HTI

Tafsir (Al Waie)

Peristiwa Dahsyat pada Hari Kiamat (3)

(Tafsir QS at-Takwir [81]: 11-14)

وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ، وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ، وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ، عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ،

Jika langit dilenyapkan, jika Neraka Jahim dinyalakan dan jika surga didekatkan maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dia kerjakan (QS at-Takwir [81]: 11-14).

Dalam beberapa ayat sebelumnya telah diberitakan tentang berbagai kejadian dahsyat pada Hari Kiamat. Peristiwa dahsyat yang disebutkan adalah lautan dijadikan meluap, jiwa-jiwa dipertemukan, bayi-bayi perempuan yang telah dibunuh dihidupkan kembali serta ditanyai mengapa mereka dibunuh dan catatan amal perbuatan manusia dibuka.

Ayat-ayat ini masih melanjutkan berita tentang berbagai peristiwa dahsyat lainnya.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wa idzâ as-samâ‘ kusyithat (Jika langit dilenyapkan). Kejadian dahsyat juga akan dialami oleh langit. Langit saat itu kusyithat. Bentuk masdhar kusyithat adalah al-kasyth. Secara bahasa, al-kasyth berarti qal’[un] ‘an syiddah at-tazâq (mencabut dengan keras dari sesuatu yang melekat kuat). Karena itu kalimat as-samâ‘ tuksyathu berarti langit itu dicabut atau dikupas sebagaimana kulit domba dan lainnya dikupas. Demikian penjelasan Imam al-Quthubi dan asy-Syaukani.1

Menurut al-Qurthubi, kalimat, “Kasyathtu al-ba’îr kasyth[an],” berarti, “Saya benar-benar mencabut kulitnya.” Untuk mengungkapkan itu tidak digunakan kalimat, “Salakhtuhu (Aku mengulitinya). Sebab, orang Arab tidak mengatakan hal itu pada unta kecuali dengan ungkapan: Kasyathtuhu aw jaladtuhu (Saya mengupas kulitnya atau saya mengulitinya). Adapun kalimat wa [in]kasyatha berarti dzahaba (lenyap). Dengan demikian, langit itu dicabut dari tempatnya sebagaimana penutup dicabut dari sesuatu.2

Syihabuddin al-Alusi memaknai kusyithat dengan menggabungkan dua makna itu. Menurut al-Alusi, kusyithat berarti quli’at wa uzîlat (dicabut dan dihilangkan), sebagaimana kulit dikupas dari binatang yang disembelih atau penutup dari sesuatu yang ditutupi. Alhasil, pada awalnya kata al-kasyth berarti as-salkh (menguliti), kemudian digunakan untuk menunjukkan makna li al-izâlah (untuk melenyapkan).3

Penjelasan senada juga dipaparkan oleh para mufassir dalam dalam menafsirkan ayat ini. Menurut az-Zajjaj, makna as-samâ‘ kusyithat adalah langit itu dicabut sebagaimana atap dicabut. Al-Farra’ berkata, “(Maknanya) dilepas kemudian dilipat.” Menurut Muqatil maknanya, “Dibuka dari penutupnya.” Al-Wahidi memaknai al-kasyth sebagai mengangkat sedikit demi sedikit dari yang menutupinya.4

Mujahid memaknai kusyithat sebagai ditarik. Al-Sudi menafsirkannya dibuka. Adh-Dhahhak berkata, “Kusyithtat artinya dikupas hingga lenyap.”5 Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan, “Dicabut dan ditarik, lalu dilipat.” Menurut Ath-Thabari, kesimpulan tersebut didasarkan dari penjelasan para mufassir.6

Ada pula yang menafsirkan kata itu sebagai tathwâ (melipat). Pengertian ini serupa dengan firman Allah SWT:

يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ

(Yaitu) pada hari Kami menggulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas (QS al-Anbiya’ [21]: 104).

Dengan demikian seolah-olah dikatakan, “Langit dicabut, lalu dilipat.”7

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ al-jahîm syu’’irat (Jika Nneraka Jahim dinyalakan). Al-Jahîm adalah neraka di akhirat yang dipenuhi dengan siksa api yang menyala-nyala beserta aneka siksaan lain yang amat dahsyat.

Diberitakan dalam ayat ini, ketika itu Neraka Jahim su’irat. Bentuk mashdar kata su’irat adalah as-si’r yang berarti at-tahâb an-nâr (nyala api). Menurut para mufassir, makna su’irat adalah ûqidat îqâd[an] syadîd[an] (dinyalakan dengan nyala yang sangat hebat).8 Menurut Fakhruddin ar-Razi, kata su’irat dibaca syiddah berguna li al-mubâlaghah (untuk melebihkan).9

Penjelasan senada juga dikemukakan oleh para mufassir. Menurut as-Sudi, su’irat artinya dipanaskan.10 Ibnu Jarir ath-Thabari juga memaknainya, “Jika neraka dinyalakan, lalu dipanaskan.”11 Qatadah menafsirkannya dengan dinyalakan. Ia juga menambahkan, “Sesungguhnya api neraka itu dinyalakan oleh murka Allah SWT dan kesalahan-kesalahan yang diperbuat Bani Adam.”12

Lalu Allah SWT berfirman: Wa idzâ al-jannah uzlifat (Jika surga didekatkan). Berkebalikan dengan al-Jahîm yang dipenuhi dengan aneka siksaan, al-Jannah merupakan tempat di akhirat yang dipenuhi aneka kenikmatan yang luar biasa, yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh manusia. Di situlah orang-orang yang beriman dan beramal shalih ditempatkan pada kehidupan akhirat.

Diberitakan ayat ini, pada hari itu al-Jannah atau surga tersebut uzlifat. Menurut adh-Dhahhak, Abu Malik, Qatadah, dan al-Rabi’ bin Khuts’aim, uzlifat artinya didekatkan kepada para penghuninya.13

Penafsiran senada juga dikemukakan oleh al-Qurthubi. Mufassir tersebut berkata, “Yakni didekat kepada orang-orang yang bertakwa.” Al-Hasan berkata, “Mereka didekatkan kepadanya, bukan karena surga ditu pindah dari tempatnya.”14

Tentang surga yang didekatkan surga kepada orang-orang yang bertakwa, juga diberitakan dalam ayat lain (Lihat: QS asy-Syu’ara [26]: 90; QS Qaf [50]: 31).

Kemudian Allah SWT berfirman: ‘Alimat nafs[un] mâ ahdharat (maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dia kerjakan). Ketika semua peristiwa dahsyat itu terjadi, terjadilah peristiwa yang amat penting bagi manusia. Peristiwa itu menjadi penanda bagi nasib manusia sesudahnya. Peristiwa itu adalah ‘alimat nafs[un] mâ ahdharat.

Menurut al-Alusi, ayat ini merupakan jawaban atas kata idzâ (jika) yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Itu artinya, semua peristiwa tersebut terjadi pada satu masa yang membentang panjang dan mencakup semua perkara yang disebutkan, dimulai dari menjelang atau pada tiupan pertama dan berakhir pada keputusan pengadilan antara makhluk.15

Kata nafs[un] dalam ayat ini bermakna kullu wâhidah min an-nufûs (tiap-tiap jiwa itu). Bentuk nakirah di sini seperti kalimat: Tsamarah khayr[un] min jarâdah (Laba-laba itu lebih baik dari belalang).16

Disebutkan bahwa tiap-tiap jiwa itu mengetahui mâ ahdharat. Kata bermakna kullu syay‘[in] (segala sesuatu). Adapun makna ahdharat adalah yang dikerjakan dan diadakan sehingga memang layak untuk dihadirkan. Demikian penjelasan al-Biqa’i.17 Menurut Syihabuddin al-Alusi, yang dimaksud dengan mâ ahdharat adalah perbuatan-perbuatan mereka, yang baik maupun yang buruk.18

Disebutkan dalam ayat ini, semua amal yang diperbuat manusia itu akan dihadirkan kepada manusia. Menurut Fakhruddin ar-Razi, yang dimaksud dengan amal dihadirkan kepada tiap-tiap jiwa itu adalah dengan menghadirkan catatan-catatan amal kepada mereka. Bisa pula catatan amal itu dihadirkan pada saat hisab atau ketika penimbangan semua amal yang ditinggalkan.19

Dengan menghadirkan amal yang telah diperbuat kepada manusia, maka akan terlihat oleh pelakunya di mana dia akan ditempatkan, di surga atau di neraka. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Ketika itu setiap jiwa mengetahui perbuatan baik yang dihadirkan, yang mengantarkan dia ke surga; atau perbuatan buruk yang mengantarkan dia ke neraka.”20

Akhir Kehidupan Dunia dan Penentuan Nasib Manusia

Ayat-ayat dalam surat ini, mulai ayat pertama hingga ayat ke sebelas, menerangkan berbagai peristiwa dan kejadian dahsyat pada Hari Kiamat. Semua kejadian tersebut menandakan akhir kehidupan dunia yang fana. Ayat-ayat ini memastikan peristiwa tersebut benar-benar terjadi.

Namun perlu diingat, akhir kehidupan dunia itu bukan berarti telah akhir semua kehidupan. Sebab, setelah kehidupan dunia berakhir, segera disusul dengan kehidupan baru yang berbeda sama sekali dengan kehidupan dunia. Itulah kehidupan akhirat yang hanya terdiri dari dua tempat tinggal, yakni surga dan neraka. Sebagaimana diberitakan dalam ayat kedua belas, neraka yang dipenuhi dengan aneka siksaan yang dahsyat dan mengerikan itu, pada hari Kiamat dinyalakan dan dipanaskan. Demikian pula surga. Sebagaimana diberitakan dalam ayat ketiga belas, ketika itu surga didekatkan. Sebagaimana diterangkan dalam ayat lain, surga itu didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa.

Setelah semua peristiwa dahsyat dan mengerikan terjadi, kemudian disusul dengan peristiwa yang menentukan nasib manusia selanjutnya. Kepada setiap manusia, akan dihadirkan semua amal perbuatan yang dikerjakan selama di dunia, perbuatan yang baik maupun perbuatan buruk. Tak ada yang tersisa, walaupun hanya seberat biji dzarrah. Tentang amal yang dihadirkan kepada manusia ini ditegaskan pula dalam ayat yang lain (Lihat: QS Ali Imran [3]: 30; QS al-Qiyamah [75]: 13).

Dengan semua amal dihadirkan kepada pelakunya, maka mereka akan mengetahui bahwa nasib mereka selanjutnya—yakni bahagia atau celaka, di surga atau di neraka—sesungguhnya ditentukan oleh mereka sendiri ketika di dunia.

Ketika mereka memperoleh anugerah surga yang dipenuhi dengan aneka kenikmatan yang luar biasa, itu adalah balasan dari Allah SWT atas amal yang mereka kerjakan selama di dunia. Allah SWT berfirman:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوها بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Itulah surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan amal-amal yang dulu kalian kerjakan (QS az-Zukhruf [43]: 72).

Selain balasan dari Allah SWT, kenikmatan juga merupakan pemberin yang sangat banyak dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:

لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلا كِذَّابًا، جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا،

Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan dusta; sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak (QS an-Naba’ [78]: 36).

Demikian pula ketika mereka dimasukkan ke dalam neraka dan mendapatkan siksa yang amat dahsyat dan mengerikan. Semua itu merupakan balasan atas amal dan perbuatan yang mereka kerjakan selama di dunia. Allah SWT berfirman:

اصْلَوْهَا فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Masuklah kalian ke dalamnya (rasakanlah panas apinya). Apakah kalian bersabar atau tidak, sama saja bagi kalian. Kalian diberi balasan atas apa saja yang telah kalian kerjakan (QS ath-Thur [52]: 16).

Sesungguhnya kehidupan akhiratlah kehidupan sesungguhnya (lihat QS al-Ankabut [29]: 64). Sebab, kehidupan tersebut adalah kehidupan yang kekal abadi. Di dunia memang terdapat kenikmatan, tetapi kenikmatan yang sedikit lagi singkat. Oleh karena itu, orang-orang yang berakal akan berjuang keras dan mencari bekal sebanyak-banyak untuk meraih kenikmatan abadi itu. Rasulullah saw. bersabda:

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

Orang yang cerdas ialah siapa saja yang dapat menundukkan jiwanya dan senantiasa beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya (HR al-Tirmidzi).

Semoga kita termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:

1         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 235; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 371.

2         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 235.

3         Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 260.

4         Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 371.

5         Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 335.

6         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 249.

7         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19, 235.

8         Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.   al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 260; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 67; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 282.

9         Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 67. Penjelasan yang sama juga dikemukakan Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 4 (Beirut: Dar Shadir, tt), 365.

10        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 335.

11        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 250.

12        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 335.

13        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 335.

14        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 19.

15        Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 260.

16        Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 281.

17        Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21, 281.

18        Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 260.

19        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 67.

20        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 250.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*