Soal:
Hukum melukis makhluk hidup sudah jelas, yaitu haram. Namun, apakah mengedit foto, melukis manusia atau hewan yang menyerupai aslinya, mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi, menggunakan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh pelukis lain, menggambar simbol dalam bentuk manusia atau hewan, menggambar bagian badan manusia atau binatang, membuat lukisan karikatur manusia atau hewan, atau tokoh fiktif juga sama hukumnya? Apakah ini berlaku juga jika dipersembahkan untuk anak-anak?
Jawab:
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dulu kami ingin menegaskan dua hal berikut:
Pertama, jawaban ini membahas hukum syariah atas perbuatan melukis atau menggambar dengan tangan sebagaimana makna yang dikehendaki di dalam hadis, bukan menghasilkan gambar dengan kamera. Sebabnya, mengambil gambar dengan kamera hukumnya mubah. Ini karena hadis yang menjelaskan keharaman melukis makhluk bernyawa tidak bisa diterapkan terhadap fakta perbuatan “memotret” tersebut.
Kedua, jawaban ini membahas hukum syariah atas gambar dua dimensi, yang tidak memiliki bayangan. Mengenai hukum membuat karya yang memiliki bayangan, atau patung, maka hukumnya haram karena adanya dalil-dalil syariah mengenai hal ini. Ini berbeda dengan mainan anak-anak (semacam boneka) karena adanya dalil-dalil syariah yang membolehkan itu, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
- Mengedit gambar.
Mengedit gambar (seperti menghilangkan keriput, mengganti warna mata atau beberapa fitur wajah, dan sebagainya), juga melukis manusia atau hewan yang menyerupai aslinya, adalah berkaitan dengan menggambar atau mengedit gambar makhluk bernyawa (memiliki ruh) dengan menggunakan tangan. Karena itu keharaman menggambar makhluk bernyawa yang ada di dalam dalil-dalil syariah bisa digunakan dalam kasus ini tanpa melihat apakah editing tersebut dilakukan dengan pena, atau mouse di komputer, selama itu dilakukan oleh tangan. Ibn ‘Abbas ra. bertutur bahwa Rasulullaah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang melukis suatu gambar, Allah akan mengazab dia sampai dia mampu meniupkan ruh ke dalam gambar itu. Padahal sampai kapan pun dia tidak akan mampu meniupkan ruh kepadanya.” (HR al-Bukhari).
Ibn Umar ra. juga bertutur bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya orang yang telah membuat gambar ini akan disiksa pada Hari Kiamat dan akan dikatakan kepada mereka, “Coba hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan!” (HR al-Bukhari).
Kedua dalil ini bisa diberlakukan atas orang yang menggambar maupun sekadar mengedit gambar makhluk bernyawa baik dengan tangan maupun dengan menggunakan mouse. Dalam hal ini, hukum mengedit gambar sama dengan menggambar itu sendiri.
- Mencetak lukisan dan gambar yang sudah jadi; memanfaatkan lukisan, gambar atau logo yang dibuat oleh desainer lain.
Dalam hal ini ada tiga ketegori hukum. Pertama: Jika gambar itu diletakkan di tempat-tempat ibadah seperti sajadah untuk shalat, tirai masjid, iklan (di’âyah) atau pengumuman (i’lân) masjid dan sejenisnya, maka ini hukumnya haram, tidak boleh. Dalilnya adalah hadis penuturan Ibn ‘Abbas ra. bahwa, “Rasulullah saw. pernah enggan masuk ketika melihat gambar-gambar di dalam Baitullah (Ka’bah) dan beliau memerintahkan agar gambar-gambar itu dihapus.” (HR Ahmad).
Keengganan Rasul saw. memasuki Ka’bah sampai gambar-gambar yang ada di dalamnya dihapus merupakan indikasi adanya larangan yang tegas untuk meletakkan gambar di tempat-tempat ibadah. Ini menjadi dalil atas keharaman menaruh gambar di dalam masjid.
Kedua: Jika gambar itu diletakkan di tempat-tempat tertentu selain tempat ibadah maka dalil-dalil syariah menjelaskan kebolehan, tetapi makruh. Jika gambar itu diletakkan di tempat-tempat yang diagungkan, atau dihormati, seperti di dinding rumah, media informasi lembaga kebudayaan, kaos, pakaian, dinding sekolah, kantor, dan tempat-tempat terbuka lain yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas ibadah, atau digantung di dalam kamar atau dikenakan dalam rangka mempermanis penampilan, maka semua itu boleh, tetapi makruh.
Yang boleh dan tidak makruh adalah ketika gambar itu diletakkan bukan di tempat ibadah; bukan pula di tempat yang diagungkan seperti keset, karpet yang digelar di lantai, seprai atau bantal yang digunakan tidur. Dalil-dalil yang menunjukkan kemubahannya adalah hadis penuturan Abu Thalhah ra., yang berkata: Aku mendengar Raulullah saw. pernah bersabda, “Malaikat tidak mau masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambarnya.” (HR Muslim).
Dalam jalur lain dinyatakan bahwa Rasul saw. bersabda, “…kecuali gambar yang ada di pakaian.” (HR Muslim).
Ini menunjukkan adanya pengecualian terhadap gambar yang ada di pakaian, atau lukisan dua dimensi (datar), yang tidak mempunyai bayangan.
Ini menunjukkan bahwa status menggunakan gambar dua dimensi, seperti gambar yang dilukis di pakaian, hukumnya boleh. Sebabnya, malaikat bersedia memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar dua dimensi.
Ada pula hadis-hadis lain yang menjelaskan kemubahan ini. Pertama: Hadis dari Aisyah ra. yang berkata, “Rasulullah saw. masuk ke rumah saya, sementara di dalam rumah terdapat tirai tipis bergambar. Saat itu rona wajah beliau berubah. Beliau kemudian mengambil tirai itu dan merobeknya.” (HR al-Bukhari).
Qirâm (kain tipis) merupakan salah satu jenis pakaian yang biasa dipasang sebagai penutup pintu di dalam rumah. Ini membuat rona wajah Rasulullah saw. berubah (marah) kemudian Nabi saw. melepas tirai tersebut. Ini menunjukkan adanya contoh untuk meninggalkan perbuatan memasang tirai sebagai penutup pintu jika ia bergambar. Jika hadis ini dikaitkan dengan kebolehan malaikat memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar yang terlukis di pakaian, maka ini menunjukkan bahwa larangan memajang gambar dua dimensi itu tidak tegas, atau hanya makruh, tidak sampai haram. Selain itu, karena gambar tersebut dipasang sebagai penutup pintu, sedangkan pintu adalah tempat yang diagungkan. Dengan demikian memasang gambar di tempat yang diagungkan hukumnya makruh.
Kedua: Hadis dari Abu Hurairah ra., dari perkataan Jibril as. kepada Rasulullah saw., “Perintahkanlah agar tabir itu dipotong dan dijadikan dua bantal yang diinjak.” (HR Ahmad).
Ini berarti, menggunakan gambar di tempat-tempat yang tidak diagungkan hukumnya boleh.
- Menggambar simbol berupa manusia atau hewan seperti rambu di jalan, seperti “tempat penyeberangan”, “pintu darurat saat kebakaran” atau “dilarang berjalan bersama anjing”; menggambar bagian badan manusia atau binatang (seperti menggambar tangan yang bersalaman, jari telunjuk atau kepala kuda sebagai gambar logo).
Terkait perkara di atas: Jika tanda yang dilukis menggambarkan makhluk bernyawa, hukumnya tetap haram. Sebabnya, hadis-hadis yang mengharamkan menggambar makhluk bernyawa menunjukkan adanya “sifat memiliki ruh” (nyawa). Sifat ini bisa diberlakukan untuk setiap gambar makhluk bernyawa, baik utuh maupun sepotong saja, seperti gambar kepala yang disambung dengan bagian tubuh lain seperti kedua tangan dan sebagainya.
Jika tanda atau rambunya tidak menunjukkan makhluk bernyawa, seperti tangan saja, atau gambar jari yang menunjuk pada sesuatu atau dua tangan yang saling bersalaman atau yang semisalnya, maka keharamannya tidak bisa diberlakukan untuk kasus ini.
Jika gambar kepala tidak digabung dengan angggota badan yang lain, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat. Namun, pendapat yang paling kuat adalah, bahwa kepala saja yang tidak digabung dengan bagian tubuh lain hukumnya tidak haram. Alasannya, karena ada hadis yang membolehkan untuk memotong kepada patung sehingga terkesan seperti batang pohon. Ini berdasar hadis Abu Hurairah ra. yang di dalamnya terdapat perkataan Jibril as. kepada Rasulullah saw., bahwa patung itu tidak lagi haram saat kepalanya dipotong. “Perintahkanlah agar kepala patung tersebut dipotong dan dibuat seperti bentuk pohon.” (HR Ahmad).
Ini berarti, bahwa sisa patung dan kepalanya ketika telah dipotong sama-sama tidak haram. Ini tidak berarti, bahwa yang tidak diharamkan adalah badan patung yang kepalanya sudah terpotong, sedangkan kepala yang terpotong tetap haram. Tentu tidak demikian. Karena perintah Jibril kepada Rasulullah saw. untuk memotong kepala patung menunjukkan, bahwa pemotongan itu hukumnya boleh. Dengan demikian, segala hal yang menjadi akibatnya juga boleh.
Perlu diketahui, mazhab Hanbali dan Maliki membolehkan menggambar kepala saja, sedangkan di kakangan mazhab Syafii ada perbedaan pendapat. Sebagian besar fuqaha’ mazhab Syafii menyatakan, bahwa menggambar kepala saja hukumnya haram, sementara yang lain menyatakan tidak, atau membolehkan.
- Menggambar lukisan karikatur manusia atau hewan, atau tokoh fiktif, yang tidak ada faktanya.
Selama gambar itu menunjukkan adanya ruh (nyawa), meskipun tidak ada persamaannya dengan fakta yang ada, hukumnya tetap haram. Sebab, nash-nash syariah yang ada bisa diberlakukan untuk kasus ini. Rasulullah saw. telah memerintahkan ‘Aisyah ra. untuk melepas tirai yang terpasang di pintu yang bergambar kuda yang memiliki sayap. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kuda yang bersayap.
Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. datang dari safar, sementara aku menutupi pintuku dengan durnuk yang terdapat gambar kuda-kuda yang memiliki sayap. Beliau memerintahkan aku untuk mencabut tabir tersebut sehingga aku pun melepasnya.” (HR al-Bukhari).
Durnuk merupakan salah satu jenis pakaian.
- Gambar dan menggambar yang diperuntukkan bagi anak-anak.
Semua penjelasan di atas terkait dengan gambar atau aktivitas menggambar yang tidak diperuntukkan untuk anak-anak. Adapun jika menggambar dan gambar itu diperuntukkan bagi anak-anak, seperti gambar karikatur untuk anak-anak, atau gambar tokoh imajiner untuk anak-anak, untuk mainan atau hiburan mereka, atau untuk pendidikan mereka, maka hukumnya boleh. Dalilnya adalah: Pertama, hadis penuturan ‘Aisyah ra. yang berkata: “Suatu hari Rasulullah saw. pulang dari Perang Tabuk, atau Perang Khaibar. (Saat itu) lemari kecil ‘Aisyah tertutup tirai. Angin berhembus dan menyingkap tirai itu sehingga terlihatlah banyak mainan boneka perempuan milik ‘Aisyah. Beliau bertanya, “Apa ini, Aisyah?” Ia menjawab, “Anak perempuanku.” (HR Abu Dawud).
Kedua, hadis penuturan Aisyah ra. yang berkata, “Aku biasa bermain dengan anak-anak perempuanku (boneka) di sisi Nabi saw.” [yaitu bermain dengan boneka yang berbentuk anak-anak perempuan] (HR al-Bukhari).
Ketiga, hadis Rabi’ binti Ma’awwid al-Anshariyyah ra. yang berkata, “Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Jika mereka menangis karena lapar, kami memberikan mainan itu kepada mereka sampai tiba waktu berbuka.” (Maksudnya menghibur mereka dengan mainan, sampai tiba waktu berbuka) (HR al-Bukhari).
Semua hadis ini membolehkan mainan anak-anak, bahkan seandainya mainan itu berbentuk patung makhluk yang memiliki nyawa. Karena itu jika patung saja yang berbentuk tiga dimensi boleh, tentu gambar biasa, yang berbentuk dua dimensi lebih boleh lagi, apapun bentuknya.1
Jadi, menggambar atau memahat makhluk yang bernyawa dengan dua bentuknya, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, jelas boleh, jika diperuntukkan untuk anak-anak. Ini karena adanya dalil-dalil yang mengecualikannya khusus untuk anak-anak. Boleh juga memanfaatkan apa yang digambar oleh yang lain, baik di internet atau yang lain, untuk diambil dan digunakan untuk keperluan anak-anak, seperti ilustrasi buku, atau yang lain. Hukum ini juga meliputi kebolehan memproduksi, mencetak, menjual dan membelinya, selama untuk anak-anak.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat: Jawab-Soal Amir Hizbut Tahrir, tanggal 12 Syawal 1431 H/21 September 2010 M.