(Tafsir QS at-Takwir [81]: 1-5)
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ (1) وَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ (2) وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ (3) وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ (4) وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ (5)
Jika matahari digulung. Jika bintang-bintang berjatuhan. Jika gunung-gunung dihancurkan. Jika unta-unta bunting ditinggalkan (tak dipedulikan). Jika binatang-binatang liar dikumpulkan (QS at-Takwir [81]: 1-5).
Surat ini dinamai Surat At-Takwîr, diambilkan dari salah satu kata pada ayat pertama: kuwwirat. Surat ini terkategori Makkiyyah.1 Menurut riwayat adh-Dhurais, an-Nahhas, Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Surat ini turun di Makkah.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah dan Ibnu Zubair hal yang sama.2 Menurut asy-Syaukani dan al-Alusi, tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.3
Surat ini kembali memberitakan berbagai peristiwa dahsyat pada Hari Kiamat. Ahmad, at-Tirmidzi (ia menilainya hasan), Ibnu al-Mundzir, ath-Thabarani, al-Hakim (ia menilainya shahih), dan Ibnu Mardawi dari Ibnu Umar ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ رَأْىُ عَيْنٍ فَلْيَقْرَأْ (إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ) وَ (إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ) و (إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ)
Siapa saja yang ingin menyaksikan Hari Kiamat seolah-olah dia melihat dengan matanya, hendaklah dia membaca QS at-Takwir, QS al-Infithar dan QS al-Insyiqaq.4
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Idzâ asy-syamsy kuwwirat (Jika matahari digulung). Peristiwa pada Hari Kiamat yang disebutkan pertama oleh surat ini adalah tentang matahari.
Kata idzâ merupakan zharf li al-mustaqbal (kata keterangan waktu untuk menunjukkan masa yang akan datang) yang berkaitan dengan jawabannya: ‘alimat (ayat 14). Demikian pula dengan semua zharf yang di-áthf-kan kepadanya.5
Asy-Syams adalah kata yang menunjuk pada benda langit yang bersinar terang pada siang hari. Jumlahnya hanya satu. Itulah matahari. Menurut ayat ini, suatu saat kelak matahari yang amat besar dan bersinar terang tersebut kuwwirat.
Kata kuwwirat merupakan al-mabnî li al-majhûl (kata kerja pasif yang pelakunya tidak disebutkan) dari kata kawwara; bentuk masdar-nya adalah at-takwîr. Menurut al-Qurthubi, asy-Syaukani dan al-Qinuji, kata at-takwîr bermakna al-jam’ (menghimpun atau mengumpulkan); yang diambil dari kalimat: Kâra al-‘imâmah ‘alâ ra’sihi yakûruhâ (dia menggulung dan melipat sorban di kepalanya; dia sedang menggulung sorban tersebut).6 Menurut al-Khazin, asal at-takwîr adalah mengumpulkan bagian dari sesuatu dengan bagian lainnya.7
Al-Zajjaj juga memaknai kata ini dengan ungkapan, “Luffat, kamâ tulaffu al-‘imâmah’ (digulung, sebagaimana sorban digulung). Dikatakan, ‘Kawwartu al-‘imâmah ‘alâ ra’sî ukawwiruhâ kawr[an] (Aku menggulung sorban di kepalaku, yakni aku menggulung sorban itu hingga terlipat).’ Abu Ubaidah juga berkata, ‘Kuwwirat’ seperti melipat sorban, menggulung sehingga terhimpun.’”8
Dengan demikian makna kalimat idzâ asy-syams kuwwirat dapat dipahami bahwa ketika itu matahari digulung.
Menurut sebagian ulama lainnya, kata kuwwirat di sini bermakna dihilangkan sinarnya sehingga menjadi gelap dan tidak bercahaya. Al-Hasan berkata, “Sinarnya hilang.” Pendapat yang sama juga dikemukakan Qatadah, Mujahid, dan Ibnu Abbas.9 Demikian pula dengan Ubay bin Kaab dan Ali bin Abi Thalib.10
Ada pula yang memaknai kuwwirat di sini dengan dilemparkan atau dihempaskan. Karena itu asy-syams kuwwirat berarti matahari dilemparkan atau dihempaskan. Abu Shalih dan Rabi’ bin Khutsaim adalah di antara yang menyatakan pendapat ini.11 Ibnu Abu Zaid juga menafsirkannya, “Jatuh di bumi.”12
Dengan demikian, sebagaimana dikemukakan asy-Syaukani, terdapat tiga penafsiran tentang kata kuwwirat dalam ayat ini, yakni: digulung bendanya, digulung cahayanya (dihilangkan cahayanya, pen.), dan dilemparkan.13
Ibnu Jarir ath-Thabari berupaya menghimpun semua penafsiran tersebut. Menurut ath-Thabari, kata kuwwirat menurut orang Arab adalah mengumpulkan bagian dari sesuatu kepada bagian lainnya, seperti halnya takwîr al-‘imâmah (menggulung atau melipat sorban), yakni menggulung sorban itu di atas kepala; atau seperti takwîr al-kârah, yakni mengumpulkan bagian pakaian dengan bagian lainnya serta menggulungnya. Demikian pula dengan firman Allah SWT: Idzâ al-syams kuwwirat. Maknanya adalah mengumpulkan satu bagiannya pada bagian lainnya, menggulung dan melemparkannya. Bila itu dilakukan terhadap matahari, maka lenyaplah sinarnya. Dengan penafsiran demikian, semua pendapat yang dikemukakan oleh para mufassir tersebut menjadi benar. Sebab, ketika matahari digulung dan dihempaskan maka lenyaplah sinarnya.14
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ an-nujûm [i]nkadarat (Jika bintang-bintang berjatuhan). Kejadian dahsyat juga akan menimpa pada an-nujûm (bintang-bintang). Kata an-nujûm merupakan bentuk jamak dari kata an-najm. Kata ini menunjuk pada benda-benda langit yang bersinar dan tampak pada malam hari selain rembulan. Jumlahnya amat banyak bertaburan di angkasa.
Menurut ayat ini, benda-benda langit itu juga akan mengalami peristiwa yang amat dahsyat, yakni inkadarat. Makna asal kata al-inkidâr adalah al-inshibâb (tertuang, tertumpah).15 Asy-Syaukani menyitir perkataan: Inkadara ath-thâyr min al-hawâ (burung terjatuh dari udara), ketika menukik.16
Oleh karena itu, menurut asy-Syaukani, makna wa idzâ an-nujûm [in]kadarat adalah tahâfat wa [i]nqadhat wa tanâtsarat (bergururan, berjatuhan dan berserakan).17 Ibnu Katsir pun memaknai inkadarat di sini sebagai inkatsarat (jatuh berserakan). Menurut Ibn Katsir, ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Infithar (82) ayat 2.
Mengenai makna ayat ini, al-Kalbi dan Atha‘ berkata, “Pada saat itu langit menjatuhkan bintang-bintang hingga tidak tersisa satu pun bintang kecuali jatuh di bumi.”18
Dengan demikian pada Hari Kiamat semua bintang-bintang itu berjatuhan berserakan.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wa idzâ al-jibâl suyyirat (Jika gunung-gunung dihancurkan). Kata al-jibâl merupakan bentuk jamak dari kata al-jabal, artinya gunung.
Menurut ayat ini, gunung-gunung itu suyyirat. Kata suyyirat merupakan majhûl dari kata sâra (berjalan). Secara bahasa kata suyyirat berarti dijalankan. Tentang makna ayat ini, para mufassir seperti al-Qurthubi, asy-Syaukani dan al-Samarqandi menytakan bahwa gunung-gunung itu dicabut dari bumi dan dijalankan di udara. Di antara yang semakna dengan ayat ini adalah QS al-Kahfi (18) ayat 47.19
Ibnu Katsir juga menafsirkan ayat ini, “Gunung-gunung itu dihilang dari tempatnya, diruntuhkan, sehingga bumi menjadi datar dan rata.”20
Peristiwa ini juga diberitakan dalam QS an-Naba‘ (78) ayat 20 dan QS an-Nam (27) ayat 88. Itulah peristiwa yang akan terjadi pada gunung-gunung.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ al-‘isyâr ‘uththilat (Jika unta-unta bunting ditinggalkan [tak dipedulikan]). Kata al-‘isyâr merupakan bentuk jamak dari kata ‘usyarâ`. Kata tersebut menunjuk pada unta yang sedang bunting sepuluh bulan hingga melahirkan.21 Secara bahasa, kata ‘usyarâ` berasal dari kata ‘asyrah (sepuluh).
Menurut Ibnu Katsir, al-‘isyâr adalah unta yang paling berharga.22 Menurut al-Khazin, hewan tersebut merupakan harta yang paling berharga menurut Bangsa Arab ketika itu.23 Bahkan ditegaskan ar-Razi, tidak ada yang lebih disukai oeh bangsa Arab melebihi unta yang sedang bunting. Bangsa Arab diseru dengan urusan unta bunting karena harta mereka yang paling banyak dan penghidupan mereka dari unta.24 Meskipun yang disebutkan unta, menurut Abdurrahman as-Sa’di, maknanya mencakup semua harta yang berharga.25
Menurut ayat ini, harta yang amat berharga dan disenangi itu uththilat. Menurut Mujahid, makna uththilat adalah turikat wa suyyibat (ditinggalkan dan dibiarkan berkeliaran). Ubay bin Kaab dan adh-Dhahhak berkata, “(Maknanya) ditelantarkan oleh pemiliknya.”26
Al-Qinuji juga berkata, “Makna ‘utthilat adalah turikat hamal[an] bilâ râi’ wabilâ halb (dibiarkan berkeliaran tanpa ada penggembalanya dan tanpa diperah susunya).”27
Menurut az-Zamakhsyari, “(Maknanya) dibiarkan berjalan-jalan dan berkeliaran.”28
Menurut adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan uththilat (diabaikan, tak dipedulikan) di sini adalah ‘aththalahâ ahluhâ (diabaikan atau tidak dipedulikan oleh pemiliknya) lantaran sibuk dengan urusan mereka masing-masing.29
Menurut al-Qurthubi dan as-Samarqandi, ini merupakan permisalan. Sebab, pada Hari Kiamat tidak ada unta yang bunting sepuluh bulan. Yang dimaksudkan dari permisalan ini adalah: Sesungguhnya dahsyatnya Hari Kiamat dalam suatu keadaan yang seandainya ada seseorang memiliki unta yang bunting sepuluh bulan, dia akan membiarkan unta itu dan sibuk dengan dirinya sendiri.30 Realitas ini menggambarkan betapa dahsyatnya peristiwa pada Hari Kiamat.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ al-wukhûsy husyirat (Jika binatang-binatang liar dikumpulkan). Kata al-wukhûsy merupakan bentuk jamak dari kata al-wakhsy, yakni hewan darat yang karakternya tidak jinak dengan manusia.31 Dengan kata lain, al-wakhsy adalah hewan-hewan yang buas dan liar. Menurut al-Alusi, maksud dari ungkapan tersebut mencakup semua binatang secara mutlak.32
Ketika itu al-wukhûsy atau binatang-binatang liar itu husyirat. Menurut al-Qurthubi, kata husyirat berarti jumi’at (dikumpulkan). Sebab, kata al-hasyr bermakna al-jam’.33 Menurut al-Alusi, peristiwa semua binatang itu dikumpulkan terjadi sebelum tiupan pertama, ketika ada api keluar serta membuat manusia dan berlari hingga berkumpul.34 Menurut az-Zamakhsyari, semua binatang tersebut dikumpulkan dari semua tempat. Qatadah berkata, “Semuanya dikumpulkan hingga lalat untuk qishâsh.”35
Tentang adanya qishâsh terhadap sesama binatang, diberitakan dalam sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ الْجَمَّاءَ لَتُقَصُّ مِنَ الْقَرْنَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya hewan-hewan yang tidak bertanduk akan diberi hak qishâsh (membalas) terhadap hewan-hewan yang bertanduk pada Hari Kiamat (HR Ahmad).
Menurut Fakhruddin ar-Razi, semua hewan itu dikumpulkan adalah untuk menunjukkan keadilan.36
Peristiwa Dahsyat
Pada Hari Kiamat, berbagai peristiwa amat dahsyat akan terjadi. Matahari yang amat besar, dengan cahayanya yang amat terang, akan digulung dan dihempaskan. Sinarnya akan padam. Bintang-bintang yang bertaburan di angkasa akan jatuh berserakan hingga tak tersisa satu pun. Gunung-gunung yang berdiri kokoh dan menjadi pasak bagi bumi akan dicabut, digerakkan bahkan diterbangkan laksana awan. Ketika itu gunung-gunung dihancurkan menjadi debu (QS al-Mursalat [77]: 10), bahkan dihancurluluhkan hingga menjadi debu yang beterbangan (QS al-Waqi’ah [56]: 5-6); atau seperti tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan (QS al-Muzzammil [73]: 14), atau seperti bulu yang beterbangan (lihat QS al-Ma’arij [70]: 9).
Ketika terjadi semua peristiwa yang mengerikan itu, semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Harta paling berharga, yang dalam kehidupan biasa amat disenangi dan dicari-cari manusia hingga menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya, ketika itu ditinggalkan dan ditelantarkan. Unta-unta yang sedang bunting pun ditinggalkan begitu saja. Jangankan unta, orang-orang yang selama di dunia dicintai juga akan ditinggalkan, seperti saudara, ayah dan ibu, istri dan anak-anak (QS Abasa [80]: 34-36). Bahkan semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang mereka susui (QS al-Hajj [22]: 2).
Binatang-binatang buas dari berbagai arah dikumpulkan menjadi satu. Menurut sebagian mufassir, ayat ini semakna dengan QS al-An’am (6) ayat 38. Dalam ayat ini diberitakan bahwa semua binatang di bumi akan dihimpunkan kepada Allah SWT.
Demikianlah berbagai peristiwa dahsyat pada Hari Kiamat. Semua peristiwa yang diberitakan oleh ayat-ayat ini pasti terjadi. Tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya, termasuk oleh orang-orang yang mengingkari dan mendustakannya. Mereka pasti akan merugi dan celaka. Sebaliknya, beruntunglah orang-orang yang mengimani dan menyambut kedatangannya dengan iman dan amal salih. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (tt: Dar Thayyibah, 1999), 8/328; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, (Beirut: Dar Ihya` Turats al-‘Arabiy, 1994), 4/397; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H), 31/63.
2 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 5/469; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 15/253.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469.
4 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469; juga dalam al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 15/253.
5 Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’rab al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 30/253; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 5/523.
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 19/227; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469; al-Qunuji, Fat-h al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 15/93.
7 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, 4/397.
8 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 19/227; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/328.
10 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 23/238.
11 Athl-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, 23/238; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/328.
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/328.
13 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 15/253.
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, 23/238.
15 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, 23/238; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 31/63; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8/328; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469; al-Qunuji, Fat-h al-Bayân, 15/93.
16 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469.
17 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469; al-Qunuji, Fat-h al-Bayân, 15/93.
18 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, 4/397.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19/227; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5/469; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: t.t.), 550.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8/328.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19/227; al-Qunuji, Fat-h al-Bayân, 15/93; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 10/412.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8/330; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 15/253.
23 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, 4/397.
24 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 31/63.
25 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân (Muassasah al-Risalah, 2000), 912.
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, 8/330.
27 Al-Qunuji, Fat-h al-Bayân, 15/94.
28 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 4/707.
29 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19/229.
30 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19/228-229; aS-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 3/550.
31 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 31/64; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 15/255.
32 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 15/255.
33 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19/229.
34 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 15/255.
35 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/707.
36 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 31/64.