawab:
Sebelum membahas lebih jauh tentang status “santunan” KSA dan diyat, penting dipahami fakta diyat itu sendiri dalam fikih Islam.
Diyat, dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, artinya uang tebusan yang wajib dibayar karena menghilangkan nyawa atau salah satu anggota badan secara utuh.1 Adapun tebusan untuk sebagian anggota badan yang dihilangkan disebut arsy.2 Istilah diyat ini merupakan istilah syariah karena digunakan oleh nash syariah, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran maupun al-Hadits. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلاَّ خَطَأً، وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أهْلِهِ إلاَّ أَنْ يَصَّدَّقُوْا.
Tak layak seorang Mukmin membunuh Mukmin yang lain, kecuali tersalah. Siapa saja yang membunuh orang Mukmin harus memerdekakan budak Mukminah serta diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka [kelurga korban] bersedekah (QS an-Nisa’ [4]: 92).
مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًا دَفَعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ المَقْتُوْلِ، فَإِنْ شَاؤُوْا قَتَلُوْا، وَإِنْ شَاؤُوْا أَخَذُوْا الدِّيَةَ، وَهِيَ ثَلاَثُوْنَ حِقَّةً، وَثَلاَثُوْنَ جَذْعَةً، وَأَرْبَعُوْنَ خَلِفَةً، وَمَا صُوْلِحُوْا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ.
Siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka diserahkan kepada wali korban. Jika mereka mau, mereka bisa membunuhnya. Jika mereka mau, mereka bisa mengambil diyat, yaitu 30 hiqqah, 30 jadza’ah dan 40 khalifah. Apa yang mereka sepakati (untuk damai) maka itu merupakan hak mereka (HR at-Tirmidzi dari ‘Amru bin Syu’aib). 3
Dalam riwayat lain:
أَنَّ رَجُلاً قَتَلَ، فَجَعَل النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِيَّتَهُ اِثْنَى عَشَرَ أَلْفًا
Seorang pria telah membunuh, lalu Nabi saw. menetapkan atas dia diyat sebesar 12,000 dirham.
Karena itu istilah diyat—seperti istilah “shalat”, “zakat”, “haji” dan “jihad”—merupakan istilah syariah. Dengan demikian istilah ini tidak bisa diganti dengan santunan, atau yang lain, sebagaimana yang digunakan oleh KSA. Bahasa adalah ungkapan [ta’bir] yang mencerminkan apa yang ada di dalam hati. Karena itu istilah ini digunakan untuk memberi gambaran, seolah ini bukan merupakan kesalahan. Padahal jelas-jelas salah. Ini tentang penggunaan istilah diyat diganti dengan santunan.
Diyat itu sendiri dibagi menjadi dua macam: yaitu diyat mughalladhah (diyat berat) dan diyat mukhaffafah (diyat ringan).4 Diyat mughallazhah adalah tebusan yang dibayar dengan sejumlah 100 unta, 40 dari unta tersebut bunting. Diyat ini diberlakukan untuk pembunuhan yang disengaja (qatl ‘amd). Adapun diyat mukhaffafah adalah tebusan yang dibayar lebih ringan, yaitu 100 unta. Diyat ini diberlakukan untuk kasus pembunuhan yang salah (qatl khatha’), atau yang disamakan statusnya dengan qatl khatha’. 5
Membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd) ini ada dua kategori. Pertama: Membunuh yang dilakukan dengan alat atau senjata yang lazim digunakan untuk membunuh seperti pisau, pedang, senjata api dan sebagainya. Kedua: Membunuh dengan alat yang tidak lazim digunakan untuk membunuh, tetapi dilapisi, diisi atau disepuh dengan sesuatu yang bisa digunakan untuk membunuh seperti tongkat yang dilapisi, diisi atau disepuh dengan besi yang berat, atau tongkat yang dipukulkan berulang-ulang hingga korban meninggal dunia. Ini semua merupakan bentuk kesengajaan sehingga dihukumi membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd).6
Adapun membunuh secara tidak sengaja (qatl syibh ‘amd) adalah membunuh dengan alat yang tidak lazim digunakan untuk membunuh seperti dengan tongkat, cambuk, batu kecil, dan lain-lain yang lazimnya memang bukan untuk membunuh. Tujuannya juga untuk memberi pelajaran, bukan untuk membantai; tetapi korban meninggal karena pukulan tersebut.7
Dalam hal membunuh dengan salah (qatl khatha’) bisa dipilah menjadi dua. Pertama: Pembunuhan yang terjadi bukan karena kesengajaan, seperti menembak burung, lalu pelurunya nyasar terkena orang, lalu orang tersebut meninggal dunia. Kedua: Membunuh orang di negeri kafir, seperti di Eropa atau Amerika, yang diduga kuat orang tersebut adalah kafir harbi, ternyata orang tersebut sudah masuk Islam, maka pembunuhan seperti ini dihukumi qatl khatha’. 8
Atau, Mâ ujriya majrâ al-khatha’ (pembunuhan yang disamakan pembunuhan dengan salah), yaitu seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa ia kehendaki, tetapi perbuatan itu telah menyebabkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, orang tidur terbalik dan menimpa seseorang lalu meninggal, atau seseorang jatuh dari ketinggian, kemudian menimpa seseorang dan akhirnya meninggal orang yang tertimpa, atau seseorang yang sedang bermain-main dengan senjata, namun kemudian “lepas”, dan membunuh orang lain, dan sebagainya.9
Terbunuhnya para jamaah haji di Masjidil Haram, Tanah Haram, Hari Jumat, dan pada bulan haram ini akibat jatuhnya crane yang menimpa mereka, karena faktor kelalaian kontraktor, dan pengawasan otoritas KSA di Masjidil Haram, bisa dihukumi sebagai qathl al-khatha’ [membunuh dengan salah], atau mâ ujriya majrâ al-khatha’ [disamakan dengan membunuh dengan salah].
Mengenai diyat-nya itu sendiri, rinciannya sebagai berikut:
1- Bagi orang yang membunuh dengan tersalah (qatl al-khatha’), berdasarkan QS an-Nisa’ (4) ayat 92 di atas, jelas pelakunya wajib membayar diyat dan kafarat sekaligus, yaitu membebaskan budak Mukminah. Jika tidak ada budak, maka kafarat-nya bisa ditebus dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.
2- Jika diyat tersebut dibayar dengan unta, maka jumlahnya adalah 100 ekor unta. Ketentuan 100 unta ini tidak bisa diganti dengan 100 sapi, 100 kambing, atau dikonversi dengan harganya.
3- Jika diyat tersebut dibayar dengan dinar [emas] dan dirham [perak], maka wajib dibayar 1000 dinar, atau 12,000 dirham untuk masing-masing korban. Ini sebagaimana disebutkan dalam Hadis Nabi saw.:
وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفُ دِيْنَارٍ
Bagi orang yang mempunyai emas, wajib membayar 1000 dinar (HR an-Nasa’i).
Dalam riwayat lain:
أَنَّ رَجُلاً قَتَلَ، فَجَعَل النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِيَّتَهُ اِثْنَى عَشَرَ أَلْفًا
Seseorang pria telah membunuh, maka Nabi saw. menetapkan atas dia diyat sebesar 12,000 dirham.
4- Dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja (syibh ‘amd), atau salah (qatl khatha’), diyat-nya dibayar oleh ‘aqilah, yaitu saudara paman dan anak-anak paman pembunuh tersebut, termasuk cucu-cicitnya. Mereka ini dalam ilmu waris juga disebut ‘ashabah.10
5- Namun, karena pembunuhan tersalah tersebut dilakukan di Masjidil Haram, Tanah Haram, Hari Jumat, di bulan haram, maka para fuqaha’ sepakat, diyat-nya harus dilipatgandakan. Meski demikian, detailnya ada perbedaan pendapat.
Jika dikonversi dalam mata uang rupiah, maka 1 dinar secara syar’i beratnya 4,25 gram emas sehingga 1000 dinar sama dengan 4,250 gram emas. Adapun 1 dirham secara syar’i beratnya 2,975 gram perak sehingga 12,000 dirham sama dengan 35,700 gram perak. Jika kita menggunakan dinar, 1000 dinar atau setara dengan 4,250 gram, dengan harga 1 gram emas Rp 512.000, maka nilai diyat yang harus dibayar adalah Rp. 2.176.000.000 (dua miliar seratus tujuh puluh enam juta rupiah).
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ dalam menentukan kelipatan diyat, rinciannya sebagai berikut:
1- Jika korban terbunuh dalam kondisi ihram, di Tanah Haram dan pada bulan haram, maka diyat-nya harus dilipatgandakan. Ini adalah pendapat Abu Bakar, ‘Ustman, Ibn ‘Abbas, Said bin Jubair, ‘Atha’, Thawus, as-Sya’bi, Mujahid, Sulaiman bin Yasar, Jabir bin Zaid, Qatadah, al-Auza’i, Malik, as-Syafii, Ishaq dan Ahmad bin Hanbal.11
2- Besaran nilai diyat dihitung per haram sebesar 1/3 diyat. Jadi kalau pembunuhan tersebut terjadi di tiga haram, yaitu saat ihram, di Tanah Haram, pada bulan haram, maka diyat yang dibayar untuk perorang tidak hanya 1000 dinar, tetapi ditambah 1/3 dari 1000 dinar dikalikan tiga, sehingga nilainya menjadi 2000 dinar; atau menjadi 2 diyat, bukan hanya 1 diyat. Adapun Ibn ‘Abbas berpendapat, masing-masing haram dikenakan 4000 dirham sehingga total 12.000 Dirham.12
3- Taghlidh [kelipatan] ini diberlakukan untuk qathl al-khatha’, bukan yang lain. Ini pendapat mazhab Syafii.13
Hanya saja, selain pendapat tentang taghlidh ini, ada juga yang berpendapat, tidak adanya taghlidh. Ini adalah pendapat al-Hasan, as-Sya’bi, an-Nakha’i, Abu Hanifah, Ibn al-Mundzir dan al-Jurjani.14 Pada akhirnya semuanya kembali kepada Khalifah, mana di antara kedua hukum syariah tersebut yang diadopsi. Ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para fuqaha’. Di antara sunnah yang ingin dihidupkan kembali adalah mengadopsi pendapat tujuh fuqaha’ Madinah. Mereka mengatakan bahwa diyat harus dilipatgandakan jika dilakukan pada bulan haram dan di Tanah Haram, sebesar 4000 dirham per haram sehingga menjadi 12,000 dirham.15
Dengan demikian jika dihitung jumlah diyat yang harus dibayar, dan Khalifah menetapkan Taghlidh, berarti nilainya sebesar Rp 2.176.000.000 (Dua miliar seratus tujuh puluh enam juta rupiah) untuk 1 diyat. Karena kasus ini terjadi di Masjidil Haram, Hari Jumat, di Tanah Haram dan pada bulan haram maka:
1- Jika korban tidak sedang ihram, setidaknya dihitung 2 haram. Masing-masing haram dikenakan 1/3 diyat atau Rp 725.333.333 x 2 = Rp 1.450.666.666 (Satu miliar empat ratus lima puluh juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam rupiah). Total jumlah yang semestinya dibayar adalah Rp 3.626.666.666 (Tiga miliar enam ratus dua puluh enam juta enam ratus enam puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam rupiah).
2- Jika korban sedang ihram maka dihitung 3 haram sehingga total 1 diyat penuh, ditambah 1 diyat asal. Dengan demikian jumlah diyat yang harus dibayar untuk perkorban yang sedang ihram sebesar Rp 4.352.000.000 (Empat miliar tiga ratus lima puluh dua juta rupiah).
Adapun “santunan” yang dibayar oleh KSA hanya sebesar SAR 1 juta atau Rp 3,8 miliar (Tiga miliar delapan ratus juta rupiah) perorang. Untuk korban yang tidak sedang ber-ihram jumlah tersebut tentu sudah memadai. Namun, bagi yang sedang ber-ihram, tentu belum memadai, atau kurang Rp 552 juta perorang.
Inilah rincian hukum fikih menurut para fukaha. WalLâhu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996, hal. 188.
2 Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Ibid, hlm. 189.
3 Unta Hiqqah adalah unta yang berusia 3 tahun, dan memasuki usia 4 tahun. Unta Jadza’ah adalah unta yang usianya telah 4 tahun sempurna, dan memasuki usia 5 tahun. Adapun unta khalifah adalah unta betina yang sedang bunting.
4 Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqubât, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hlm. 111.
5 Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Ibid, hlm. 111.
6 Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Ibid, hlm. 89-90.
7 Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Ibid, hlm. 99.
8 Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hlm. 100.
9 Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hlm. 100.
10 Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Ibid, hlm. 101.
11 Al-‘Allamah Muwaffaquddin Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Beirut, cet. I, II/. 2082.
12 Al-‘Allamah Muwaffaquddin Ibn Qudamah, Ibid, II/2082.
13 Al-‘Allamah Muwaffaquddin Ibn Qudamah, Ibid, II/2082.
14 Al-‘Allamah Muwaffaquddin Ibn Qudamah, Ibid, II/2082.
15 Al-‘Allamah Muwaffaquddin Ibn Qudamah, Ibid, II/2082.