Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat tanggal sampai 25- 28 Oktober 2015 lalu menyisakan berbagai persoalan. Sejak keberangkatan, kunjungan jokowi ke AS menunjukkan ketidakseriusan dan ketidakpedulian dia terhadap penderitaan rakyat dan problematika dalam negeri. Ini karena kunjungan dilakukan di tengah bencana kabut asap yang menimbulkan korban jutaan rakyat Sumatera dan Kalimantan. Kunjungan itu juga berbarengan dengan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) tahun 2016.
Penyambutan kedatangan Presiden Jokowi di bandara yang sangat sederhana—sehingga tidak ada pejabat selevel menteri Amerika Serikat yang hadir untuk menyambut Jokowi—menunjukkan pelecehan AS terhadap Presiden Jokowi. Bahkan isu tidak sedap kemudian muncul, bahwa pertemuan Jokowi dengan Obama menggunakan jasa calo. Hal ini terungkap melalui dokumen surat perjanjian yang disampaikan pengajar ilmu politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies, Universitas London, Michael Buehler. Dokumen itu mengungkap kunjungan Jokowi untuk bertemu Presiden Obama menggunakan jasa pelobi, yaitu Pereira International PTE LTD dengan membayar 80 ribu dolar AS.
Hasil kunjungan Jokowi ke AS itu juga tidak banyak memberikan manfaat bagi rakyat, tetapi malah makin mengokohkan penjajahan ekonomi AS terhadap Indonesia.
Agenda dan Hasil Kunjungan
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Lestari Marsudi menegaskan dalam konferensi pers di Washington DC, bahwa kunjungan Presiden Jokowi ke AS sebenarnya dilakukan untuk mengokohkan kesepakatan Indonesia dan Amerika yang telah menjalin hubungan khusus lewat kesepakatan “US-Indonesia Comprehen-sive Partnership” atau “Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika” sejak tahun 2010. Kesepakatan itu ditandatangani langsung oleh menteri luar negeri kedua negara kala itu: Hillary Clinton dan Marty Natalegawa. Kesepakatan itu meliputi kerjasama politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemitraan Komprehensif Indonesia – Amerika esensinya adalah penjajahan komprehensif Amerika terhadap Indonesia, khususnya di bidang politik dan ekonomi. Kunjungan bulan Oktober yang lalu menunjukkan dengan jelas bahwa hasilnya, dari sudut pandangan ekonomi, hanya mengokohkan dominasi AS dalam mengekploitasi sumberdaya alam Indonesia, khususnya di bidang tambang dan migas.
Inilah beberapa hasil kunjungan Jokowi selama kunjungan kontroversialnya ke AS bulan Oktober lalu:
- Meningkatkan kerjasama bilateral Indonesia dan Amerika Serikat khususnya di bidang investasi dan perdagangan.
Kunjungan Jokowi ke Amerika Serikat sebenarnya lebih mirip sebagai kunjungan bisnis ketimbang kunjungan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan. Jika dihitung secara keseluruhan, dari empat hari kunjungan itu, kira-kira hanya setengah hari dipakai untuk urusan politik pemerintahan dan kenegaraan. Selebihnya adalah urusan dengan para pengusaha. Presiden Jokowi bertemu dengan para fund managers, yaitu para pengusaha yang menghimpun dan menginvestasikan dana. Hasil pertemuan dengan para kapitalis Amerika Serikat tersebut menghasilkan 18 deal bisnis senilai 20,075 miliar dolar AS. Senilai 15.075 miliar dolar AS di antaranya terdiri dari:
- Perjanjian jual-beli gas alam cair (LNG) antara Pertamina dan Corpus Christie Liquefaction senilai 13 miliar dolar AS, untuk pengiriman LNG ke FSRU Lampung bagi kebutuhan gas di wilayah barat Indonesia dan LNG Terminal untuk Indonesia Timur.
- Ekspansi Phillip Morris sebesar 1,9 miliar dolar AS (500 juta dolar AS untuk belanja modal dan 1,4 miliar dolar AS berupa penerbitan saham baru Sampoerna). Belanja modal tersebut untuk perluasan pabrik dan perkantoran serta investasi yang akan dilakukan dalam kurun waktu tahun 2016-2020.
- Coca Cola juga akan investasi 500 juta dolar AS untuk perluasan dan penambahan produksi, pergudangan, distribusi, dan infrastruktur minuman ringan selama 2015-2018.
- Rencana pengembangan lahan “shale gas” Eagle Ford, Fasken milik Swift Energy yang akan dilakukan oleh Saka Energi dengan Swift Energy di Webb County, Texas dengan nilai sebesar 175 juta dolar AS.
- Kesepakatan bisnis PT PLN (Persero) dengan General Electric, yaitu PLN Gorontalo dengan General Electric dengan nilai sebesar 100 juta dolar AS untuk pembangunan 100 MW gas turbin dan cydepower di Gorontalo.
- Kerjasama Universitas Udayana dengan Skychaser Energy untuk konservasi air dan reduce power consumption dengan nilai sebesar 30 juta dolar AS.
- Kerjasama BNI syariah dengan Master Card untuk peluncuran kartu debit haji dan umrah yang diselenggarakan oleh BNI Syariah dengan Master Card.
- Kesepakatan bisnis senilai 4.547 dolar AS yang terbagi dalam tiga grup. Grup pertama: PT PLN (Persero) dengan UPC Renewables; Cikarang Listrindo dengan General Electric; PT Indonesia Power dengan General Electric; dan PT PLN Batam (Persero) dengan General Electric. Grup kedua: PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan General Electric; PT PLN (Persero) dengan Caterpillar; rencana perluasan investasi Cargill pada tahun 2015-2019; dan pembangunan Remanufacturing Facility untuk Cylinder Head di Cileungsi, Bogor oleh Caterpillar. Grup ketiga: Perum Peruri dengan Crane Currency; Perum Peruri dengan Jarden Zinc; PT Pertamina dengan Bechtel Corporation; dan Kilat Wahana Jenggala dengan Hubbell Power Systems.
Yang menjadi pertanyaan: Apakah 18 deal bisnis yang bernilai 20.057 miliar dolar AS itu akan menguntungkan dan meningkat kesejahteraan rakyat Indonesia? Itu kelihatannya hanya menguntungkan para kapitalis, sementara rakyat tetap akan dirugikan. Apalagi menurut Menteri ESDM Sudirman Said, 11 kerjasama itu di antaranya dari sektor ESDM, yaitu investasi di bidang ketenagalistrikan, energi bersih dan migas. Investasi di bidang tambang migas dan tenaga kelistrikan sebenanrya lebih banyak merugikan rakyat. Ini karena: Pertama, tidak banyak menyerap tenaga kerja sehingga tidak akan mampu mengurangi pengangguran yang terjadi saat ini. Kedua, para Investor dengan prinsip kapitalis—yaitu meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya—telah mengakibatkan kerusakan ekosistem dan lingkungan alam serta lingkungan sosial. Ketiga, selama ini Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau kontrak karya selalu berpihak dan menguntungkan investor, tetapi merugikan Pemerintah dan rakyat. Dalam kasus Freport di Papua, misalnya, Pemerintah Indonesia hanya mendapatkan 18,72 %. Itu pun 9,36%-nya milik swasta. Bagian terbesarnya dimiliki Freepoort. Keempat, dalam bidang kelistrikan masuknya investasi asing telah menyebabkan liberalisasi listrik yang mengakibatkan harga tarif listrik naik.
Selain itu, investasi asing yang berlebihan apalagi pada industri-industri strategis membuat negara ini menjadi tidak berdaulat dan mudah dipermainakn oleh para investor sehingga ekonomi sangat rentan dengan krisis. Inilah yang sering terjadi. Rupiah sewaktu-waktu bisa terpuruk akibat permainan para kapitalis asing baik dalam bentuk investasi langsung maupun investasi tidak langsung.
- Indonesia bergabung dalam Pakta Perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP).
Hasil kedua kunjungan Jokowi ke Amerika Serikat adalah kesediaan Jokowi untuk bergabung dengan Trans Pacific Partership (TPP), yaitu Pakta yang meliputi negara-negara Asia Pasifik. Saat ini anggotanya 12 negara: Amerika Serikat, Australia, Brunei, Chile, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, New Zealand, Peru, Singapura dan Vietnam. Komitmen Indonesia bergabung dengan kerjasama perdagangan bebas di kawasan Pasifik tersebut disampaikan Jokowi kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama saat berkunjung ke Gedung Putih, di Washington DC, Senin siang waktu setempat atau Selasa dinihari (27/10) waktu Indonesia.
Jokowi mengungkapkan dua pertimbangan Pemerintah Indonesia untuk bergabung dengan TPP. Pertama: Ekonomi Indonesia adalah ekonomi terbuka. Kedua: Dengan penduduk sebanyak 250 juta orang, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Padahal, menurut pengamat ekonomi Muhammad Ishak, bergabungnya Indonesia dengan TPP akan sangat merugikan karena AS dan negara-negara maju akan memaksimalkan perjanjian tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja domestik melalui peningkatan ekspor ke negara-negara anggota TPP. Dengan adanya TPP, sekitar 18,000 tarif impor barang negara-negara anggota akan dipangkas. Berbagai hambatan non tarif juga akan dikurangi. TPP juga akan membuka keterlibatan negara-negara anggota untuk terlibat dalam pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah. Produk-produk dari negara maju seperti AS akan sangat diuntungkan dalam liberalisasi ini, tetapi akan sangat merugikan Indonesia. Pasalnya, Pemerintah Indonesia tidak melakukan upaya apapun untuk melindungi dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk dalam negeri. Berikut beberapa di antaranya:
Pertama, menurunkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Produk yang kompetitif ditopang banyak hal mulai dari inovasi, keunggulan teknologi, biaya input yang murah termasuk modal. Dengan demikian, produk-produk manufaktur terutama yang berteknologi menengah atas seperti mesin, elektronik dan farmasi, jelas akan dimenangkan oleh negara-negara maju seperti AS, Jepang dan Kanada. “Adapun industri-industri yang kurang kompetitif seperti yang banyak dijumpai di Indonesia di atas kertas akan kalah bersaing sehingga akan berdampak pada penurunan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja,” beber Muhammad Ishak.
Kedua, Indonesia akan semakin bergantung pada produk impor pertanian. Produk-produk pertanian dari AS, Australia dan New Zaeland juga memiliki banyak keunggulan dibandingkan negara lain seperti Indonesia karena selama ini dukungan pemerintahnya terhadap sektor pertanian sangat tinggi. Dengan demikian, produk-produk pertanian dan peternakan yang berasal negara-negara itu seperti kedelai, jagung, kentang, buah-buahan, daging sapi dan susu akan lebih mudah masuk ke Indonesia. “Produsen-produsen domestik jelas akan kalah bersaing sehingga akan mendorong penurunan kegiatan di sektor pertanian. Jika demikian, ketergantungan impor akan semakin tinggi,” ungkap Muhammad Ishak lagi.
Ketiga, bertentangan dengan Islam. “Hal yang lebih mendasar dari semua itu adalah perjanjian liberalisasi ekonomi bertentangan dengan Islam. Apalagi perjanjian ini diinisiasi oleh AS yang merupakan negara terdepan dalam menjajah negeri-negeri Muslim dewasa ini,” tegasnya lagi (Mediaummat.com).
- Pembicaraan tentang perpanjangan kontrak dengn Freeport.
Kunjungan Jokowi dan Sudirman Said ke Amerika Serikat juga diisukan akan bertemu dengan Bos Freeport untuk membicarakan perpanjangan kontrak Freeport yang akan habis Tahun 2021. Rencana ini langsung dibantah oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang mengatakan tidak ada agenda tersebut. “Menteri ESDM Sudirman Said tidak jadi berangkat. Jadi, tidak ada spekulasi mengenai Freeport,” kata Pramono, Faktanya ternyata berbeda. Sudirman tetap terbang ke Negara Paman Sam dan bertemu petinggi Freeport. Jelas ini adalah sebuah kebohongan publik. Hasilnya, sudah hampir bisa dipastikan kontrak Freeport akan diperpanjang walaupun dengan berbagai persyaratan. Sudah bisa dipastikan pula syarat-syarat itu tidak akan sepenuhnya dipenuhi oleh Freeport. Faktnya, Freeport selama ini sudah beberapa kali melanggar, di antaranya selama tiga tahun berturut-turut tidak membayar dividen dan tidak membangun smelter.
Penutup
Jelaslah, hasil kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat yang menggunakan uang rakyat bukan untuk kepentingan rakyat. Bahkan kunjungan tersebut semakin mengokohkan penjajahan ekonomi oleh para kapitalis asing, khususnya dominasi Amerika Serikat atas ekploitasi sumberdaya alam Indonesia sehingga rakyat akan semakin sengsara dan menderita.
Karena itu masihkah kita berharap pada sistem demokrasi kapitalis yang melahirkan penguasa yang licik dan penuh kebohongan? Belum sadarkah kita bahwa sistem dan rezim demokrasi kapitalis hanya melahirkan harapan-harapan palsu?
WalLâhu a’lam. [Dr. Alimuddin Yasir Ibrahim]