Jumat (13/11/2015) waktu setempat, serangan telah terjadi di Paris. Tak tanggung-tanggung, serangan dilakukan di 6 titik, secara terpisah, pada waktu bersamaan. Korbannya 153 tewas dan 300 luka-luka. Menariknya, pelaku bom bunuh diri meninggalkan jejak: paspor berkebangsaan Suriah.
Tak lama setelah insiden ini, PM Perancis, Manuel Valls (13/11/2015) langsung mengeluarkan pernyataan, bahwa serangan ini diatur dari Suriah (BBC Indonesia, 17/11). Pernyataan ini dikuatkan dengan klaim ISIS sebagai pihak yang melakukan serangan ini.
Peristiwa ini terjadi dua hari menjelang KTT G-20 di Antalya, Turki, Ahad (15/11). Di sela-sela KTT G-20, Presiden AS Barack Obama bertemu PM Turki Erdogan. Setelah pertemuan itu Obama menyatakan, “Kedua pemimpin sepakat untuk menunjukkan solidaritas kepada Prancis dalam melacak pelaku serangan di Paris dan akan meningkatkan kekuatan untuk menumpas jaringan jihadis tersebut.”
Hal yang sama dilakukan Obama dengan Raja Salman, KSA. Seorang pejabat AS, seperti dikutip AFP (15/11), menyatakan, pembicaraan dengan Raja Salman meliputi klaim ISIS di balik serangan di Paris.
Obama juga melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengenai masalah yang sama. Pihak Gedung Putih mengatakan, kedua pemimpin itu sepakat, bahwa konflik di Suriah mendesak dicarikan jalar keluar menyusul serangkaian Serangan Paris. Disebutkan, dua pemimpin negara-negara besar itu setuju perlunya gencatan senjata dan transisi politik di Suriah. Obama menyambut segala usaha untuk menentang ISIS dan menyerukan kepada Rusia untuk memusatkan perhatian pada kelompok itu dalam operasinya di Suriah. Namun, seorang pejabat Rusia mengatakan, negaranya dan Amerika masih mempunyai perbedaan tentang taktik yang seharusnya digunakan dalam memerangi ISIS (BBC, 16/11).
Setelah Serangan Paris ini, pesawat tempur Prancis menyerang Raqa, Suriah. Dikutip dari AFP, Senin (15/11/2015), ini merupakan serangan udara pertama Perancis melawan ISIS setelah aksi teror kelompok itu di Paris. Sebanyak 12 pesawat tempur, termasuk 10 pengebom, menjatuhkan 20 bom ke target. Obama dan Erdogan, setelah peristiwa ini, secara terbuka menyatakan akan meningkatkan kekuatan untuk menumpas jaringan jihadis tersebut (14/11).
Peta “Serangan Paris”
Jika ada yang mengatakan bahwa Serangan Paris ini merupakan Operasi ‘False Flag (Bendera Palsu)’, pernyataan ini ada benarnya. Operasi ‘False Flag’ adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan atau organisasi, yang dirancang untuk muncul seolah-olah ini dilakukan oleh entitas lain, untuk membenarkan menuju ke arah peperangan melawan orang-orang yang telah dituduh oleh mereka.
Pertama: Serangan di 6 titik, serentak dan waktu yang sama, dilakukan di negara sekaliber Perancis dan intelijen negara itu tidak bisa mengendusnya, tentu aneh, bahkan aib.
Kedua: Pelaku bom bunuh diri, yang potongan jarinya ditemukan, diketahui bernama Omar Ismail Mostefai (29 tahun), telah diinformasikan oleh Kepolisian Turki kepada Kepolisian Prancis dua kali, pada Desember 2014 dan Juni 2015, tetapi tak ditanggapi. Mostefai yang dilahirkan di kawasan miskin Paris, Courcouronnes, 21 November 1985, pernah didakwa atas delapan kejahatan ringan antara tahun 2004 dan 2010, namun tidak dipenjara (AFP, 16/11).
Ketiga: Terjadi dua hari menjelang KTT G-20 di Antalya, Turki, juga bukan momen kebetulan.
Keempat: Senin (16/11) sebanyak 12 pesawat tempur, termasuk 10 pengebom, menjatuhkan 20 bom ke target di Raqqa, Suriah.
Kelima: Prancis pun langsung mengirim Kapal Induk Charles de Gaulle ke Mediterania Timur untuk meningkatkan operasi di Suriah. “Kapal Induk Charles de Gaulle akan berangkat ke Mediterania Timur pada hari Kamis. Dengan kapasitas lebih banyak, tiga kali lipat,” kata Francois Hollande di depan anggota Parlemen di Versailles, Prancis seperti dilansir AFP, Selasa (17/11/2015).
Semua ini sudah cukup untuk membuktikan apa, siapa dan motif di balik Serangan Paris yang sesungguhnya. Siapapun pelakunya, Serangan Paris ini jelas telah menjadi justifikasi kebijakan Prancis untuk meningkatkan serangannya ke Suriah. Ini seperti cara AS ketika menginvasi Irak dan Afganistan, setelah Serangan WTC 9/11/2001. Srangan Paris ini juga digunakan untuk menggalang dukungan Eropa, juga negara-negara G-20, terhadap rencana AS dan sekutunya di Suriah. Bagi Prancis, ini merupakan momentum untuk meraih lebih banyak keuntungan di Suriah dan seluruh dunia, sebagaimana yang diraih AS di Irak dan Afganistan, pasca 9/11.
Arah dan Tujuan “Serangan Paris”
Suriah yang menjadi sasaran serangan bersama AS, Rusia dan Prancis saat ini berpotensi menjadi ancaman besar bagi kepentingan Barat di Dunia Islam. Bukan karena ISIS, tetapi karena Revolusi Syam yang diberkati, yang telah berlangsung 5 tahun dan belum berhasil mereka padamkan. Berbagai skenario untuk menggagalkan revolusi ini telah gagal.
Kelompok Jihadis yang disebut Obama, yang hendak dihabisi, sesungguhnya bukan ISIS. ISIS baru diproklamirkan 1 Ramadhan 1435 H di Suriah. Jumlah mereka juga tidak banyak. Mereka hanya kelompok minoritas di Suriah. ISIS justru diciptakan untuk mengoyak front Jihadis yang melawan Bashar Asad, yang tak lain adalah agen AS. Bahkan ISIS juga bekerjasama dengan Bashar Asad dalam penjualan minyak Suriah. ISIS pun telah digunakan untuk melakukan pembusukan citra Khilafah yang juga dicita-citakan oleh front Jihadis dan yang lain. Kali ini ISIS juga digunakan di Prancis untuk mematangkan rencana jahat Koalisi Setan negara-negara penjajah itu.
Semua ini dilakukan setelah berbagai rencana mereka gagal. Dengan ISIS yang diciptakan di Suriah pun ternyata tidak berhasil melemahkan kekuatan front Jihadis. Front Syiah—seperti Iran, Irak dan “Hizbullah” di Libanon yang secara terang-terangan mempertahkan Bashar Asad—juga tidak berhasil. Serangan brutal Rusia, atas restu AS, baik yang pertama maupun kedua, juga tidak berhasil. Berbagai proposal, mulai dari Khafi Anan dan Lakhdram Brahimi juga gagal. Yang terbaru, Proposal De Mistura juga belum berhasil. Begitu juga pembentukan berbagai koalisi untuk menjadi agen, pengganti Bashar, juga gagal, karena ditolak oleh rakyat Suriah.
Semua ini dilakukan setelah eksodus besar-besaran rakyat Suriah ke negara-negara Eropa akhir tahun 2014 lalu; dilakukan setelah Rusia memprakarsai Koalis Turki-Saudi-Suriah-Yordania; setelah Vladimir Putin bertemu Pangeran Amir bin Muhammad Salman (Sky News ‘Arabiyyah, 18/06). Setelah pertemuan ini, Amir bin Muhammad Salman dipertemukan oleh Rusia dengan Ali Mamluk (Kabiro Keamanan Suriah). Bahkan Ali Mamluk terbang ke Riyadh dengan pesawat Rusia (Al-Akhbar, 31/07). Setelah itu diikuti pertemuan tiga Menlu: John Kerry (AS), Sergey Lavrov (Rusia) dan ‘Adil Jabir (Saudi). Dalam pernyataan persnya, setelah pertemuan ini, Kerry menyatakan bahwa ketiganya sepakat atas pentingnya solusi politik dan peranan kelompok oposisi hingga tercapainya solusi (Asy-Syarq al-Awsath, 1/8).
Iran, yang semula terus mempertahkankan Bashar, tetapi setelah melihat perkembangan, tidak mungkin lagi dipertahankan, bersama-sama KSA, yang notabene sama-sama agen AS, akhirnya menjalankan Proposal De Mistura. Gencatan senjata di az-Zabadani (ibukota Provinsi Raif Damaskus), Fu’ah dan Kafarya dilakukan setelah adanya kesepakatan antara Jaisy al-Fath dengan delegasi Iran. Dengan kesepakatan ini, pasukan Mujahidin dan keluarganya dikeluarkan dari az-Zabadani dan seluruh Wadi Barda, Bukain dan Madhaya, yang merupakan urat nadi Rezim Bashar di Damaskus. Tidak hanya itu, senjata mereka juga dihancurkan. Ini berarti, Rezim Asad kembali bisa bernafas lega.
Perlu diketahui, Jaisy al-Fath adalah faksi Mujahidin yang didukung KSA. Mujahidin az-Zabadani sendiri berulang kali meminta bantuan Jaisy al-Fath di Idlib, dan Jaisy al-Islam di Ghouta.
Turki, yang juga merupakan agen AS, dan selama ini tampak mendukung Mujahidin, termasuk menyediakan wilayahnya bagi mereka untuk membuka kantor, sebenarnya berperan besar mengontrol arah perjuangan mereka. Beberapa faksi ini kemudian disatukan dalam sebuah koalisi di bawah pengawasan Robert Ford (delegasi AS). Turki berusaha menghimpun sebanyak-banyaknya faksi seperti Ahrar as-Syam, al-Jaisy al-Hurr, Fashail Islamiyyah, Fashail Turkmaniyyah, bahkan Jabhah Nushrah (Al-Jazeerah.net, 21/8).
Peranan Turki dan Saudi, dalam skenario AS ini, semakin jelas setelah Serangan Paris ini. Selain menjadi tempat memproduksi agen-agen AS, pasca Asad, peranan Turki sangat jelas setelah bergabung dalam Pakta Obama dalam memerangi terorisme. Peranan yang paling menonjol adalah pembukaan pangkalan Incirlik Air Base, milik Turki, untuk pesawat-pesawat AS, Rusia dan sekutunya pasca ledakan di Suruj. Terakhir, Turki diam atas serangan Rusia ke Suriah yang menggunakan wilayah udara Turki, bahkan telah mengganggu 8 pesawat Turki. Namun, Turki tidak melakukan apapun.
Skenario AS vs Eropa
Proposal De Mistura adalah proposal AS. Rusia, KSA, Iran, Suriah, Irak dan terakhir Turki berada dalam satu front AS. Adapun Prancis, Jerman, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya berada dalam satu front. Meski awalnya mereka menginginkan Bashar Asad segera ditumbangkan, bukan untuk mendukung Revolusi Syam, tetapi untuk mengakhiri kekuasaan AS di Suriah. Namun, sebelum Serangan Prancis (Jumat, 13/11), mereka terpaksa mengikuti rencana AS.
Memamng, front AS dan Eropa sepakat dalam satu hal, bahwa Revolusi Syam adalah ancaman bagi mereka. Ini karena keberhasilan Revolusi ini berarti kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah, bukan Khilafah ‘ala ISIS. Ini tampak dari pernyataan Presiden Prancis, “Suriah saat ini bisa dipilah menjadi dua. Sebagian dikontrol oleh Rezim Bashar. Sebagian dikuasai oleh kekacauan dan oposisi, yang tujuan akhirnya adalah Khilafah. Ini akan menjadi masalah terburuk. Untuk itu, kami tidak akan pernah menerima kenyataan ini, dan hal-hal yang mengarah ke sana.” (Al-Waie, no. 187 tahun XV, 1-30 November 2015).
Hanya saja, front Eropa ingin memanfaatkan momentum ini untuk melenyapkan dominasi AS dan antek-anteknya di Suriah. Pada saat yang sama, jika ini tidak berhasil, mereka tetap mempunyai musuh bersama, yaitu ancaman Revolusi Syam, dengan tegaknya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah.
Karena itu Serangan Prancis (Jumat, 13/11) yang diikuti dengan invasi Prancis ke Suriah akan dijadikan sebagai amunisi bagi Prancis dan Eropa untuk: Pertama, menjalankan rencana mereka sendiri, dan keluar dari rencana AS. Kedua, jika ini tidak berhasil, maka momentum ini akan digunakan untuk mengaborsi Rvolusi Suriah, melalui tekanan bertubi-tubi, hingga para Mujahidin itu menyerah. Tekanan itu dilakukan melalui serangan Rusia dan Prancis ke wilayah Suriah. Tekanan itu juga dilakukan di Eropa terhadap para pengungsi Suriah, yang tak lain adalah keluarga Mujahidin. Ditambah tekanan yang akan terus-menerus dilakukan melalui agen-agen AS, baik Iran, Saudi maupun Turki, hingga akhirnya Mujahidin itu menyerah, dan Proposal AS atau Eropa berhasil diwujudkan, lalu Revolusi Syam yang diberkati itu gagal mewujudkan tujuannya: tegaknya kembali Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah.
Mana yang akan berhasil, semuanya sampai saat ini dalam genggaman Allah. Namun, jika Mujahidin di Suriah tetap berpegang teguh pada tujuan mulianya, dan menolak semua proposal AS dan Eropa, termasuk menolak pengkhianatan agen-agen mereka, serta hanya bersandar kepada Allah SWT, dengan izin dan pertolongan-Nya, mereka akan berhasil. Sebaliknya, jika tidak, sejarah akan mencatat, Revolusi Syam yang penuh berkah itu akan berhasil dikubur setelah 5 tahun bergolak.
Hasbuna-Llâhu wa Ni’ma al-Wakîl, Ni’ma al-Mawla wa Ni’ma an-Nashîr. Semoga Allah segera memberikan pertolongan kepada umat Nabi-Nya dengan tegaknya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. [KH Hafidz Abdurrahman]