Pertanyaan:
Harga minyak terus anjlok hingga mencapai level di bawah 40 dolar perbarel. Saudi tidak menurunkan produksinya supaya harga stabil. Saudi adalah produsen terbesar di dalam OPEC. Hal itu tampak dalam pertemuan OPEC 4/12/2015. Demikian juga Amerika yang justru menambah produksinya, bukan menurunkan produksi untuk melawan penurunan harga itu. Lalu apa sebab anjloknya harga minyak?
Semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.
Jawaban:
Supaya deskripsi tersebut jelas, harus dibaca kembali harga minyak selama satu tahun lalu beriringan dengan peristiwa-peristiwa politik dan faktor-faktor yang beragam dan berubah. Dengan itu kita bisa melihat sebab kenaikan dan penurunan harga dalam jangka waktu yang berdekatan.
Pertama: Selama pemerintahan Raja Abdullah bin Abdul Aziz, tak lama sebelum ia wafat, harga minyak menurun drastis. Ini dipahami sebagai upaya Inggris melalui agennya Abdullah bin Abdul Aziz untuk memukul kepentingan-kepentingan Amerika yang berkaitan dengan produksi minyak serpih (seperti yang ada di dalam “Jawab-Soal” tanggal 7/1/2015). Harga minyak terus turun sampai wafatnya Abdullah bin Abdul Aziz dan naiknya agen Amerika Salman bin Abdul Aziz ke tampuk pemerintahan pada 23/1/2015. Menteri Perminyakan Saudi telah mengumumkan tidak ada perubahan dalam kebijakan perminyakan Saudi. Namun demikian, faktanya harga mulai naik secara bertahap seiring dengan naiknya Salman ke tampuk pemerintahan hingga mencapai level 60 dolar perbarel pada Mei 2015. Itu sudah diprediksi seperti yang ada dalam “Jawab-Soal” tanggal 25/1/2015 sebagai berikut, “Hal itu berakibat menurunnya ketegangan antara Amerika dan Saudi. Ini berpengaruh terhadap penghentian penurunan harga minyak karena sebelumnya Saudi dan Inggris di belakangnya ingin menggagalkan Amerika untuk mendapatkan manfaat dari minyak serpih dengan penurunan harga minyak itu.”
Kedua: Pada akhir Juni 2015, harga minyak mulai turun secara bertahap hingga pada pertengahan Agustus mencapai level sekitar 40 dolar perbarel. Periode penurunan ini beriringan dengan penandatanganan perjanjian nuklir dengan Iran. Tampak bahwa Amerika berusaha menurunkan harga minyak selama periode negosiasi untuk membantu agen-agennya di Iran agar bisa memberikan konsesi yang dituntut untuk penandatanganan perjanjian tersebut. Penurunan harga minyak itu menjadi tekanan terhadap perekonomian Iran yang memberikan justifikasi popular untuk konsesi ini di tengah himpitan ekonomi yang dialami masyarakat di Iran, pada asalnya. Kemudian, harga minyak kembali naik sedikit sampai pada akhir September 2015 menyentuh 50 dolar perbarel.
Ketiga: Memasuki bulan Oktober 2015, harga minyak kembali turun cepat sampai menyentuh level 34 dolar perbarel pada 18/12/2015. Anjloknya harga minyak ini sebab-sebabnya berbeda dengan sebelumnya. Penjelasan hal itu sebagai berikut:
Ketika terjadi krisis finansial di Amerika tahun 2008, Amerika mengambil kebijakan pemompaan uang (Quantitative Easing–QE) sejak saat itu untuk keluar dari krisis finansial yang melanda Amerika. Karena itu Amerika mulai memompakan sejumlah besar dolar untuk menyelamatkan sistem keuangan dan melemahkan dolar. Amerika tetap memegang kendali dengan itu. Akan tetapi, sejak pertengahan tahun lalu, Amerika memperhatikan munculnya masalah akibat kebijakan pemompaan uang (QE) itu. Masalah itu adalah:
- Negara-negara di dunia menderita karena kebijakan QE ini, khususnya Cina. Penurunan dolar menyebabkan penurunan besar cadangan devisa Cina dalam bentuk dolar AS. Hal itu mememicu seruan untuk berlepas dari dolar dan seruan untuk membentuk sistem keuangan yang baru. Seruan ini muncul dengan kuat di Eropa melalui lisan menteri keuangan Prancis Michael Saban, seperti yang dinyatakan di Financial Times pada 6/7/2015 dengan judul, “Prancis Menyerang Dominasi Dolar (France hits out at dollar dominance).” Saban menyatakan, “Kita, Eropa, berjual-beli di antara kita dengan dolar. Sebagai contoh ketika kita menjual pesawat. Apakah ini penting? Saya tidak yakin ini. Saya yakin bahwa mengembalikan keseimbangan itu mungkin dan penting. Bukan hanya berkaitan dengan Euro, tetapi juga untuk mata uang-mata uang lain di negara-negara berkembang yang mewakili lebih banyak dan lebih banyak perdagangan global.”
Saban mengatakan kepada Financial Times bahwa ia akan membangkitkan keperluan pada alternatif dolar dengan rekan-rekannya menteri keuangan zona Euro ketika mereka bertemu di Brussel pada hari Senin. Meski demikian, Saban menolak untuk masuk dalam detil seputar langkah-langkah praktis yang mungkin muncul.
Cina pun mengikuti Eropa. Dalam wawancara dengan kantor berita Xinhua, Costin, Presiden Bank VTB, bank komersial terbesar kedua di Rusia, mengatakan, “Sistem keuangan global terus tunduk pada dominasi dolar Amerika dan sistem keuangan global memerlukan mekanisme lebih spesifik untuk menurunkan ketergantungan pada satu mata uang.”
Costin mengatakan, “Cina sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia mungkin bekerjasama dengan sejumlah negara untuk membangun sistem baru. Costin menambahkan bahwa Rusia akan mendukung Cina memainkan peran pelopor di arena keuangan internasional.” (Surat Kabar Rakyat Cina Online, 10/11/2014).
Meskipun sebab ini sebenarnya cukup agar Amerika meninggalkan kebijakan penurunan dolar, Amerika tetap sombong dengan terus melanjutkan kebijakan yang sama, yakni penurunan nilai dolar. Karena itu Amerika tetap concern untuk menaikkan harga minyak. Pasalnya, kenaikan harga minyak menyebabkan penurunan kurs dolar, sebagaimana yang sudah diketahui. Dengan begitu, Amerika terus mengatasi akibat-akibat krisis finansial yang belum pulih sama sekali. Pada waktu yang sama, harga minyak mengalami kenaikan sehingga membuat produksi minyak serpih menjadi ekonomis disebabkan kenaikan harga minyak.
Untuk itu Kerry berkunjung ke Saudi pada 11/9/2014 dan bertemu dengan Raja Abdullah fokus pada penurunan produksi untuk menaikkan harga minyak sebagaimana yang telah kami jelaskan di jawaban kami tanggal 7/1/2015 M.
- Hanya saja Amerika memperhatikan pada bulan-bulan terakhir tahun ini bahwa orientasi menjauh dari dolar telah menjadi orientasi praktis. Banyak negara menjauh dari dolar sebagai cadangan devisa dan dolar digunakan membeli emas. Cina menukar dolar miliknya dengan emas. Cina memiliki cadangan dolar mendekati empat triliun. “Bank sentral Cina lalu menambah cadangannya perbulan antara 14 hingga 19 ton emas.” (Reuters, 1/12/2015).
Berbagai informasi tak resmi yang dikutip oleh beberapa surat kabar Rusia menyebutkan bahwa Cina berusaha menaikkan cadangan di Bank Sentral Cina dalam bentuk emas agar di masa depan mencapai 10 ribu ton untuk menyalip Amerika Serikat yang menduduki posisi pertama dimana AS memiliki 8 ribu ton emas. Sekarang Cina memiliki sekitar 1.700 ton cadangan emas.
Rusia juga membeli emas. Rusia saat ini memiliki 1.275 ton. Rusia membeli 67 ton emas selama paruh kedua tahun 2015.
Masalah ini merupakan ekspresi dari dalamnya ancaman terhadap dolar. Ini menjadi bahaya besar bagi Amerika. Sebabnya, dolar adalah cadangan devisa terbesar yang mendominasi dunia. Amerika menganggap penting agar dolar tetap menjadi mata uang yang menentukan harga minyak dan mata uang transaksi global. Sebabnya, siapa yang memiliki dolar akan memengaruhi harga minyak dan perdagangan global.
Keempat: Amerika mengambil kebijakan yang menyebabkan kenaikan kurs dolar, yakni kebijakan penurunan harga minyak, dengan beberapa langkah:
- AS mengambil kebijakan menaikkan produksi minyak dengan berbagai sarana di antaranya:
Pertama: Amerika dan Kanada menaikkan produksi minyaknya dari sekitar 10,3 juta barel perhari pada tahun 2005 menjadi 18 juta barel perhari pada tahun sekarang.
Kedua: Agen-agen Amerika di OPEC khususnya Saudi, Iran dan Irak menaikkan produksi minyaknya:
- Saudi. Aljazeera.net pada 10/10/2015 memberitakan, “Kerajaan Saudi Arabia memberitahu OPEC bahwa Saudi telah menaikkan produksi minyaknya pada September lalu sebanyak 100 ribu barel per hari.” (Al-‘Arabi al-Jadîd, 14/12/2015). Produksi minyak Saudi tahun ini sekitar 10,1 juta barel per hari.
- Iran. Kantor Berita Reuters pada hari Senin, mengutip dari sumber di bidang perminyakan yang memiliki keahlian pada jadwal pengapalan minyak di negara anggota OPEC, menyatakan, “Iran dalam proses mengekspor 1,26 juta barel perhari minyak mentah bulan ini. Angka dasar ini sekitar 25 persen lebih tinggi dari rata-rata dua bulan lalu.” (Al-‘Arabi al-Jadîd, 14/12/2015). Sebagian pengamat memprediksi bahwa ekspor Iran lebih dari itu. “Pencabutan sanksi-sanksi ekonomi dan ijin bagi Iran untuk mengekspor minyaknya—Iran saat ini memproduksi 3,7 juta barel perhari, pada saat ekspornya mencapai 1,7 juta barel perhari—akan ditambahkan pada produksi global. Ini karena Iran mampu meningkatkan produksinya sampai 600 ribu barel perhari pada akhir tahun 2015. Perlu diketahui bahwa estimasi surplus suplay minyak antara 1,5 sampai 2 juta barel perhari.” (Situs Ash-Shabah al-Jadîd, 9/12/2015).
- Irak. Fayadh Hasan Na’amah, Wakil Menteri Perminyakan untuk Urusan Eksplorasi, mengatakan, “Produksi Kilang Minyak ar-Ramilah mencapai sekitar 1,35 juta barel perhari.” Ia menambahkan bahwa Kementerian Perminyakan berusaha menaikkan produksi kilang menjadi 2,1 juta barel perhari. Ia juga menambahkan bahwa produksi kilang pada saat ini sekitar 40 persen dari produksi minyak Irak.
Kantor berita Reuters mengutip dari para trader bahwa Irak mendapat bagian 3,017 juta barel dari minyak mentah Bashrah untuk diekspor pada September, naik dari 2,52 juta barel perhari pada bulan lalu (Ash-Shabah al-Jadîd, 15/8/2015).
Ketiga: Menghapus larangan ekspor minyak Amerika ke luar negeri. Parlemen Amerika memutuskan langkah baru untuk mencabut larangan ekspor minyak mentah sejak 40 tahun lalu. Presiden Amerika Barack Obama menandatangani RUU tersebut pada hari Jumat untuk menjadi UU (BBC, 19/12/2015).
Amerika mengatasi masalah minyak serpih sehingga tidak menghadang kebijakan barunya dalam menaikkan kurs dolar dan menurunkan harga minyak. Sejumlah perusahaan yang berinvestasi pada sektor ini menghentikan sejumlah besar sumur yang biaya produksinya lebih tinggi dari harga minyak. Tinggal perusahaan-perusahaan yang mampu menanggung penurunan harga minyak dan mampu secara teknologi menggunakan cara-cara ilmiah untuk menurunkan biaya produksi, kemudian biaya produksinya menurun sehingga tingkat produksi minyak serpih Amerika tetap pada batas yang rasional. Hal itu memiliki pengaruh besar pada ekspor setelah pencabutan larangan ekspor. Di dalam laporan Lembaga Energi Amerika seperti yang dinyatakan di situs Market Realist dinyatakan, “Produksi minyak mentah Amerika Serikat pada pekan yang berakhir pada 11 Desember hampir konstan.” Pada bulan sekarang mencapai sekitar 9,17 juta barel perhari. Hal itu kembali pada bahwa biaya produksi minyak serpih Amerika telah menurun, sementara produktivitas sumur-sumur yang masih berproduksi naik meskipun sumur-sumur yang tidak ekonomis ditutup. Eric Lee, strategis komoditi, di City Group mengatakan, “Di Bakken utara Dakota biaya menurun menjadi 20 dolar pada beberapa county. Kementerian Sumberdaya Mineral pada bulan lalu menyatakan bahwa produksi minyak perbarel masih menguntungkan pada batas 24 dolar di Dun County, menurun dari 29 dolar pada Oktober lalu.” (Tom Dychristopher di Situs CNBC, 20/7/2015).
Begitulah, Amerika dan agen-agennya berkontribusi dalam peningkatan produksi dalam bentuk mendatangkan kegelapan. Sebabnya, beberapa laporan mengisyaratkan bahwa “sekarang di pasar ada surplus suplay minyak sekitar 4-5 juta barel per hari.” (Dikutip dari situs Alpha Beta, 15/12/2015).
Selain itu, konsumsi minyak global yang menjadi penggerak utama permintaan mengalami kemunduran signifikan. Sebabnya, berdasarkan prediksi IMF, ada penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP – Gross Domestik Product) dari 3,4 persen menjadi 3,3 persen. Ini berlangsung di tengah perlambatan ekonomi manufaktur di Eropa dan Jepang, serta menurunnya pertumbuhan ekonomi negara yang sedang tumbuh terutama Cina, konsumen minyak terbesar kedua di dunia. Ini juga berlangsung di tengah kebingunan yang terjadi di pasar finansial Cina akibat devaluasi mata uang Yuan. Visualisasi pasar akibat hal itu, bahwa ada kemunduran dalam permintaan minyak di negara-negara poros ini. Demikianlah, terjadi surplus minyak yang besar diiringi dengan kontraksi yang kuat dalam permintaan. Semua ini menyebabkan anjloknya harga minyak dan naiknya kurs dolar.
- Menaikkan suku bunga the FED.
Meskipun data perekonomian AS tidak menunjukkan bahwa perekonomian Amerika telah benar-benar pulih, Dewan Bank Sentral AS, the FED, pada 16/12/2015 telah mengumumkan kenaikan suku bunga 25 poin. Gubernur the FED Amerika Janet Yellen pada 3/12/2015, sebagaimana ditulis Financial Times, telah mengumumkan, “Yellen mengatakan dolar menguat, yakni bahwa kenaikan suku bunga akan dilakukan bertahap.”
Perlu diketahui bahwa suku bunga di Amerika telah turun hingga mendekati nol, tepatnya sampai 0,25 persen. Hal itu disebabkan krisis finansial global yang meletus di Amerika tahun 2008. Menurut ekonomi kapitalis, jika suku bunga tetap rendah maka hal itu menunjukkan bahwa krisis masih terus berlangsung dan perekonomian belum pulih. Hal itu juga menunjukkan bahwa ada resesi dan padamnya pergerakan pasar dalam bentuk jual-beli, investasi dan pengurangan pengangguran. Sebabnya, para kapitalis bersandar pada suku bunga dalam mendapatkan keuntungan. Kenaikan suku bunga meningkatkan keuntungan bank dan perusahaan serta mendorong masyarakat menaruh uang mereka di bank untuk investasi, yakni memperoleh keuntungan. Berikutnya, ini mengisyaratkan bahwa perekonomian Amerika telah berhasil mengatasi sebagian besar dampak-dampak krisis finansial global.
Segera setelah pengumuman kenaikan suku bunga the FED, harga minyak mengalami penurunan 3 persen. Kenaikan suku bunga menguatkan kepercayaan pada perekonomian Amerika dan memberi kesan bahwa perekonomian AS telah berhasil mengatasi dampak-dampak krisis finansial untuk meningkatkan pengaruh politiknya secara global. Harga-harga saham Amerika di bursa Wall Street melonjak 1,28 persen segera setelah pengumuman kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, the FED. Demikian juga indeks Standar and Poor (indeks S&P) naik 1,45 dan indeks Nasdaq naik 1,52 persen.
Kelima: Adanya realisasi untuk Amerika berupa kondisi-kondisi yang sesuai untuk kenaikan kurs dolar dan kenaikan suku bunga. Perlu diketahui bahwa kenaikan suku bunga akan menaikkan biaya cadangan emas. Sebab, naiknya nilai dolar menyebabkan penurunan harga emas sehingga menimpakan bahaya terhadap negara-negara yang berusaha bersandar pada cadangan emas menggantikan dolar. Amerika ingin menjaga dolar sebagai mata uang global yang digunakan dalam transaksi dan sebagai cadangan devisa negara-negara menggantikan emas. Hal itu membuat transaksi emas tidak menguntungkan dan membuat cadangan emas tidak ekonomis. Amerika tidak ingin kembali ke sistem emas dan tidak ingin dunia kembali ke sistem emas, yang akan menyebabkan bahaya besar untuk Amerika. Sebab, dengan mata uang kertas fiat money-nya yang nilainya tidak setara dengan lembaran kertasnya, Amerika bisa membeli kekayaan global dan mendanai alat-alat perang dan pasukannya di luar negeri serta membeli kontrol dan negara-negara dengan memberi mereka apa yang disebut dengan “bantuan”. Amerika dengan uang kertasnya itu juga bisa memukul perekonomian negara-negara lain. Dengan dominasi dolar, ekonomi Amerika juga bisa mendominasi semua negara dan institusi keuangan dan pasar keuangan internasional.
Keenam: Sebab yang paling mungkin dari penurunan harga minyak itu berhubungan dengan kebijakan Amerika baik dalam negeri maupun luar negeri yang bertujuan:
- Menaikkan suku bunga di dalam negeri. Masalah tersebut menjadi semacam masalah vital bagi Amerika. Hal itu untuk menunjukkan bahwa Amerika telah keluar dari dampak-dampak krisis keuangan dan bahwa perekonomian Amerika masih kuat. Dengan itu ada peningkatan kepercayan kepada Amerika dan peningkatan pengaruh politisnya terhadap negara-negara dunia.
- Menguatkan kepercayaan pada dolar; menghadang pesaing dolar; menjaga penggunaan dolar dalam transaksi dan sebagai cadangan devisa negara-negara di dunia; terus mengikat mata uang negara-negara dunia dengan dolar; memukul penyandaran terhadap emas dan penggunaan emas sebagai cadangan devisa menggantikan dolar, khususnya Cina dan Rusia yang berorientasi melepaskan diri dari dominasi dolar dan menjadikan cadangan devisanya bersandar pada emas secara lebih besar.
Ketujuh: Amerika mengontrol situasi perekonomian internasional, khususnya komoditi yang berpengaruh seperti minyak. Semua itu disebabkan mata uang dolarnya menjadi standar dalam jual-beli komoditi itu. Membiarkan transaksi berjalan menggunakan dolar, juga membuat dolar menentukan harga minyak dan mineral serta semua komoditi penting, sungguh merupakan bukti subordinasi internasional kepada Amerika secara langsung atau tidak langsung. Naik-turunnya harga akhirnya mengikuti dolar Amerika dan suku bunga yang diputuskan oleh Bank Sentral Amerika the Fed. Kemudian, jika terjadi infeksi yang buruk pada perekonomian AS, hal itu akan mempengaruhi perekonomian global seluruhnya.
****
Karena itu sesungguhnya yang wajib adalah melepaskan diri dari keterikatan mata uang lokal dengan dolar serta melepaskan diri dari menjadikan dolar sebagai cadangan devisa negara-negara. Kemudian semua negara bersandar pada emas dan perak sekaligus menjadikan keduanya sebagai mata uang untuk sirkulasi dan pembelian komoditi, produk-produk dan pengestimasian upah serta menjadikan emas dan perak sebagai cadangan devisa. Langkah agung itu tidak mungkin ditapaki kecuali oleh daulah Khilafah al-Islamiyah yang Allah mensyariatkan emas dan perak seagai mata uang untuknya bukan yang lain. Pada saat itu, dolar akan kembali menjadi kertas seperti pada asal dan detilnya.
فَٱصبِر صَبرا جَمِيلًا، إِنَّهُم يَرَونَهُۥ بَعِيدا،
Sesungguhnya mereka memandang hal itu jauh (mustahil). Padahal Kami memandang hal itu dekat (mungkin terjadi) (TQS al-Ma’arij [70]: 5-6).
[Sumber: “Soal-Jawab Amir HT”, 12 Raibul Awal 1437 H/23 Desember 2015 M; Https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.ht/posts/1953311328227543:0]