Hate speech, ujaran kebencian. Itulah ungkapan yang saat ini digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk mengerem daya kritis masyarakat. Sejak Kapolri mengeluarkan surat edaran Nomor SE/06/X/2015 soal hate speech (ujaran kebencian), suara-suara kritis diberikan warning.
Ada apa sebenarnya? Realitas menunjukkan bahwa kondisi Indonesia berada dalam bahaya. Kontrak Freeport segera diperpanjang hingga tahun 2041. Tenaga kerja Cina mulai membanjiri negeri Muslim terbesar ini. PHK terjadi. Buruh menuntut. Bahkan sebagian orang mengatakan Indonesia ini darurat korupsi, darurat narkoba, bahkan darurat anak. Di tengah kondisi seperti ini muncul suara-suara kritis. Amin Lubis, Ketua Perti, mengatakan kepada saya beberapa waktu lalu, “Indonesia kini laksana gadis cantik yang diperebutkan Cina dan AS. Indonesia dalam ancaman. Harus diselamatkan.”
Hal senada disampaikan oleh KH Cholil Ridwan. Pengasuh PP Husnayain ini mengatakan, “Kalau syariah membolehkan putus asa, saya putus asa. Tapi, syariah melarang itu. Kita ini sedang menghadapi banyak persoalan. Dari internal ada persoalan Ahmadiyah, Syiah dll. Dari eksternal ada komunis yang mulai menggugat bahkan menuntut negara meminta maaf kepada mereka atas Peristiwa 1965.”
Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia tersebut menambahkan, “Kita perlu tokoh Muslim yang kuat. Sekarang kita tidak punya. Di samping kita membahas, perlu berbuat sesuatu yang berpangkal pada rasa persaudaraan. Kata kuncinya: ukhuwah islamiyah setelah akidah, syariah, dan akhlakul karimah. Rasul saw. melalui baiat mu’akhakh memunculkan kekuatan. Ukhuwah islamiyah ini yang kini tidak kita miliki. Mengurusi rumah masing-masing, tetapi ketika di jalan bersama-sama. Mari kita tentukan common enemy. Musuh bersama yang menghalangi tegaknya Islam.”
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, berulang menegaskan, “Indonesia ini sedang terancam. Terancam oleh apa? Terancam oleh neoliberalisme dan neoimperialisme.”
Ya, penjajahan gaya baru tengah bekerja dengan massif di negeri Muslim terbesar ini. Pada 12 November 2015 lalu, ada acara di Jakarta bertajuk, “Gerakan Selamatkan NKRI” dari cengkeraman asing. Muchlis dari Muhammadiyah mengkhawatirkan, “Umat Islam Indonesia justru dianggap sebagai ancaman. Rezim sekarang merupakan tangan mereka. Komunis menyusup dari berbagai kegiatan masyarakat. Perpanjangan kontrak Freeport sudah ditandatangani oleh Sudirman Said. Bahkan bila tidak selektif, maka dikhawatirkan buruh-buruh dari Cina yang dimasukkan ke Indonesia bisa jadi militer atau narapidana.”
Hate speech atau ujaran kebencian ini tidak jelas, bahkan dapat dijadikan alat membungkam kebenaran. Karena itu wajar, kekhawatiran muncul dari berbagai kalangan. Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron (18/11/15) mengungkapkan, “Pihak kepolisian jangan sampai membelokkan tujuan dari surat edaran tersebut untuk menangkap orang saja. Yang utama adalah tingkatkan pencegahan, sosialisasi kepada masyarakat.”
Hal senada disampaikan Maneger Nasution, yang juga Komisioner Komnas HAM, “Polisi sebaiknya harus berhati-hati. Sebab, pasal ini multitafsir, pasal karet. Berpotensi disalahgunakan sesuai pesanan.”
Diakui atau tidak, Indonesia sedang menuju kehancuran. Perlu diselamatkan. Dengan apa? Sosialisme-Komunisme terbukti gagal. Kapitalisme tengah sekarat. Satu-satunya solusi hanyalah Islam. Namun sayang, justru isu yang digembar-gemborkan adalah Islam itu merupakan ancaman. Ini semua untuk menghalangi tegaknya Islam. Untuk menutupi kebenciannya terhadap Islam dibuatlah istilah Islam radikal, Islam transnasional, Islam ekstrem, dll. Tengok saja, belum apa-apa, Ketua Umum AJI, Suwarjono menuding, “Kami menyayangkan Polri justru abai terhadap berbagai ujaran kebencian bahkan ancaman kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal.”
Orang akan mudah untuk mengklaim suatu ungkapan dakwah sebagai ‘ujaran kebencian’. Betapa tidak. Cakupan yang dapat dikategorikan sebagai hate speech menyangkut aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat) dan orientasi seksual. Kegiatannya pun luas sekali meliputi orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah keagamaan, media cetak maupun elektronik, pamflet. Jadi, bila seseorang mengatakan bahwa kaum homoseks dan lesbian itu merupakan perbuatan kaum Nabi Luth yang dikutuk oleh Allah SWT, boleh jadi dianggap sebagai ujaran kebencian. Alasannya, ‘itu kebencian terhadap orientasi seksual seseorang’. Jika seorang ustadz menyampaikan dalam ceramah bahwa Ahmadiyah yang menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Rasul setelah Muhammad saw. merupakan aliran sesat, dapat saja diklaim sebagai ‘ujaran kebencian’ karena dipandang membenci aliran keagamaan tertentu. Apalagi secara fakta, kaum liberal senantiasa membela aliran-aliran sesat tersebut.
Sebaliknya, bila mereka menunjukkan ‘kebencian’ kepada kelompok yang mereka sebut ‘radikal’ boleh jadi dibiarkan saja dengan berbagai dalih. Wajar belaka, bila isu ‘ujaran kebencian’ ini dijadikan alat untuk membungkam kebenaran Islam. Tentu ini bukan mengada-ada. Pada tahun 2005, Tony Blair, Perdana Menteri Inggris menyatakan Islam sebagai ideologi setan, “What we are confronting here is an evil ideology.” Pengikut pandangan itu kini berkeliaran di Indonesia.
Menyikapi hal ini, para pengemban dakwah Islam justru semakin yakin akan kebenaran Allah SWT. Kita senantiasa ingat firman Allah Rabbul ‘Alamîn (yang artinya): Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak berkehendak selain menyempurna-kan cahayanya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak suka (TQS at-Taubah [9]: 32).
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]