(Tafsir QS at-Takwir [81]: 6-10)
وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ * وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ * وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ * بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ * وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ *
Jika lautan dipanaskan atau dijadikan meluap; jika ruh-ruh dipertemukan; jika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh; dan jika catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka (QS at-Takwir [81]: 6-10).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Wa idzâ al-bihâr sujjirat (Jika lautan dipanaskan atau dijadikan meluap). Kata al-bihâr merupakan bentuk jamak dari kata al-bahr. Kata al-bahr, menurut al-Raghib al-Asfahani, pada asalnya menunjuk semua tempat luas yang menghimpun air yang amat banyak.1
Ayat ini memberitakan bahwa ketika itu lautan mengalami sebuah peristiwa, yakni:sujjirat. Ada beberapa penjelasan para mufassir tentang makna sujjirat di sini. Pertama, lautan tersebut dinyalakan dan dipanaskan. Penafsiran ini dikemukakan oleh Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Zaid, al-Syamr bin Athiyah, dan Sufyan.2Asy-Syaukani berkata, “Dinyalakan hingga menjadi api yang berkobar.”3Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Abdurrahman as-Sa’di.4
Kedua, airnya menghilang. Di antara yang menafsirkan demikian adalah Qatadah dan adh-Dhahhak. Mereka berkata, “Sujjirat berarti air laut itu berkurang hingga habis dan akhirnya tidak tersisa setetes pun.” Al-Hasan juga berkata, “Sujjrat berarti yabisat (kering).”5
Ketiga, meluap. Rabi’ bin al-Khuts’am, al-Kalbi dan adh-Dhahhak—dalam riwayat lainnya—adalah di antara yang menafsirkan demikian.6Ar-Rabi’ bin Khuts’am berkata, “Sujjirat artinya faydhânat (banjir).7
Ibnu Jarir ath-Thabari lebih memilih pendapat ini. Mufassir tersebut berkata, “Pendapat yang tepat mengenai ini adalah pendapat yang menafsirkannya sebagai penuh hingga meluap, kemudian luber dan mengalir. Ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: Wa idz al-bihâr fujjirat (Jika lautan dijadikan meluap, QS al-Infithar [82]: 3). Selain itu orang Arab jika mengatakan masjûr, maka ungkapan itu untuk menyebut sungai yang airnya penuh.8
Syihabuddin al-Alusi mengambil semua penfasiran tersebut. Menurut beliau, air laut itu dipanaskan hingga airnya surut dan terlihat api di tempatnya. Oleh karena itu sesungguhnya laut adalah penutup Neraka Jahannam; atau airnya penuh hingga sebagian mengaliri sebagian lainnya, lalu air asin (laut, pen.) dan air tawar (sungai, danau, dll, pen.) bercampur menjadi satu lautan.9
Kemudian Allah SWT berfirman: Waidzâ an-nufûs zuwwijat (jika ruh-ruh dipertemukan). Kata an-nufûs merupakan bentuk jamak dari kata an-nafs. Menurut al-Asfahani, kata an-nafs bermakna al-rûh(nyawa). Makna ini seperti dalam firman Allah SWT: Akhrijû anfusakum (Keluarkanlah nyawamu, QS al-An’am [6]: 93).10 Selain itu an-nafs juga berarti sesuatu yang memiliki jasad dan ruh.11
Dalam ayat ini diberitakan bahwa ketika itu an-nufûs zuwwijat. Ada beberapa penafsiran tentang makna ayat ini. Pertama, ruh-ruh mereka dipertemukan dengan jasad-jasad mereka. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abu al-‘Aliyah, Ikrimah, Said bin Jubair, dan asy-Sya’bi.12
Kedua, setiap jiwa atau orang dikumpulkan bersama orang-orang yang memiliki amal yang serupa. Umar bin al-Khaththab pernah ditanya tentang makna ayat ini. Beliau menjawab, “Orang-orang shalih dipertemukan dengan orang shalih lainnya di dalam surga; dan orang jahat dipertemukan dengan orang jahat lainnya di dalam neraka. Itulah yang dimaksud dengan jiwa-jiwa dipertemukan.”13
Ibnu Abbas juga berkata, “Hal itu terjadi ketika setiap orang dikumpulkan menjadi tiga kelompok, yakni: orang-orang yang dikumpulkan lebih dulu menjadi satu pasangan, golongan kanan menjadi satu pasangan, dan golongan kiri menjadi satu pasangan.”14
Juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang yang serupa dari penghuni surga maupun neraka akan dipertemukan. Lalu orang yang lebih banyak taatnya akan dikumpulkan dengan orang yang semisal dengan dia. Orang yang setengah-setengah akan dikumpulkan dengan orang yang semisal dengan dia pula. Demikia pula ahli maksiat, dikumpulkan dengan orang semisal dengan dia. Dengan demikian memasangkan berarti mengumpulkan mereka dengan sesuatu yang semisal atau serupa. Maksudnya, jiwa-jiwa itu akan dikumpulkan bersama yang serupa dengan mereka di surga maupun di neraka.15
Al-Hasan berkata, “Setiap orang akan dipertemukan dengan golongannya. Yahudi dengan Yahudi, Nasrani dengan Nasrani, Majusi dengan Majusi, setiap orang yang menyembah selain Allah SWT akan dipertemukan satu sama lain, munafik dengan munafik, orang Mukmin dengan orang Mukmin.”16
Penafsiran ini juga dipilih oleh az-Zamakhsyari, ath-Thabari, Ibnu Katsir, al-Alusi, Abu Hayyan al-Andalusi, asy-Syaukani, as-Sa’di dan lain-lain.17 Menurut Ibnu Katsir, penafsiran demikian sejalan dengan QS ash-Shaffat [37]: 22.18
Ibnu Jarir ath-Thabari juga menguatkan penafsiran Umar bin al-Khaththab. Menurut ath-Thabari, itu didasarkan pada alasan yang dikemukan Umar bin al-Khaththab, yaitu firman Allah SWT: Wa kuntum azwâj[an] tsalâtsah (kalian menjadi tiga golongan, QS al-Waqi’ah [56]: 7); juga firman Allah SWT: Ukhsyirû al-ladzîna zhalamû wa azwâjahum (QS ash-Shaffat [37]: 22). Tidak ada keraguan bahwa mereka dikumpulkan dengan orang-orang yang serupa dan segolongan dengan mereka, dalam kebaikan maupun dalam keburukan. Demikian pula firman Allah SWT: Wa idzâ al-nufûs zuwwijat, yakni dengan teman dan orang yang serupa, dalam kebaikan maupun dalam keburukan.19
Al-Jazairi berupaya untuk menggabungkan dua penafsiran tersebut. Menurut al-Jazairi, tazwîj an-nufûs (mempertemukan jiwa-jiwa) adalah mempertemukan jiwa atau ruh dengan jasad-jasad mereka setelah jasad-jasad itu diciptakan (kembali). Setelah itu jiwa tersebut dipertemukan dengan jiwa yang semisal dengan mereka, dalam kebaikan maupun dalam keburukan.20
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ al-maw’ûdahu su’ilat (jika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya). Pengertian al-maw‘udah adalah bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup.21 Menurut Ibnu Katsir, “Al-Maw‘ûdah adalah bayi-bayi perempuan pada zaman Jahiliyah yang dikubur hidup-hidup oleh orangtuanya.”22
Menurut asy-Syaukani, al-maw‘ûdah merupakan bentuk al-maf’ûl dari kata wa‘da ya‘idu. Asal maknanya diambil dari ats-tsaql (beban berat). Itu karena bayi itu dikubur dan ditimbun dengan tanah sehingga tanah untuk membuatnya berat, lalu bayi itu pun mati.23
Dalam ayat ini diberitakan bahwa pada Hari Kiamat kelak bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu akan ditanya. Pertanyaannya adalah: Bi ayyi dzanb[in] qutilat (karena dosa apakah dia dibunuh).
Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan peringatan keras bagi pelaku pembunuhan. Asy-Syaukani juga berkata, “Makna su`ilat—berdasarkan cara membaca jumhur ulama (yakni dibaca takhfîf, bukan syiddah, pen.)—bahwa pertanyaan itu ditujukan kepada bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Hal itu lebih menampakkan kemurkaan terhadap pelakunya hingga tidak layak diajak bicara dan ditanya tentang hal itu. Ini juga merupakan penghinaan dan celaan yang keras bagi pelakunya.”24
Menurut al-Alusi, “Pertanyaan ditujukan kepada bayi-bayi yang dikubur dalam keadaan hidup dan tidak ditujukan kepada pembunuhnya, padahal dialah yang mendapatkan dosa, adalah untuk menghibur bayi-bayi perempuan tersebut sekaligus untuk menampakkan besarnya kemarahan dan kemurkaan terhadap pembunuhnya.”25
Penjelasan senada juga dikemukakan al-Qurthubi. Menurut al-Qurthubi, kata su’ilat (ditanya) adalah pertanyaan untuk mencela pembunuhnya, seperti perkataan seorang anak ketika dipukul, “Mengapa kamu dipukul? Apa salahmu?” Hasan berkata, “Allah SWT ingin mencela pelakunya karena bayi itu dibunuh tanpa dosa.”26
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ ash-shuhuf nusyirat (jika catatan-catatan [perbuatan manusia] dibuka). Kata as-shuhuf di sini adalah buku yang berisi catatan amal manusia, yakni catatan amal yang dicatat oleh malaikat. Di dalamnya terdapat segala perbuatan yang dikerjakan oleh pelakunya, perbuatan yang baik maupun yang buruk, yang ditutup ketika manusia meninggal.27 Menurut asy-Syukani, catatan amal itu dilipat dan ditutup ketika seorang manusia meninggal dunia.28
Adapun kata nusyirat berarti dibuka. Pada Hari Kiamat, catatan itu akan dibuka sehingga setiap manusia akan mengetahui catatan amalnya. Menurut al-Baidhawi, lembaran catatan amal itu ditutup ketika manusia mati dan dibuka ketika hisab.29Adh-Dhahhak berkata, “Setiap manusia akan diberi catatan amal perbuatan mereka dengan tangan kiri atau tangan kanannya.”30
Ancaman Keras bagi Pembunuh Bayi Tak Berdosa
Pada zaman Jahiliyah, bangsa Arab menganggap rendah posisi perempuan. Oleh karena itu kelahiran bayi perempuan acapkali tidak disambut gembira oleh ayahnya. Lebih dari itu, mereka pun marah dan menganggap itu sebagai sebuah kehinaan. Bayi yang tak berdosa itu pun dikubur hidup-hidup (lihat QS an-Nahl [16]: 58-59).
Sikap tersebut jelas salah dan sesat. Di hadapan Allah SWT, kemuliaan manusia ditentukan oleh ketakwaannya, bukan jenis kelaminnya. Karena itu kelahiran seorang bayi perempuan tidak boleh dianggap sebagai musibah dan kehinaan. Apalagi membunuh bayi-bayi tak berdosa tersebut. Tindakan membunuh adalah tindakan terlarang yang mengharuskan pelakunya mendapatkan dosa (lihat QS al-An’am [6]: 140). Rasulullah saw. juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian untuk durhaka kepada ibu-ibu kalian, mengubur hidup-hidup anak perempuan dan man’an wa haatin (menolak kewajiban dan menuntut yang bukan haknya) (HR al-Bukhari).
Menjelaskan hadis ini, Imam an-Nawawi berkata, “Wa`d al-banât—dengan mengguna-kan huruf hamzah—berarti mengubur anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di bawah timbunan tanah. Perbuatan ini termasuk dosa besar yang membinasakan karena merupakan pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan. Selain itu, itu juga mencakup pemutusan hubungan silaturahmi. Penyebutan secara khusus anak perempuan karena perbuatan tersebut biasa dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah dulu.”31
Tak sekadar berdosa, membunuh anak termasuk dalam perbuatan dosa besar. Ibnu Mas’ud berkata: Aku bertanya, “Ya Rasulallah, dosa apakah yang paling besar?” Rasulullah saw. menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah yang telah menciptakan kamu.” “Kemdian apa lagi? Jawabnya, “Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan makananmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ancaman keras itu semestinya membuat manusia takut melakukan itu. Orang yang meyakini kepastian kedatangan Hari Kiamat beserta semua kejadian dahsyat lainnya tidak akan melakukan perbuatan yang mengundang murka Allah SWT dan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka yang dipenuhi dengan siksaan yang amat pedih. WalLâh a’lam bi al-shawâb.[ Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 108-109.
2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Rislah, 2000), 242.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 470.
4 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 912.
5 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 322. Lihat juga ath-Thabari.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 243.
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 322
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 243.
9 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 256.
10 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 818.
11 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 2254.
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 333.
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 322.
14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 231. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 332.
15 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 232.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19. 232.
17 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 707; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 246; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 322; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 256; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 470; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 415; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 912.
18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 332.
19 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 246.
20 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 525.
21 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 256; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 471.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 333.
23 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 471. Lihat juga dalam al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 256; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol, 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 398.
24 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 471.
25 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 257.
26 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19. 232-233.
27 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19. 234.
28 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 471
29 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wî, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabi, 1998), 289. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 66
30 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 335.
31 An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘alâ Muslim, vol. 12 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1982), 12.