Ada indikasi kuat Pemerintah akan memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI) yang akan berakhir tahun 2021 nanti. Dalam News Release yang dikeluarkan oleh Freeport-McMoRan pada laman resminya (fcx.com, 10/2015) disebutkan: “The Indonesian government provided a letter of assurance to PTFI in October 2015 indicating that it will approve the extension of operations beyond 2021 and provide the same rights and the same level of legal and fiscal certainty provided under its current Contract of Work. “
Pihak Pemerintah juga telah mengkonfirmasi indikasi perpanjangan kontrak tersebut. Sebagaimana yang diberitakan Kompas (9/10/15), Pemerintah Indonesia melalui Menteri ESDM Sudirman Said telah menyepakati kelanjutan operasi PTFI di kompleks pertambangan Grasberg, Mimika, Papua setelah tahun 2021. Kontrak yang diberikan kemungkinan besar dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sesuai Pasal 83 huruf g UU No. 4/2009 tentang Minerba, IUPK bisa diberikan maksimal 20 tahun dan bisa diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun sehingga totalnya 40 tahun. Jika IUPK tersebut jadi diberikan kepada PTFI mulai tahun 2021 nanti, itu artinya PT Freeport akan mendapatkan legalitas untuk terus menguras kekayaan emas, perak, dan tembaga di Papua hingga tahun 2061.
Penjarahan dan Penjajahan
Keberadaan Freeport McMoRan melalui PTFI di Indonesia bukanlah persoalan bisnis biasa, namun lebih merupakan penjarahan dan penjajahan yang bisa dilihat dari dua hal. Pertama: Sejak awal mula mereka mendapatkan ijin di Papua pada tahun 1967 sudah berpijak pada upaya pemaksaan terhadap Indonesia. Lisa Pease, seorang penulis asal Amerika Serikat, menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA and Freeport Sulphur.” Artikel yang dimuat di Majalah Probe (Maret 1996) dan di situs Real History Archives (realhistoryarchives.com) itu menggambarkan jejak penjajahan Freeport di Indonesia.
Lisa menuturkan bahwa salah seorang dewan direksi Freeport dan Texaco, Augustus C Long, merupakan tokoh di belakang keberhasilan Presiden Johnson pada saat Pemilihan Presiden AS tahun 1964. Atas jasanya tersebut, Long memiliki hubungan khusus dengan Presiden AS Johnson dalam menyusun roadmap politik luar negeri AS. Long inilah yang oleh Lisa disebut sebagai perancang kudeta terhadap Soekarno melalui CIA dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang dia sebut sebagai “our local army friend”. Salah satu bukti yang Lisa paparkan adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada kelompok Jenderal Soeharto yang akan mendesak Angkatan Darat agar merebut kekuasaan dari tangan Soekarno. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi tentang kebenaran peristiwa tersebut.
Menurut penelusuran Lisa, Long berusaha menyingkirkan Presiden Soekarno karena pada tahun 1961 Soekarno mengeluarkan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut disinyalir akan menghambat rencana Freeport di Indonesia. Setelah Presiden Soeharto berkuasa, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan. Atas dasar UU PMA tersebut kemudian pada 7 April 1967 Pemerintah Indonesia menandatanganani kontrak izin eksploitasi tambang di Papua bagi Freeport. Jadi sejak awal, keberadaan Freeport di Indonesia merupakan salah satu fakta intervensi AS di negeri ini.
Kedua: Sejak rezim Orde Baru hinggga rezim Jokowi-JK saat ini tidak ada yang berani mengevaluasi keberadaan Freeport. Bahkan berbagai kebijakan Pemerintah tampak sengaja disesuaikan dengan kepentingan Freeport. Misalnya, sejak semula Freeport melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. UU yang efektif berjalan sejak 12 Januari 2014 tersebut mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun smelter dan melarang ekspor bijih mineral termasuk emas tanpa diolah terlebih dulu di dalam negeri. Sanksi bagi perusahaan tambang yang tidak mau membangun smelter adalah penghentian kontrak karya.
Faktanya, PT Freeport hingga saat ini belum juga membangun smelter. Pemerintah tidak memberikan sanksi apapun terhadap pelanggaran tersebut. Ironisnya, Pemerintahan Jokowi justru memperpanjang MoU dengan Freeport untuk enam bulan hingga Juli 2015 dengan beberapa poin tambahan. Di antaranya, PT Freeport hanya diminta menjamin kepastian pembangunan smelter dengan menunjukkan lokasinya. Menurut Dirjen Minerba Kementerian ESDM Sukhyar (Kompas.com, 24/1), PT Freeport diminta membangun industri hilir berbasis tembaga di Papua sebagai opsi yang lebih mudah dibandingkan dengan membangun smelter di Papua.
Perpanjangan MoU tersebut membuktikan ketidakberdayaan Pemerintahan Jokowi di hadapan PT Freeport. Sesuai UU No. 4/2009 mestinya kontrak PT Freeport telah dicabut karena pelanggaran yang mereka lakukan. Namun, Pemerintah justru memberikan perpanjangan waktu dan mengijinkan PT Freeport untuk tetap mengekspor bijih mineral tanpa diolah terlebih dulu di dalam negeri. Padahal perusahaan tambang nasional termasuk BUMN sekalipun dilarang mengekspor bijih mineral tanpa diolah terlebih dulu di dalam negeri.
Tidak hanya masalah smelter, PT Freeport juga tidak menyetorkan dividen kepa-da Pemerintah tahun 2012, 2013 dan 2014 (Kompas.com, 27/1/2015). Untuk tahun 2014 lalu, misalnya, dari kewajiban memberi dividen Rp 1,5 triliun, realisasi setoran Freeport hanya Rp 350 miliar. Anehnya, Pemerintah tidak memberikan sanksi apapun terhadap berbagai pelanggaran PT Freeport. Hal ini membuktikan bahwa penguasa di negeri ini, sejak Orde Baru hingga rezim saat ini, memang tidak berdaya menghadapi PT Freeport. Sebagaimana artikel Lisa Pease di atas, terkait PT Freeport memang ada intervensi kuat dari Gedung Putih terhadap penguasa di negeri ini.
Stop Freeport!
PT Freeport bisa dengan leluasa mengeruk kekayaan di Papua karena dilegalkan secara sistem, yakni ada payung undang-undang dan berbagai peraturan Pemerintah. Hal ini sebagai konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme-demokrasi di negeri ini. Berdasarkan sistem ekonomi kapitalisme, pengelolaan dan pengusahaan tambang dapat diserahkan kepada swasta termasuk asing. Lalu semua itu dilegalkan melalui UU yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah dalam sistem demokrasi.
Pada proses pembuatan UU semacam itu sering terjadi praktik politik dagang sapi dengan para kapitalis pemilik modal. Karena itu selama ideologi kapitalisme dengan demokrasinya masih diterapkan, penjajahan itu akan terus terjadi. Negeri ini akan terus dieksploitasi. Kekayaannya dijadikan jarahan. Penduduknya dijadikan sebagai sapi perahan. Kasus Freeport di atas adalah salah satu contoh dampak buruk penerapan sistem kapitalisme dan demokrasi tersebut.
Keharusan Sistem Islam
Dalam sistem Islam, kekayaan alam yang berlimpah berupa barang tambang, migas, laut dan hutan merupakan harta milik umum (milkiyyah al-‘âmmah). Harta ini harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum (Lihat: Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, 2005, hlm. 215-220). An-Nabhani mengacu pada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa seorang Sahabat Abyadh bin Hammal ra. pernah bertutur bahwa: Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. Lalu ia meminta (tambang) garam. Ibn al-Mutawakkil berkata, “(Maksudnya tambang) yang ada di Ma’rib.” Beliau kemudian memberikan tambang itu kepada dia. Ketika dia pergi, seseorang di majelis itu berkata (kepada Nabi saw.), “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan? Sesungguhnya Anda memberi dia (sesuatu laksana) air yang terus mengalir.” Ibn al-Mutawakkil berkata, “Rasul lalu menarik kembali (tambang itu) dari dia (Abyadh bin Hamal).” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Hadis ini menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir (al-ma’u al-‘iddu). Sikap pertama Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasulullah saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasulullah saw. kemudian mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan sebagai harta milik umum. Semua harta milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Atas dasar ini, pemberian ataupun perpanjangan ijin kepada swasta/asing untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk PT Freeport, bertentangan dengan sistem Islam. Menurut sistem Islam, tambang yang berlimpah haram diserahkan kepada swasta apalagi asing.
Andaikata sejak awal negeri ini menerapkan sistem Islam, maka dua hal buruk berikut ini tidak akan terjadi.
Pertama: PT Freeport tidak akan mendapatkan ijin menjarah kekayaan alam negeri ini. Kenyataannya, di bawah payung sistem kapitalisme, PT Freeport dapat leluasa menguasai miliaran ton bijih mineral yang terdiri dari emas, perak, dan tembaga sejak tahun 1967. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport di Grasberg Mimika Papua merupakan yang terbesar di dunia. Gambaran besarnya produksi tambang PT Freeport di Papua dapat dilihat pada laporan resmi Freeport-McMoran yang secara ringkas disajikan pada tabel di bawah ini.
Jenis Tambang (PT Freeport Indonesia) |
9 Bulan (Januari – September) |
|||
Tahun 2014 |
Tahun 2015 |
|||
Emas (ribu ounces) | Produksi |
776 |
887 |
|
Penjualan |
802 |
891 |
||
Rataan harga per-ounce |
US $ 1,248 |
US $ 1,149 |
||
Tembaga (juta pounds) | Produksi |
465 |
551 |
|
Penjualan |
484 |
549 |
||
Rataan harga per-pounds |
US $ 3.09 |
US $ 2.45 |
||
Sumber: News Release – Freeport-McMoRan (fcx.com, 10/2015). |
Berdasarkan data pada tabel di atas, pada periode Januari – September 2015 saja, PT Freeport sudah menikmati produksi emas sebanyak 887 ribu ounces atau 25.15 ton emas (1 ounce = 28,35 gram) dan produksi tembaga sebanyak 551 juta pounds atau 250 ribu ton tembaga (1 pound = 453,59 gram). Bisa dibayangkan, berapa besar kekayaan tambang di Papua yang mereka keruk sejak 1967. Parahnya lagi, semua itu dilegalkan di bawah payung undang-undang sistem kapitalisme.
Kedua: Negara bisa mendapatkan dana yang cukup besar dari pengelolaan kekayaan alam termasuk tambang di Grasberg Papua. Faktanya, dengan sistem kapitalisme, negara justru hampir tidak mendapatkan bagian apapun dari tambang tersebut. Pemerintah Indonesia hanya menguasai 9.36% saham PT Freeport. Sisanya sebesar 90.64% dikuasai oleh Freeport McMoRan dan anak perusahaannya PT Indocopper Investama. Royalti yang diterima oleh Pemerintah juga sangat kecil, hanya 1% – 3,5% dari total produksi bersih PT Freeport. Ironisnya, pada saat PT Freeport terus berpesta menguras kekayaan alam di Papua, Indonesia justru terjerumus pada beban utang yang sudah sangat mengkhawatirkan. Seperti yang diberitakan oleh okezone.com, per Oktober 2015 utang luar negeri Indonesia sudah mencapai USD 303,2 miliar atau Rp 4.162,4 triliun (kurs USD 1 = Rp 13.728).
Penutup
Akar persoalan kerugian rakyat dan negara akibat dikurasnya emas, perak, dan tembaga di Grasberg Papua oleh PT Freeport adalah penerapan sistem kapitalisme-demokrasi di negeri ini. Untuk itu, sistem kapitalisme-demokrasi harus dicabut dan diganti dengan sistem Islam. Selama sistem kapitalisme-demokrasi diterapkan di negeri ini, maka rakyat dan negara akan terus menanggung kerugian; para kapitalis swasta dan asing akan terus pula dilegalkan oleh undang-undang produk demorasi untuk mengeruk berbagai kekayaan alam.
Hanya saja, untuk menerapkan sistem (syari’ah) Islam tersebut secara kâffah membutuhkan institusi Negara. Itulah Khilafah Islamiyah. Tanpa Khilafah, kaum Muslim tidak akan mampu mencampakkan sistem kapitalisme-demokrasi karena negara-negara Barat, khususnya AS dan Eropa, akan terus menjaga kelanggengan sistem mereka. Sebab, melalui penerapan sistem kapitalisme-demokrasi, mereka bisa terus mencengkeram negeri-negeri Muslim secara ekonomi dan politik. Karena itu perjuangan penegakan syari’ah dan Khilafah dapat dipandang pula sebagai upaya menyelamatkan negeri ini dari berbagai bentuk penjajahan. Hanya melalui penerapan syariah secara kâffah dalam payung institusi Khilafah, seluruh pengelolaan sumberdaya alam, termasuk tambang di Grasberg Papua, akan dapat dilakukan dengan benar untuk mencapai kesejahteraan rakyat. WalLâhua’lam bi ash-shawâb. [Dr. Ir. M. Kusman Sadik]