Al-Mahkûm ‘alayhi secara bahasa berarti obyek hukum, yakni pihak yang menjadi obyek pemberlakuan hukum syariah. Dalam istilah para ulama ushul, Dr. Muhammad al-Habsyi dalam Syarh al-Mu’tamad, menjelaskan al-mahkûm ‘alayhi adalah seseorang yang diseru Allah SWT berkaitan dengan perbuatannya.
Imam al-Ghazali di dalam Al-Mustashfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl, Imam al-Amidi dalam al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, dan Imam asy-Syaukani dalam Irsyâd al-Fuhûl menjelaskan al-mahkûm ‘alayhi adalah al-mukallaf. Artinya, al-mahkûm ‘alayhi adalah pihak yang dibebani hukum syariah atau pihak yang mendapat taklif (beban) hukum.
Al-Mahkûm ‘alayh: Seluruh Manusia
Al-Mahkûm ‘alayh atau al-mukallaf itu adalah seluruh manusia, Muslim atau non-Muslim. Hal itu ditunjukkan oleh banyak sekali dalil syariah. Di antaranya, Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (QS Saba’ [34]: 28).
Rasul saw. juga bersabda:
كَانَ كُلُّ نَبِىٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ
Dulu para nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sementara aku diutus kepada manusia yang berkulit putih dan hitam (HR Muslim dan al-Baihaqi).
Nash-nash itu secara jelas menyatakan, Rasul saw. diutus kepada seluruh manusia. Artinya, risalah yang beliau bawa ditujukan untuk seluruh manusia. Risalah itu mencakup akidah (iman) dan syariah (hukum-hukum). Pengkhususan pada sebagian cakupan risalah itu, misalnya hanya pada seruan iman saja tanpa hukum-hukum, memerlukan nash yang mengkhususkannya. Faktanya, tidak ada nash yang mengkhususkan-nya sehingga seruan risalah yang mencakup akidah dan syariah itu berlaku untuk seluruh manusia, baik Muslim maupu kafir.
Seruan terhadap seluruh manusia dengan hukum-hukum syariah secara gamblang dinyatakan oleh banyak nash. Allah SWT menyuruh manusia untuk beribadah kepada-Nya dan untuk mengerjakan haji:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian (QS al-Baqarah [2]: 21).
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran [3]: 97).
Ini artinya, seluruh manusia diseru dengan hukum-hukum furâ’iyah. Lebih dari itu, Allah SWT menjelaskan, setiap manusia tergadai pada perbuatannya. Itu artinya seluruh manusia dibebani dengan hukum-hukum tentang perbuatannya (Lihat: QS al-Mudatstsir [74]: 38).
Allah SWT juga menjelaskan orang musyrik masuk neraka karena melanggar hukum-hukum furû’iyah, di antaranya tidak menunaikan zakat, tidak menegakkan shalat dan tidak memberi makan orang miskin. Allah SWT berfirman:
وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِينَ (6) الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang musyrik (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat (TQS Fushshilat [41]: 6-7).
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِين
“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.” (QS al-Mudatstsir [72]: 42-44).
Dari semua itu jelas sekali, seluruh manusia diseru dengan hukum-hukum syariah. Dengan demikian, al-mahkûm ‘alayhi atau al-mukallaf adalah seluruh manusia. Ini dari sisi seruan.
Adapun dari sisi pelaksanaan hukum oleh orang kafir dan dari sisi penerapan hukum terhadap mereka dan paksaan terhadap mereka untuk menjalankannya maka ada rincian. Dari sisi pelaksanaan hukum tanpa paksaan terhadap mereka maka harus dilihat. Jika hukum-hukum itu oleh nash Asy-Syâri’ dalam pelaksanaannya disyaratkan Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji, seluruh ibadah dan semisalnya, maka orang kafir tidak boleh melaksanakan itu dan dilarang dari melaksanakannya. Sebab, syarat pelaksanaannya adalah Islam. Contoh lain, menjadi penguasa atas kaum Muslim, menjadi qâdhi atas kaum Muslim, kesaksian orang kafir atas masalah hak finansial seperti utang, dan hukum lain yang nash syariah menyatakan tidak boleh dari orang kafir dan bahwa syaratnya adalah Islam.
Selain yang demikian, yakni yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan Islam, maka orang kafir boleh dan tidak dilarang melaksanakannya. Misalnya, berperang bersama kaum Muslim, kesaksian dalam masalah akad seperti jual-beli, pengobatan, perkara-perkara teknis dan masalah lainnya yang tidak disyaratkan Islam di dalamnya. Ini dari sisi pelaksanaan dari mereka tanpa paksaan.
Adapun dari sisi penerapan hukum oleh negara dan paksaan terhadap mereka untuk menjalankannya maka di situ juga ada rincian. Jika hukum itu termasuk hukum yang seruannya bersifat umum dan tidak dibatasi dengan syarat iman maka harus dilihat: jika hukum itu tidak boleh dilakukan kecuali dari seorang Muslim karena Islam menjadi syarat di dalamnya atau termasuk hukum yang orang kafir dibiarkan tidak melakukannya, maka dalam dua kondisi ini orang kafir tidak dipaksa melaksanakannya dan hukum itu tidak diterapkan pada mereka. Mereka dibiarkan tetap kafir, tidak dijatuhi sanksi dan tidak dipaksa menjadi muslim. Mereka tidak dibebani shalat kaum Muslim, tidak dilarang dari ibadah mereka, tempat suci atau tempat ibadah mereka tidak dihancurkan. Rasul saw. membiarkan semua itu terhadap Nasrani di Yaman, Bahrain, Najran. Jadi mereka dibiarkan dengan keyakinan dan ibadah mereka. Hukum jihad tidak diterapkan atas mereka. Mereka tidak dipaksa ikut berperang. Mereka dibiarkan meminum khamr, memakan daging babi karena seperti itulah mereka pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin yang menunjukkan para sahabat berijmak atas hal itu.
Jika hukum-hukum itu, Islam tidak menjadi syarat dalam keabsahan dan tidak ada nash yang menunjukkan hukum itu tidak diterapkan atas mereka, maka mereka dituntut melaksanakannya, hukum itu diterapkan atas mereka, mereka dipaksa melaksanakannya dan disanksi jika tidak melaksanakannya. Sebab, mereka diseru dengan hukum-hukum secara umum dan hukum itu tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman seruan itu.
Rasul saw. menerapkan hukum-hukum itu terhadap orang kafir. Dalam muamalah, mereka diperlakukan sesuai hukum Islam. Dalam hal sanksi ‘uqûbât, mereka dijatuhi sanksi atas kemaksiatan atau kejahatan yang mereka lakukan. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas ra., bahwa Rasul saw menjatuhkan hukuman qishâsh terhadap seorang wanita Yahudi yang mejepit kepala seorang hamba sahaya perempuan dengan dua buah batu. Jabir bin Abdullah juga menuturkan:
رَجَمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ وَرَجُلاً مِنَ الْيَهُودِ وَامْرَأَتَهُ
Nabi saw. merajam seorang laki-laki dari Bani Aslam dan seorag laki-laki dari Yahudi dan istrinya (HR Muslim).
Hadis ini, masih banyak nash lainnya, menunjukkan bahwa Nabi saw. menjatuhkan sanksi terhadap orang kafir seperti terhadap orang Muslim. Hal itu menunjukkan orang kafir dipaksa melaksanakan hukum-hukum syariah dan terhadap mereka diterapkan hukum sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim; orang kafir diharuskan dengan hukum-hukum sebagaimana kaum Muslim dalam hal muamalah, ‘uqûbât, dan hukum-hukum lainnya. Tidak ada hukum yang dikecualikan untuk mereka kecuali yang dikecualikan oleh syariah dari sisi penerapan dan pelaksanaan, bukan dari sisi khithâb (seruan); yaitu hukum yang Islam menjadi syarat keabsahan pelaksanaannya dan yang ditetapkan oleh nash bahwa orang kafir tidak dipaksa atasnya. Selain yang demikian maka hukum-hukum itu dituntut dari mereka dan mereka dipaksa melaksanakannya.
Syarat Taklif
Islam bukan menjadi syarat taklif hukum-hukum furû’, kecuali nash menyatakannya khusus atas kaum Muslim. Namun, ada syarat umum taklif yang berlaku bagi Muslim maupun kafir, yakni mukallaf itu harus orang yang mampu melakukan apa yang ditaklifkan, balig dan berakal. Rasul saw bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ
Diangkat pena dari tiga golongan: dari orang yang tidur hingga ia bangun; dari orang gila hingga ia waras; dan dari anak kecil hingga ia balig (HR al-Baihaqi).
Hadis dengan makna yang sama, dengan redaksi sedikit berbeda juga dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibu Majah, an-Nasai, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya.
Adanya syarat mampu karena Allah SWT berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
Lalu bagaimana dengan anak kecil dan orang gila yang tetap wajib baginya zakat, dan semisal? Jawabannya, kewajiban itu tidak berkaitan dengan perbuatan anak kecil atau orang gila itu, tetapi berkaitan dengan harta dan dzimmah-nya yang merupakan mahal taklîf. Lagipula diangkatnya pena itu secara jelas dinyatakan “hattâ yablugha (sampai dia balig) atau hattâ yufîqa –sampai dia waras)”. Itu menyatakan ‘illat, yaitu kecil dan hilangnya akal. Hal itu tidak mungkin ada pada harta dan dzimmah, sehingga tidak dikecualikan dari taklif. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]